TRIBUNSUMSEL.COM- Bagi Anda yang membutuhkan cerita pendek (cerpen) tentang sekolah, bisa menggunakan contoh dalam artikel ini.
Berikut contoh cerpen tentang sekolah yang menarik dan berisi pesan penuh makna.
Contoh Cerpen 1
Judul: Suka Duka di Sekolah
Hai namaku Bonefasius Ananda Jehandut biasa dipanggil Nanda aku sekarang sekolah di SMP swasta di Yogyakarta, yaitu SMP Pangudi Luhur 1 Yogyakarta yang merupakan salah satu sekolah swasta paling berprestasi di Kota Yogyakarta. Ya aku adalah seorang pelajar, aku masuk di SMP ini ya sekitar Juli Tahun 2012. Aku masuk ke SMP ini karena aku tertarik dengan segala fasilitas yang diberikan, selain itu mendengar cerita-cerita dari kakak-kaka kelasku di SDku.
Dulu waktu aku pertama aku masuk aku sangat terkesan dengan banyaknya piala yang ada di Lobby SMP ini. Mulai dari tahun 80'an sampai sekarang semuanya masih terawat dan tertata dengan rapi. Aku sempat malu karena belum mendapat teman baru dan di lingkungan sekolah yang baru. Tapi banyak kok temen-temen SDku dulu yang masuk di SMP ini.
Setelah beberapa bulan aku mulai beradaptasi dengan baik dan mendapat banyak teman baru. Lalu setelah 1 tahun aku belajar di sekolah ini dengan suka duka bersama teman-teman baru di satu kelas dan satu sekolah aku mulai merasa mencintai sekolahku ini terutama karena guru-guru di sini yang mengajarku dengan metode pengajaran yang mengasyikan. Akhirnya dengan belajar bersama teman-teman, pelajaran pun menjadi mudah lalu kami semua naik kelas ke kelas 8.
Contoh Cerpen 2
Judul Sekolahku di Pedalaman
Pagi ini Pagi ini aku berangkat kesekolah dengan ceria, wala aku berangkat kesekolah dengan ceria, walaupun terl upun terlambat. Ak ambat. Aku tak bisa berbohong, kalau aku sangat senang bisa melihat Putri lagi… Sudah lima tahun aku belajar di sekolah “Budi Makmur” ini. Sekolahku berada di daerah pedalaman. Kondisi sekolahku sangat sederhana. Hanya ada tiga kelas. Dindingnya terbuat dari papan dan kulit kayu. Sementara atapnya terbuat dari daun sagu, atau sering disebut daun rumbia oleh suku pedalam. Meja dan tempat duduk kami terbuat dari papan yang dibuat memanjang.
Papan tulis hitam berukuran 1x2 meter menggantung di depan kelasku. Sekolahku hanya berlantaikan tanah. Kalau hujan turun, airnya akan masuk ke dalam kelasku hingga menjadi becek
Sekarang aku sudah kelas enam. Hanya ada empat orang murid di kelasku. Sedangkan guru yang mengajar di sekolahku hanya ada dua orang. Pak Nantan dan Pak Kurna, mengajar dari kelas satu sampai kelas enam. Dalam belajar, kami dan guru senang membaur. Seperti mengerjakan latihan misalnya, kami sering kami sering mengerjakan dan jakan dan memecahkannya bersama-sam hkannya bersama-sama, dan tidak malu-malu bertanya kalau tidak paham. Kami dan guru terlihat sangat akrab sekali!
Pulang sekolah hari ini aku dibonceng Pak Nantan naik sepeda ontel. Sedangkan Rizal, temanku, ikut dengan Pak Kurna. Kami sering dibonceng seperti ini karena rumah kami berdua paling jauh. Jarak rumah ke sekolahku empat kilo meter. Jam enam pagi aku sudah harus berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki melewati jalan setapak dan hutan belantara.
“Pak Nantan hari ini mancing ke sungai lagi? Boleh Ujang ikut?” tanyaku.
“Bapak hari ini memetik buah kelapa di kebun, Jang. Uang belanja sudah menipis. Besok kalau kelapa-kelapa itu sudah terjual, Bapak pasti akan ajak Ujang mancing di sungai!” janji Pak Nantan.
