TRIBUNSUMSEL.COM -- Mati meninggalkan hutang atau belum membayar hutang kepada orang yang memberi hutang, banyak hal seperti ini dipertanyakan masyarakat kita.
Adakah dalil hadits yang menjelaskan tentang hutang orang meninggal? atau hukum mati meninggalkan hutang? Berikut penjelasannya.
Tak heran kalau kita biasa ikut mengantar jenazah ke liang kubur, bilal atau imam sholat jenazah selalu mengatakan, bila ada hutang yang belum dibayarkan oleh almarhum/almarhumah semasa hidup, silakan menghubungi keluarganya.
Pada dasarnya utang piutang harus segera dibayarkan dan diselesaikan sebelum meninggal. Sebab utang piutang yang belum terselesaikan sebelum meninggal akan menghambat perjalanan ruhnya mayit menuju tempatnya yang mulia.
Ustadzah Halimah Alaydrus dalah satu tausiahnya yang diunggah di media sosial mengatakan:
"Suatu ketika di zaman nabi, kalau Nabi mau menyolatkan muslim yang meninggal, pertanyaan nabi bukan bagaimana sholatnya, bagaimana ibadahnya. Tidak. Nabi bertanya, apa dia punya hutang?
"Lalu jemaahnya mengatakan dia punya hutang dengan si fulan A, si fulan B. Nabi tidak jadi menyolatkan. Nabi tidak mau menyolatin orang meninggal yang bawa hutang. Nabi tau syafaatnya tidak akan sampai kepada orang yang masih memiliki utang setelah meninggal dunia"
Ustadzah Halimah lalu mengatakan:
"Kusampaikan kepadamu dengan penuh cinta, jangan berani mati bawa hutang, Nabi tidak bisa syafatain dirimu," tutup Ustadzah Halimah sedikit terisak.
Hadits tentang Hutang Orang Meninggal
Namun, ada beberapa keadaan yang menjadikan seseorang gagal membayar utangnya bahkan sampai meninggal.
Jika demikian, maka yang harus dilakukan adalah untuk segera membayarkan utang mayit bahkan sebelum memandikan sebagai upaya untuk menyegerakan pembebasan ruhnya mayit menuju tempatnya yang mulia.
Dikutip dari nu.or.id, di dalam hadits shahih dijelaskan bahwa ruhnya orang yang mempunyai utang tertahan, sampai utangnya dilunasi sebagai berikut dijelaskan dalam Mugni al-Muhtaj:
يُبَادَرُ) نَدْبًا (بِقَضَاءِ دَيْنِ الْمَيِّتِ) إنْ تَيَسَّرَ حَالًّا قَبْلَ الِاشْتِغَالِ بِتَجْهِيزِهِ مُسَارَعَةً إلَى فِكَاكِ نَفْسِهِ، لِخَبَرِ «نَفْسُ الْمُؤْمِنِ أَيْ رُوحُهُ مُعَلَّقَةٌ: أَيْ مَحْبُوسَةٌ عَنْ مَقَامِهَا الْكَرِيمِ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ» رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ وَصَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ وَغَيْرُهُ، فَإِنْ لَمْ يَتَيَسَّرْ حَالًّا سَأَلَ وَلِيُّهُ غُرَمَاءَهُ أَنْ يُحَلِّلُوهُ وَيَحْتَالُوا بِهِ عَلَيْهِ
Artinya:
"Disunnahkan untuk menyegerakan melunasi utang mayit. Jika memungkinkan segera melunasi sebelum sibuk merawat mayit. Karena untuk menyegerakan pembebasan ruhnya mayit berdasarkan hadits: "Ruhnya orang mukmin digantungkan -maksudnya ruhnya tertahan menuju tempatnya yang mulia- sebab utangnya, sampai utangnya itu dilunaskan." (HR. At-Tirmidzi. Ibnu Hibban dan selainnya menilai hadits ini hasan dan shahih).