TRIBUNSUMSEL.COM -- Arti Hadyu Adalah, Sebutan Kurban yang Disembelih di Tanah Suci, Maksud dan Tujuan
Dalam bahasa Arab, hewan kurban dikenal dengan beberapa istilah.
Ada kurban udh-hiyah, tadhiyah dan hadyu
Udhiyah atau Dhahiyyah adalah nama atau istilah yang diberikan kepada hewan sembelihan seperti: Unta, sapi atau kambing pada hari idhul Adha dan pada hari- hari tasyrik (11, 12, 13 Zulhijjah). Udhiyah dan tadhiyah dalam rangka ibadah dan bertaqarrub kepada Allah Subhanahu Wata'ala.
Hadyu adalah hewan kurban yang penyembelihannya dilaksanakan di Tanah Suci tepatnya di Kota Mekkah.
Sebagaimana keterangan An-Nawawi adalah sebagai berikut,
الهدي ما يهدي إلى الحرم من الحيوان وغيره والمراد هنا ما يجزىء في الأضحية من الإبل والبقر والغنم (تحرير ألفاظ التنبيه (ص: 156)
“Hadyu adalah hewan atau selain hewan yang ‘dihadiahkan’ ke tanah suci. Yang dimaksud hewan di sini adalah hewan yang sah digunakan untuk berkurban, yaitu unta, sapi dan kambing” (Tahriru Alfazhi At-Tanbih, hlm 156)
Jadi, berdasarkan definisi di atas, “hadyu” itu adalah kurban yang khusus dilaksanakan di Tanah Suci, terutama di Kota Mekkah.
Banyak orang baik di negara Arab Saudi maupun negara Timur Tengah bertetangga dengan Arab Saudi "mengirimkan" hewan kurban ke tanah suci dengan niat “taqorrub ilalah” (mendekat kepada Allah).
Daging hewan kurban itu kemudian dibagi-bagikan di sana, itulah yang disebut dengan “hadyu”. Inilah perbedaan mendasar antara kurban udhiyah dan tadhiyah dengan kurban “hadyu”.
Perbedaan yang lain, kurban “hadyu” itu bisa dilaksanakan kapanpun yang diinginkan. Tidak terikat waktu.
Boleh dilakukan di bulan Muharrom, Shofar, Ramadan, Dzulhijjah dan seterusnya. Tidak harus pada bulan tertentu atau tanggal tertetu.
Kurban “hadyu” bisa dilaksanakan sekalian menjenguk kerabat ke Mekah, atau sekalian umroh, atau sekalian haji, atau titip kepada orang yang kebetulan menuju ke Mekah untuk keperluan pribadinya.
Berbeda dengan kurban udhiyah dan tadhiyah karena waktu pelaksanaannya dibatasi di bulan Dzulhijjah, yakni tanggal 10-13 Dzulhijjah.
Hukum kurban Hadyu
Hukum kurban “hadyu” adalah sunnah, bukan wajib. Sebagaimana sunnahnya kurban biasa, berkurban hadyu juga disunahkan bagi orang yang mampu baik dia berkurban “hadyu” dengan datang sendiri ke Mekah maupun mewakilkan kepada orang.
Dasar sunnahnya kurban “hadyu” adalah amalan Rasulullah صلى الله عليه وسلم yang melakukan kurban “hadyu” saat melakukan umroh pada peristiwa Hudaibiyah. Al-Bukhari meriwayatkan,
عَنْ الْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ وَمَرْوَانَ قَالَا خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَمَنَ الْحُدَيْبِيَةِ مِنْ الْمَدِينَةِ فِي بِضْعَ عَشْرَةَ مِائَةً مِنْ أَصْحَابِهِ حَتَّى إِذَا كَانُوا بِذِي الْحُلَيْفَةِ قَلَّدَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْهَدْيَ وَأَشْعَرَ وَأَحْرَمَ بِالْعُمْرَةِ (صحيح البخاري (6/ 158)
“Dari Al-Miswar bin Makhromah dan Marwan, mereka berkata, ‘ Rasulullah ﷺ keluar dari Madinah pada peristiwa Hudaibiyah bersama seribu sekian ratus shahabatnya. Ketika mereka sampai di Dzu Al-Hulaifah maka Rasulullah ﷺ mengalungi hewan kurban “hadyu”-nya dan memberi tanda pada punuknya dan beliau berihram dengan niat umroh” (H.R. Al-Bukhori)
Sunnahnya kurban “hadyu” adalah hukum asal. Hanya saja dalam kondisi-kondisi tertentu kurban “hadyu” bisa menjadi wajib. Kapan saja itu?