Aku sedih mendengarnya. Sudah lelah mengajar di sekolah, Pak Nantan harus memanjat kelapa lagi sesampainya di rumah. Kalau tidak, keluarganya tidak bisa makan. Karena dengan menjual buah-buah kelapa itulah Pak Nantan bisa mendapatkan uang untuk mencukupi kebutuhan keluarganya.
Pak Nantan tak menerima gaji mengajar di sekolah, karena Pak Nantan hanya tamat SMP. Tapi niat baiknya ingin memajukan kampungku supaya bebas buta huruf dan pandai berhitung memang patut diacungi jempol.
Setahun yang lalu ada dua orang guru bantu yang dipindahtugaskan dari kota ke kampungku. Betapa gembiranya aku waktu itu. Aku berharap kehadiaran mereka bisa memberikan kemajuan bagi sekolahku. Namun harapanku itu kemudian pupus. Sebulan mengajar, mereka hanya empat kali datang ke sekolahku. Bulan berikutnya, mereka tak pernah datang-datang lagi ke sekolah. Ah, mungkin mereka tak terbiasa dengan keadaan kampungku yang terpelosok jauh berada di pedalaman. Suatu hari Pak Nantan pernah bertanya kepadaku tentang cita-citaku. “Apa cita-citamu, Jang?”
“Aku ingin jadi seperti Bapak!” jawabku mantap.
“Menjadi guru?” Pak Nantan ter-senyum. Aku mengangguk, “Aku ingin membuat kampung ini menjadi maju. Aku ingin semua orang bisa membaca dan berhitung. Kalau orang-orang di kampung ini sudah bisa membaca dan berhitung, pasti mereka bisa membangun kampung ini mejadi lebih maju!” Mata Pak Nantan tampak berkaca-kaca mendengar penuturanku.
“Pendidikan di kampung ini memang sangat menyedihkan. Tak ada guru-guru yang mau mengajar di kampung ini. Apalagi kebanyakan anak-anak seusiamu lebih memilih bekerja di ladang membatu orang tua mereka dari pada pergi ke sekolah.”
Air mataku menetes. Aku sedih sekali. Di rumah, seharusnya Abah dan Emak bisa membimbingku belajar dan mengerjakan PR. Tapi mana mungkin. Kedua orang tuaku tidak pandai membaca dan menulis. Malah suatu ketika Abah dan Abah dan Emak memintaku untuk mengajari mereka memb Emak memintaku untuk mengajari mereka membaca, menu aca, menulis dan lis dan berhitung. Wah… Bagaimana mungkin? Apa aku bisa? Ah, tapi akhirnya kucoba juga. Setiap hari setelah pulang sekolah, aku pun mengajari orang tuaku membaca, menulis dan berhitung. “Abah bangga padamu, Jang. Anak sekecil kamu sudah pandai mengajari Abah dan Emakmu membaca, menulis dan berhitung,” ujar Abah memujiku. “Emak juga bangga, Jang. Berkat kamu sekolah, Emak dan Abahmu jadi tak bodoh lagi. Emak dan Abahmu sekarang sudah bisa membaca walaupun masih mengeja,” kata Emak lalu mencium kepalaku.
“Terma kasih,” ucapku terharu. “Ini juga berkat Abah dan Emak yang mau menyekolahkanku hingga aku menjadi pintar dan bisa mengajari Abah dan Emak di rumah, hehe…”
Abah dan Emak memelukku, dan menciumi kedua pipiku dengan penuh rasa sayang dan cinta.
Ah, kelak, aku harus bisa membangun kampung ini menjadi lebih maju! Aku ingin semua orang di kampung ini bisa membaca, menulis dan berhitung Doakan aku, ya, teman-teman
Baca juga: 5 Cerpen Latar Sejarah Indonesia, Jawaban Bahasa Indonesia Kelas 11 Halaman 64 Kurikulum Merdeka
Baca juga: Kumpulan Cerpen atau Cerita Pendek Tentang Libur Lebaran 2024, Cocok Untuk Tugas di Sekolah
Baca juga: Memahami Cerpen : Struktur, Fungsi, Ciri-ciri dan Pengertian Menurut Para Ahli
Itulah 2 contoh cerpen tentang sekolah yang menarik dan berisi pesan penuh makna.
Baca artikel dan berita Tribun Sumsel lainnya langsung dari google news