Dr Ardyan: Quick Count Tak Bisa Jadi Representasi Karena Bukan Data Asli Hanya Sampel

Meski sejumlah lembaga survei telah mengeluarkan hasil quick count atau hitung cepat, hasil perolehan suara para paslom dari Pilkada

TRIBUNSUMSEL.COM/ARIEF BASUKI ROHEKAN

TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG - Meski sejumlah lembaga survei telah mengeluarkan hasil quick count atau hitung cepat, hasil perolehan suara para paslom dari Pilkada serentak 2018 khususnya Pilgub Sumsel. Namun hal itu bukanlah suatu hasil yang bisa dijadikan pegangan atau representasi, untuk menyatakan seseorang dinyatakan menang Pilkada.

Hal tersebut diungkapkan pengamat politik Unsri Dr Ardyan Saftawan, terkait hasil hitung cepat sementara yang dirilis lembaga survei, pasca pencoblosan.

"Quick count tidak bisa jadi pegangan atau reperesentasi? karena bukan data asli, melainkan hanya sample dibeberapa TPS saja," kata Ardyan, Rabu (27/6/2018).

Menurut Ardyan, jika dilihat hasil survei yang dirilis belum menyampai 100 persen (98 persen), artinya masih terdapat 2 persen suara yang belum masuk, dan itu juga masuk dalam margin of error yang masih berada disekitaran 2 persen.

"Maka, apabila selisih angka 2 persen, bila ada gugatan, maka Mahkamah Konstitusi (MK) akan menerima jika selisih kurang 2 persen," capnya.

Dirinya melihat angka 2 persen itu bisa saja suatu kesalahan, yang bisa jadi hasilnya akan terbalik. Hal ino pernah terjadi di quick count di Pilkada Palembang 2013 lalu.

"Kalau kitak lihat, sekarang posisi seperti itu, kita harusnya sabar menunggu hasil keputusan KPU Sumsel. Dimana dalam jadwal kegiatan rekapitulasi dilakukan pada 7-9 Juli. Jadi kita harapkan pendukung dan paslon untuk menunggu hasil resmi dari KPU, karena jaraknya sangat dekat sekaligus menunggu kajian yang benar hasilnya itu, apakah sudah benar atau mulus, apakah belum, karena ini belum sampai KPU kabupaten/kota, dan PPK juga ini belum hitung," ujarnya.

Ditambahkan Ardyan, apapun hasil quick count, hasil resmi tetap yang tertulis hasil faktual, dan quick count itu hanya sample yang tidak semua TPS diambil samplenya. Sebab, bisa saja sample yanh diambil, TPS dari basis paslon tertentu, sehingga otomatis kelompok itu yang akan menang.

"Tapi kalau sebaliknya, seperti di Muba dan Muratara itu jauh lokasinya, maka belum tentu samplenya diambil dari situ. Ini pernah terjadi pada pak Alex saat memimpin Muba dan bertarung di Pilgub 2008 lalu. Awalnya sedikit selisihnya (kalah), tetapi setelah masuk rekap dari Muba dan Mura, hasilnya beruba dan menang," ungkapnya.

Maka dari itu, dengan selisih saat ini mendekati margin of error, dirinya berharap masyarakat dan paslon untuj sabar, karana selisih itu bisa terbalik "semu" atau sebaliknya semakin besar.

"Kemungkinan berbalik suaranya bisa terjadi, karena pemilih Sumsel ada sskitar 5,6 juta dan sample yang diambil untuk hitung cepat, kurang 1 juta. Artinya, itu tidak bisa dipegang dan tidak bisa mengklaim menang, karena quick count bukan lembaga resmi melainkan KPU. Tapi sebagai warga negara, kita boleh saja ikut peramalam atau prediksi dan boleh-boleh saja, tapi tidak boleh jadi nilai. Makanya quick count tidak bisa dijadikan bukti atau pegangan di MK," pungkasnya.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved