"Sebelum ada penyelesaian, segala kegiatan di atas lahan yang disengketakan, kami minta dihentikan, "tegasnya.
Kepala Desa Benuang Haris Kawaludin dalam surat pernyataannya membenarkan bahwa lahan miliknya telah dirampas oleh PT Suryabumi Agrolanggeng sejak tahun 1992 hingga tahun 1998.
Ia juga mengatakan luas lahan miliknya yang digunakan usaha dan ditanami sawit oleh PT Suryabumi Agrolanggeng seluas 2 hektar.
"Dari luas lahan 2 hektar tersebut, baru 1 hektar di ganti rugi dengan uang sebesar Rp 600 ribu rupiah pada tahun 2000,"
"Artinya masih 1 hektar lagi lahan saya yang belum diganti rugi oleh perusahaan, begitu juga dengan lahan milik masyarakat Desa Benuang lainnya,"bebernya.
Jon Edi selaku Manager SDM dan Umum PT Suryabumi Agrolanggeng ketika ditemui Sripoku.com di kantornya mengatakan proses pembebasan lahan warga Desa Benuang dan Desa Talang Bulang telah dimulai sejak tahun 1993 sampai dengan 1998.
"Waktu itu kita sudah melakukan pembebasan lahan, sudah kita beli, tapi melalui Perangkat Desa atau Kades pada masa itu, dengan sistem Pancung Alas,"kata dia.
Namun pada tahun 2000, masyarakat menuntut ke perusahaan dan mengatakan bahwa lahan yang dibebaskan tersebut ada kesalahan dalam pembayaran.
"Pada tahun 2000 sudah dilakukan mediasi antara pihak perusahaan dengan masyarakat oleh Bupati Muara Enim saat itu, namun belum ada titik temu, Akhirnya kita di Demo pada saat itu, sampai kantor kita dibakar," ungkapnya.
Setelah aksi Demo tersebut, Jon Edi mengatakan pihak perusahaan melakukan mediasi lagi dengan masyarakat, dan pada akhirnya timbulnya kesepakatan untuk dilakukan pembayaran kembali.
Kemudian dibentuk Tim oleh warga melalui pemerintah Desa, dari luas lahan dan siapa-siapa orang yang akan dilakukan pembayaran mereka yang menentukan.
Dijelaskan nya, luas lahan masing-masing warga yang ditentukan oleh Tim yang dibentuk tersebut untuk dilakukan pembayaran seluas 1 hektar.
"Jumlah nya, luas lahan dan siapa-siapa yang akan dilakukan pembayaran mereka yang menentukan melalui Tim yang dibentuk warga dan pemerintah Desa, kemudian kita sepakat dalam 1 hektar lahan tersebut pada masa itu Rp 600 ribu, masing-masing warga disepakati 1 hektar dilakukan pembayaran yang di saksikan oleh Kepala Desa dan Camat pada masa itu, yang juga ikut melegalisasi pembayaran lahan tersebut, "jelasnya.
Sejak saat itu, menurut Joni Edi permasalahan tersebut sudah selesai dan tidak ada lagi tuntutan dari masyarakat dan baru muncul kembali tuntutan masyarakat pada akhir tahun 2023 hingga 2024 saat ini.
"Kami juga bingung permasalahan tuntutan ini baru mencuat kembali pada saat ini, bahwa mereka menganggap pembayaran masing-masing 1 hektar lahan yang sudah dibayar tersebut masih ada yang kurang, masing-masing diminta pembayaran 1 hektar lagi,"ucapnya.