Sengketa Lahan di Ogan Ilir

Pilu Nenek Asiah, Tempati Gebuk Reot Tengah Kebun di Ogan Ilir, Harta Habis Gegara Berperkara Lahan

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

KORBAN SENGKETA LAHAN - Nenek Asiah saat ditemui di kediamannya Desa Santapan Timur, Jumat (22/8/2025). Wanita 70 tahun ini tinggal sendirian di gubuk reot miliknya karena hartanya habis akibat berpekara lahan dengan pihak personal dan perusahaan.

TRIBUNSUMSEL.COM, INDRALAYA -- Masa tua Siti Asiah (70 tahun) warga Desa Santapan Timur, Kecamatan Kandis, Ogan Ilir, Sumsel masih harus dilalui dengan sengketa lahan yang sudah dihadapinya selama bertahun-tahun. 

Bahkan di usianya kini, Siti Aisah terpaksa harus tinggal sendirian di dalam gubuk reot nyaris ambruk di tengah perkebunan karet, jauh dari permukiman warga.

Kurang lebih sudah 15 tahun ia menghabiskan masa tuanya di sini. 

Penyebabnya karena Asiah tak lagi memiliki harta akibat habis berperkara lahan dengan personal dan salah satu perusahaan di Kecamatan Kandis.

Berawal pada 2010 lalu saat Asiah berperkara lahan dengan tiga orang warga yang menggugat dirinya.

Namun karena pihak penggugat mengajukan banding hingga akhirnya dikabulkan pada 2012, Asiah terancam kehilangan lahan miliknya.

"Itu tanah saya ada SKT (Surat Keterangan Tanah) tahun 1970 dan ada surat jual-belinya. Memang waktu itu tanah kami belum ada sertifikat," kata Asiah kepada TribunSumsel.com dan Sripoku.com, Jumat (22/8/2025).

Baca juga: Sengketa Lahan Perumahan Griya Pesona Era Talang Jambe, Ahli Waris Sebut Tak Bermasalah dengan Warga

Diketahui, lahan yang dimiliki Asiah seluas 13 hektar dan ada sebagian yang terancam dikuasai orang lain.

Tak ingin tanah miliknya dirampas, Asiah beserta keluarga mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) dan dinyatakan menang.

Namun Asiah yang tinggal sendirian karena suaminya telah berpulang itu, harus kembali memperjuangkan haknya meskipun sudah menang di tingkat kasasi.

"Tahun 2013, ternyata tanah saya dijual pihak penggugat ke salah satu perusahaan di Kecamatan Kandis," ungkap Asiah.

Tak sampai di situ, pihak penggugat mengajukan Peninjauan Kembali (PK) pada 2016 dan kembali pihak Asiah dinyatakan menang.

Diakui Asiah, dia dan keluarganya sudah kehabisan banyak uang untuk mengurus perkara lahan tersebut selama bertahun-tahun.

Ketika ada bangunan perusahaan dan sebuah galian di atas tanah milik Asiah, dia dan keluarga tak memiliki uang untuk mengajukan eksekusi lahan ke pengadilan.

"Luas tanah yang dijual ke peusahaan itu panjangnya 500 meter dan lebar 30 meter," jelas Asiah.

Bertahun-tahun sengketa lahan berlangsung, pada 2024 lalu Asiah mengajukan eksekusi lahan ke Pengadilan Negeri (PN) Kayuagung.

Setelah pembacaan sita dari pengadilan, pihak perusahaan tak terima dan menggugat Asiah.

Asiah juga mengklaim pihak perusahaan juga menawarkan kesepakatan damai dengan uang Rp 100 juta untuk luas lahan sengketa.

Namun pihak Asiah menolak karena nilai uang tersebut tak sesuai Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).

"Bagi kami nilai itu (Rp 100 juta) tidak sesuai. Dan juga yang kami persoalkan, pihak perusahaan pada tahun 2013 membeli tanah yang sedang disengketakan," tutur Asiah.

Setelah belasan tahun memperjuangkan tanah miliknya, Asiah mengaku telah kehilangan banyak energi dan materi.

Dirinya pun berharap keadilan benar-benar ditegakkan.

"Sekarang nenek tinggal sendirian di rumah ini. Nenek takut kalau sewaktu-waktu rumah roboh dan kami tidak punya apa-apa lagi," ucap Asiah.

 

 

Baca artikel menarik lainnya di Google News

Ikuti dan bergabung di saluran WhatsApp Tribunsumsel

Berita Terkini