Pilgub DKI
Oligarki Parpol Runtuh
pasangan Jokowi-Ahok dalam semua quick count itu membuktikan, koalisi Parpol tak efektif di Pilgub Jakarta.

Kekalahan Foke lebih disebabkan banyak hal yang menyangkut karakternya. Yang pertama, stigma kegagalan Foke di putaran pertama Pilgub DKI yang masih melekat. Hal ini memalingkan pilihan warga pada sosok penantang yang dianggap mampu memberi harapan. Terlalu pendek waktu bagi Foke untuk mengimplementasikan program di fase akhir jabatanya, sehingga terkesan kerja dia sebatas pencitraan belaka.
Kedua, adanya kesenjangan hubungan komunikasi politik antara Foke dengan warga dan media massa. Foke cenderung kurang terbuka dengan media saat dia menjadi gubernur. Dia juga kurang membangun semangat komunitarian dengan warga. Akibatnya, kerap terbangun pola hubungan antagonistik antara Foke dengan media dan sense of belonging warga terhadap Foke juga memudar.
Kemenangan Foke pada Pilgub DKI tahun 2007 karena konsep penguasaan gerbong partai koalisi, plus minimnya figur alternatif yang memiliki karakter transformatif. Kehadiran Jokowi telah menumbangkan kekuatan Parpol koalisi yang tak lagi digubris warga.
Nah, di Pilkada DKI kali ini penantang sudah lama memiliki karakter low profile, asketis dan dekat dengan warga, sehingga dengan sendirinya menjadi antitesa atas Foke.
Jokowi telah sukses memosisikan brand-nya sebagai media icon dan mentransformasikan kekuatannya dengan tetap mengusung kesederhanaan. Identifikasi politik warga, jauh lebih berhasil masuk ke Jokowi daripada Foke yang lama berada dalam stigma elitis-birokratis. \