Swara Irma
Jin Tukar Dolar
Pemilik rumah adalah anak seorang pejabat Orde Baru. Ia ketiban warisan rumah dan tanah di Kemang, Aku sampai terkesima
RUMAH kami berada di daerah Kemang, Jakarta Selatan. Tanah tempat rumah kami tak besar, hanya sekitar 800 meter persegi. Untuk ukuran Kemang rumah kami termasuk yang paling kecil. Di sepanjang jalan Kemang, tetangga kami tak ada yang luas tanahnya dibawah 1.000 meter persegi.
Aku membeli rumah ini pada tahun 1987. Pada waktu itu daerah Kemang masih sepi dan belum ada café dan resto atau apartemen. Orang tuaku membeli rumah mereka di Kemang pada tahun 1981. Aku ingat teman temanku di UI sering mengolokku. Mereka bilang Kemang itu tempat ‘ Jin tukar dollar’.
Bukan tempat jin buang anak, karena banyak orang asing yang bermukim di sana. Aku ketawo bae, ai biarkelah. Aku nekad nak meli rumah di Kemang. Harganya Rp 200 juta. Murah karena yang punya rumah tak butuh uang.
Pemilik rumah adalah anak seorang pejabat Orde Baru. Ia ketiban warisan rumah dan tanah di Kemang, Aku sampai terkesima melihat begitu banyak rumahnya, berjejer propertinya. Rumah yang ingin kubeli berdiri di atas tanah yang paling kecil, dirancang untuk ditinggali sendiri. Indra Tobing namanya. Karenanya disain dan interior dari rumah ini sangat nyaman dan berkelas.
Semua kusen dan kayu terbuat dari jati, bahkan sampai ke kamar Mbak Sum di belakang. Pada waktu itu sang pemilik rumah rupanya sudah enggan merenovasi rumah ini. Ia tinggal di Menteng, beberapa rumahnya yang di Kemang baru selesai dikontrakkan.
Tak mau repot merenovasi, ia memutuskan untuk menjual saja semua rumahnya di kemang. Pada waktu itu aku baru menikah, sedang hamil anakku yang pertama, Amanda Cininta. Aku memutuskan untuk memilih rumah di Kemang agar tak jauh dari Ibuku saat melahirkan.
Suamiku hanya menganggarkan Rp 100 juta. Sementara sang pemilik rumah ingin ‘cash and carry’. Ia bujangan yang kaya raya dan tak mau pusing. Tak habis akal, kuutus Ibu dan Ayahku yang berasal satu kampung dengan Indra. Kuminta mereka untuk berunding agar aku diberi tempo untuk membayar. Indra bermarga Tobing, kami Hutabarat. Pendekatan primordial ternyata efektif.
Sungguh, aku berterimakasih kepada sistem kekerabatan yang kita miliki, masih berlaku dalam masyarakat Batak, bahkan yang dirantau sekalipun. Kekerabatan yang dilandasi sistem ‘Dalihan Natolu’ . Pondasi dari adat istiadat dan kebudayaan Batak. Artinya Tungku nan Tiga. Tata kelola masyarakat adat yang masih dianut hingga kini.
Konon, Hutabarat dan Tobing berasal dari kampung yang sama yakni Tarutung. Nenek moyang kami bernama ‘Guru Mangaloksa’, anak lelakinya empat orang yang disebut si ‘opat pusoran’. Empat pusaran, artinya empat kakak beradik yaitu Hutabarat, Panggabean, Hutagalung dan Lumban Toruan atau Tobing,
Alhasil kami diberi kelonggaran. Uang seratus juta boleh untuk pembayaran pertama. Aku diberi waktu 6 bulan untuk melunasi rumah ini. Yang pertama kali kulakukan adalah menjual mobil pemberian Ayahku, sebuah Toyota Corolla merah maroon, yang telah membawaku kemana-mana, untuk kuliah di Rawamangun, untuk bekerja dan kupakai sampai menikah.
Lumayan, laku 22 juta setengah. Tetapi masih kurang untuk membayar rumah. Akhirnya kuputuskan untuk menggunakan uang hasil menjual mobilku untuk merenovasi rumah dan mencari orang asing yang butuh rumah sewaan.
Kebetulan penyewa rumah sebelumnya masih menempati rumah itu. Ia bekerja di Haliburton, perusahaan Minyak Amerika. Ia mengenalkan aku kepada salah satu temannya, orang Swedia yang menjadi direktur ILO (International Labour Organisation). Badan yang mengurusi buruh dan pekerja di bawah United Nation atau PBB. Bern namanya, beristrikan Mika, orang Swedia juga. Mereka menyukai rumah ini dan ingin menyewanya.
Pucuk dicinta ulam tiba. Ada harapan aku bisa melunasi rumahku, meski tak bisa menempatinya. Segera kubuat kolam renang sesuai permintaan Bern dan Mika. Kudapatkan kesepakatan yang baik pada waktu itu. Alhamdulilah, rumah yang baru dibayar separo ini sudah diminta untuk disewa PBB.
Akupun berurusan dengan staf PBB yang mengurusi perumahan dan kontrak mengontrak. Bolak balik aku datang ke kantor mereka di jalan Thamrin. Akhirnya mereka sepakat untuk menyewa selama 3 tahun dengan pembayaran dimuka, harus ada kolam renang. Uang sewa $ 3500 dolar Amerika perbulan. Artinya aku akan mendapat $ 126.000 USD. Wah banyak juga ya. Pada waktu itu kurs dolar Amerika masih sekitar Rp 2.400. Luar biasa , jumlahnya sekitar Rp 300 juta jika dikonversikan.
Kukembalikan uang dari suamiku, kulunasi rumah, plus kelebihannya, sekitar 75 juta kuserahkan pada suamiku, setelah dipotong biaya renovasi. Aku membeli rumah bukan saja balik modal, tetapi juga mendapat keuntungan sebelum menempatinya.