Jejak PKI di Palembang

Tahun 1965 Desingan Peluru dan Mayat PKI Jadi Hal Biasa, Air Sungai Musi pun Berubah Merah

Air Sungai Musi pada waktu-waktu tertentu berubah menjadi merah akibat darah.

Editor: M. Syah Beni
Tribun Sumsel
Lokasi Pulau Kemaro yang Diduga Menjadi Tempat Tahanan PKI 

TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG- Mendengar suara desingan peluru dan melihat mayat dalam karung mengambang di sungai menjadi hal biasa bagi Man (88), pada kisaran tahun 1965.

Air Sungai Musi pada waktu-waktu tertentu berubah menjadi merah akibat darah.

Man yang rambutnya sudah memutih menyambut kehadiran Tribun Sumsel di rumanya yang tak jauh dari dermaga Sungai Lais dengan senyuman.

Ia masih nampak sehat, bugar, gagah ketika ditemui. Namun pendengarannya sudah tidak sekuat dulu, harus bersuara keras bila berbicara dengan dia.

Dulu, tahun 1952 adalah tahun pertamanya tiba dikawasan yang kini menjadi tempat tinggalnya. Ia perantau asal Tanjung Raja, Ogan Ilir.

Tapi dia menyebut berasal dari Ogan Komering Ilir, sebelum pemekaran kabupaten.

"Saya berasal dari OKI, Tanjung Raja. Dulu masih OKI, sekarang Ogan Ilir. Masih bujang waktu tiba di sini," katanya tegas diiringi tawa.

Setiba di daerah tersebut kala itu ia bekerja serabutan, swasta katanya. Mencari ikan, bercocok tanam dan pekerjaan lain yang menghasilkan uang.

Sebagai orang lama di kawasan tersebut, ia paham betul dengan daerah disekitar itu. Termasuk mengenai penjara zaman pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1965 yang berada di pulau Kemaro.

Pada saat pecahnya pemberontakan PKI, situasi kala itu sangat suram dan mengerikan. Ia tidak bisa leluasa hilir mudik di Sungai Musi, terutama yang berdekatan dengan penjara di Pulau Kemaro.

Man mengatakan, penjara tersebut awalnya bekas perumahan pegawai proyek jembatan.

Ketika pecah pemberontakan PKI, perumahan itu dijadikan sebagai penjara untuk anggota PKI.

Sepengetahuannya, penjara di tempat tersebut diperuntukkan bagi anggota PKI kelas A yang kebanyakan berasal dari Bangka. Asal Palembang memang ada, tapi yang benar-benar "komandannya", bukan anggota biasa.

"Lemak ngomongnyo, penjara itu untuk anggota PKI yang kebanyakan dari Bangka yang komandan-komandannya. Kalau anggota PKI biasa-biasa saja tidak di situ," ujar Man.

Masa itu dia sudah biasa melihat darah mengalir di sungai. Bahkan, mayat mengapung di sungai sudah bukan hal yang aneh. Bahkan suara tembakan eksekusi anggota PKI juga dianggap hal yang biasa.

"Kami dulu tidak boleh mendekati penjara itu. Ada batasnya. Seratus meter dari penjara tidak boleh mendekati, kalau masih ngeyel ditembak. Begitu juga ketika ada mayat yang mengapung tidak boleh diurusi, kalau berani coba-coba ya dihajar benar," katanya lagi.

Kata dia, penjara di Pulau Kemaro sifatnya terbuka tidak beruang-ruang. Semua tahanan berada di dalam tembok, mengumpul menjadi satu. Terdapat beberapa tower pemantau untuk mengawasi kawasan sekitar.

Eksekusi yang dilakukan tidak selalu malam. Kata dia, tahanan disuruh memajat pohon kemudian ditembak dari bawah. Ketika sudah demikian langsung dimasukkan dalam karung berukuran besar dan dibuang ke sungai.

"Setiap karung itu ada sekitar 10 sampai 15 orang. Kadang ada yang belum mati dimasukkan disitu. Kan karungnya dikasih pemberat besi, dibuang ke sungai. Beberapa hari mayatnya mengambang, timbul dan makanya banyak yang balik ke sungai kami sini lagi," kenangnya.

"Jadi ndak ada mayat yang dieksekusi itu di kubur. Mayatnya dibuang ke sungai semua, ditenggelamin," tambah dia.
Penjara di Pulau Kemaro akhirnya tidak digunakan lagi ketika pemberontakan PKI sudah reda. Hingga akhirnya tidak terurus dan kini tinggal puing-puingnya saja. (Wan/And)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved