Telah Lama Meninggal, Wanita ini Masih Sering Dapat Kiriman Uang, Terungkap Semasa Hidupnya Ternyata
Oleh karena aku baru memeluk agama Islam, aku tidak mengetahui hal itu tidak boleh dilakukan ketika sedang shalat.
Penulis: M. Syah Beni | Editor: M. Syah Beni
TRIBUNSUMSEL.COM- Mu’awiyah bin Hakam Salmi r.a. berkata, “Ketika aku mengujungi kota Madinah karena hendak memeluk agama Islam, aku telah belajar banyak hal.
Salah satunya ialah aku hendaknya mengucapkan Yarhamukallah apabila seseorang bersin.
Oleh karena aku baru memeluk agama Islam, aku tidak mengetahui hal itu tidak boleh dilakukan ketika sedang shalat.
Suatu ketika kami sedang mengerjakan shalat tiba-tiba seseorang bersin, spontan saya berkata Yarhamukallah.
Tiba-tiba semua orang melirik dengan marah ke arah saya.
Oleh karena saya tidak mengetahui bahwa di dalam shalat dilarang berbicara, saya pun membantah dengan berkata, “Mengapa kalian marah kepadaku?”
Dengan memberi isyarat mereka menyuruh agar saya diam, tetapi saya tidak memahami isyarat mereka walaupun kemudian saya terdiam.
Setelah shalat selesai, Rasulullah SAW memanggil saya.
Baginda Rasulullah SAW tidak memukul, menghardik atau berlaku kasar kepada saya, baginda Rasulullah SAW hanya bersabda, “Tidak boleh berbicara dalam shalat. Shalat adalah untuk memuji kebesaran Allah, menganggungkan-Nya dan membaca Al-Qur’an.”
Demi Allah, saya belum pernah menjumpai seorang guru yang begitu penyayang seperti baginda Rasulullah SAW.
Kisah yang terdapat di dalam kitab Fadhail A’mal karya Maulana Muhammad Zakariyya al Kandhalawi di atas, memberikan pelajaran kepada kita bagaimana cara kita memberikan nasihat kepada saudara kita, yakni
dengan cara memanggilnya dan menasihatinya dengan kata-kata yang baik dan bijaksana.
Itu karena tujuan kita memberi nasihat kepada saudara kita bukan untuk mempermalukannya, tetapi tersampaikannya kebaikan kepadanya agar saudara kita dapat mengetahui kesalahannya dan memperbaiki
kekeliruan atau kehilafannya tanpa merasa dihakimi dan direndahkan.
Bicara soal menasihati orang lain, ada kisah yang diceritakan oleh Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.
Bagaiamana seorang pedagang yang membiarakan barang dagangannya diambil tanpa dibayar.
Namun hal ini yang dia lakukan.
Berikut kisahnya
Meski Mbah Ngismatun Sakdullah Solo, biasa dipanggil Mbah Ngis wafat lebih dari 23 tahun lalu, beliau masih diingat oleh beberapa santri yang dulu menjadi pelanggan warungnya.
Hal ini tidak lepas dari cara bagaimana Mbah Ngis dahulu semasa hidupnya berinteraksi dengan mereka.
Tidak jarang Mbah Ngis bertindak sangat bijak terhadap anak-anak yang berlaku tidak jujur, yakni mengambil dagangannya tanpa bayar.
Terhadap anak-anak yang berbuat seperti itu, Mbah Ngis seringkali berpura-pura tidak tahu tetapi tetap berusaha mengingatnya agar sewaktu-waktu ketika sepi dan tidak orang lain, Mbah Ngis dapat menasihatinya dengan baik.
Perlakuan seperti ini cukup efektif untuk menyadarkan mereka dari perilakunya yang salah dan cukup membuat jera. Juga tidak jarang membuat mereka merasa dihargai dan ditutup aibnya.
Di kemudian hari ketika mereka telah menjadi orangtua, mereka masih ingat Mbah Ngis sekaligus teringat dahulu pernah merugikannya.
Selama beberapa tahun terakhir ini, Mbah Ngis beberapa kali mendapat kiriman uang dari mereka yang mengaku secara terus terang bahwa dahulu pernah mengambil jajanan di warungnya tanpa bayar.

Dua tahun lalu Mbah Ngis dikirimi uang tunai via kurir dengan jumlah cukup besar. Setahun berikutnya sepucuk surat dan wesel dikirim via Pos Indonesia kepada Mbah Ngis atas nama beliau sendiri dengan alamat pondok.
Dari para pengirim, ada yang mengira Mbah Ngis belum wafat; ada pula yang meragukan atau tidak yakin bahwa Mbah Ngis masih hidup. Oleh karena itu di akhir surat, beberapa pengirim menulis pesan kalau Mbah Ngis sudah meninggal dunia, maka uang itu untuk keluarganya.
Setiap uang yang dikirim kepada Mbah Ngis, baik via kurir maupun wesel, disertai pesan bahwa mereka meminta maaf atas kesalahan-kesalahannya terutama karena telah mengambil jajanan tanpa bayar ketika dahulu masih nyantri di pondok.
Mereka mengakui jumlah uang yang mereka kirim jauh lebih besar daripada yang mereka ambil dari warung Mbah Ngis karena kiriman uang itu sekaligus sebagai syukuran sekaligus tahadduts bin ni’mah bahwa kini mereka telah cukup sukses dalam hidupnya dengan pekerjaan masing-masing.
Dengan adanya kiriman-kiriman uang yang ditujukan kepada Mbah Ngis pribadi, anak-anak Mbah Ngis merasakan beliau seolah-olah masih hidup karena masih diberi rejeki oleh Allah SWT dan menafkahi keluarganya yang telah lama beliau tinggalkan sejak tahun 1994. Mbah Ngis wafat karena kanker rahim 13 tahun setelah melahirkan anak ke-13. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.
Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ سَتَرَ عَلَى مُسْلِمٍ فِي الدُّنْيَا سَتَرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ
Artinya: “Barangsiapa menutupi (aib) seorang muslim sewaktu di dunia, maka Allah akan menutup (aibnya) di dunia dan akherat. Sesungguhnya Allah senantiasa menolong seorang hamba selama ia menolong saudaranya.” (HR. Tirmidzi)