Dialog antara ayah dengan anak telah diabadikan oleh Allah dalam Surat As-Shaffat. Dalam metode pendidikan, pola semacam ini disebut metode hiwari alias dialog.
Nabi Ibrahim tidak langsung menyuruh Ismail 'alahissalam menuruti keinginannya agar mau disembelih. Melainkan, menanyakan kepadanya terlebih dulu.
Meminta pendapatnya. Menguji respon dan reaksinya. Hal ini sesuai dengan fitrah psikologis, bahwa remaja bisa dimintai pendapat melalui cara dialog untuk mengembangkan nalarnya.
Dan, Ismail ‘alaihissalam menjawab dengan pasti dan percaya diri serta berharap dirinya menjadi bagian orang-orang yang bersabar (minas shabirin).
Poin ketigadalam peristiwa ini adalah pendidikan ketauhidan.
Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail ‘alaihimassalam kompak menjalani perintah Allah. Keduanya berserah diri dan bertawakal menjalani perintah Sang Pencipta, meskipun ketika hendak disembelih, Allah menggantinya dengan hewan sembelihan dari surga.
Pelajaran yang bisa kita petik dari peristiwa ini adalah pentingnya menanamkan ketauhidan kepada keluarga.
Seorang ayah yang memiliki karakter kuat dan ketauhidan yang kokoh akan bisa mendidik anaknya dengan baik dalam hal kecintaan kepada Allah dan mentaati perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya, jika dirinya terlebih dulu memberikan contoh yang konkrit.
Nabi Ibrahim telah memberikan contoh, dan Nabi Ismail pun tidak ragu melaksanakan permintaan dari ayahnya.
Sebagai seorang ayah, Nabi Ibrahim memberi contoh bagaimana ketaatan kepada Allah harus didahulukan daripada kecintaan terhadap anak. Sebagai seorang yang beriman, beliau menjalani ujian ini dengan baik.
Tidak ada gugatan kepada-Nya, mengapa harus menyembelih putra yang telah dinantikan, bagaimana bisa Allah memerintahkan hal ini, dan berbagai pertanyaan lainnya.
Yang dilakukan oleh beliau adalah menjalankannya, berserah diri kepada Allah untuk meraih ridlo-Nya. Sebab, beliau sadar, sebagai hanifan muslima alias seorang yang bersadar diri tunduk kepada-Nya dan menjalani ketentuan Allah.
Sedangkan sebagai seorang anak, Ismail ‘alaihisaalam mematuhi perintah dari ayahnya sebagai wujud bakti seorang anak, dan sebagai ungkapan ketaatan seorang hamba kepada Allah.
Demikianlah di antara hikmah peristiwa kurban yang dijalani oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail ‘alaihimassalam.
Semoga kita bisa memetik pelajaran dari khutbah yang saya sampaikan ini dan semoga kita semua bisa melaksanakan beberapa hikmah pendidikan yang telah saya sampaikan.
اعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطنِ الرَّجِيْمِ. بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ. إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الاَبْتَرُ بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَاِيِّاكُمْ بما فيه مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاوَتَهُ اِنّهُ هُوَ السَّمِيْعُ اْلعَلِيْمُ. فَاسْتَغْفِرُوْا اِنَّهُ هُوَاْلغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
***