1. Ketokohan seorang ayah
Bukan untuk mendominasi, tetapi ketokohan dan wibawa seorang ayah, suami atau kepala keluarga amat diperlukan agar sebuah bahtera keluarga berada dalam satu komando.
Dengan begitu, para penumpang--dalam hal ini anak-anak--tidak terombang-ambing oleh perbedaan cara pandang dan cara didik kedua orang tuanya.
2. Ibu yang pendengar
Peran ibu tak harus selalu cerewet dan pengatur. Dalam banyak momen ia dibutuhkan menjadi pendengar yang baik.
Ibu bagai sebuah wadah masalah, tempat para anggota keluarga mencurahkan keluh-kesah, tak hanya anak-anak tetapi juga sang ayah.
Sosok ibu yang teduh dan pendengar, akan memberi ruang bagi segenap anggota keluarga untuk selalu berterus terang dalam hal apapun.
Tidak ada perkembangan anak yang luput dari pantauan ibu, tidak ada kegelisahan kepala keluarga yang dilampiaskan keluar rumah.
3. Gotong-royong
Keluarga bak rangkaian tubuh yang mesti bergotong-royong dan bahu-membahu dalam mengerjakan tugas sehari-hari.
Seperti saat perut terasa lapar, otak memerintahkan kaki untuk berjalan ke dapur, tangan mengambil piring, menyendok makanan di meja makan, lalu menyuapkan ke mulut, mulut mengunyah dan menelannya, kemudian perangkat lambung memproses dan seterusnya.
Begitu gambaran gotong-royong yang berjalan otomatis dalam sebuah keluarga.
Semua melakukan tugas sesuai peran dan kapasitas masing-masing. Tidak ada yang terlalu dimanja, sementara yang lain melakukan “kerja paksa”. Semua adil dan berjalan suka rela.
4. Penerimaan
Saat ekonomi keluarga tak lagi berjaya, semua bergegas menyesuaikan diri meski memerlukan waktu lebih lama untuk mengungkapkan kenyataan pahit itu kepada anak-anak.