“Hadyu” bisa menjadi wajib jika orang berhaji dengan cara “tamattu’” (umroh dulu kemudian haji) atau “qiron” (umroh sekalian dibarengkan haji). Kurban “hadyu” juga bisa menjadi wajib jika orang yang berhaji meninggalkan salah satu atau lebih “nusuk” wajib haji atau melanggar larangan ihram.
Kurban “Hadyu” juga bisa menjadi wajib jika dinadzarkan.
Jenis-jenis Hadyu
Dikutip dari rumaysho.com, sebagian ulama membagi “hadyu” menjadi 4 macam kategori yaitu
“hadyu tathowwu’ (هدي التطوع),
“hadyu muhshor” (هدي المحصر),
“hadyu syukr” (هدي الشكر),
dan “hadyu jubron” (هدي الجبران).
“Hadyu tathowwu” adalah “hadyu” sunnah. “Hadyu syukr” dan “hadyu jubron” adalah “hadyu” wajib, sementara “hadyu muhshor” bisa merupakan “hadyu” sunnah dan bisa juga merupakan “hadyu” wajib.
Dalil yang menunjukkan bahwa “hadyu” harus dikirim ke Mekah adalah ayat berikut ini,
{ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ هَدْيًا بَالِغَ الْكَعْبَةِ} [المائدة: 95]
“(untuk menentukan hewan penebus itu hendaklah) ada dua orang adil di kalangan kalian yang memberi keputusan, sebagai “hadyu” yang dikirimkan ke Ka’bah” (Al-Maidah; 95)
Allah menyebut dalam ayat di atas bahwa “hadyu” itu di kirimkan ke Ka’bah. Para ulama menjelaskan bahwa maksud Ka’bah dalam ayat ini adalah Mekah.
Dalil lain yang menguatkan adalah ayat ini,
{ثُمَّ مَحِلُّهَا إِلَى الْبَيْتِ الْعَتِيقِ} [الحج: 33]
“Kemudian waktu halalnya (menyembelih “hadyu” itu adalah ketika) sampai ke Al-Bait Al-‘Atiq” (Al-Hajj; 33)
Dalam ayat di atas Allah juga menegaskan bahwa “mahill” (waktu halalnya menyembelih) “hadyu” adalah ketika sudah sampai “Al-Bait Al-‘Atiq”. Yang dimaksud “Al-Bait Al-‘Atiq” adalah Ka’bah dan yang dimaksud Ka’bah adalah Mekah. Jadi, “hadyu” wajib dikirim ke Mekah.
“Hadyu” sunnah boleh dilakukan sewaktu-waktu. Semua muslim berpeluang melakukannya selama mampu. Di antara yang berpeluang untuk melakukannya adalah orang yang berhaji “ifrod”, orang yang berumroh, dan muslim dari negerinya masing-masing, baik datang sendiri dengan membawa “hadyu” maupun mewakilkan kepada orang lain. Dalil bahwa “hadyu” sunnah bisa dilakukan sewaktu-waktu adalah ayat Al-Qur’an berikut ini,
{جَعَلَ اللَّهُ الْكَعْبَةَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ قِيَامًا لِلنَّاسِ وَالشَّهْرَ الْحَرَامَ وَالْهَدْيَ وَالْقَلَائِدَ} [المائدة: 97]
“Allah menjadikan Ka’bah sebagai rumah suci, tempat nyaman untuk manusia, (sebab dibuat) bulan suci, (sebab disyariatkannya menyembelih) ‘hadyu’, dan kalung-kalung (Al-Maidah; 97(
Dalam ayat di atas disebutkan syariat “hadyu’ tanpa diikat waktu tertentu untuk melaksanakan. Jadi ayat ini memberi pengertian bahwa “hadyu” bisa dilakukan kapanpun yang diinginkan. Ayat yang senada adalah ayat berikut ini,
{لَا تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ وَلَا الْهَدْيَ وَلَا الْقَلَائِدَ} [المائدة: 2]
“Janganlah kalian merusak syi’ar Allah, bulan suci, “hadyu” dan kalung-kalung (Al-Maidah; 2)
Ayat ini juga menyebut “hadyu’ tanpa diikat waktu tertentu untuk melaksanakan. Jadi ayat ini memberi pengertian bahwa “hadyu” bisa dilakukan kapanpun yang diinginkan.
Adapun masalah makan daging kurban “hadyu”, jika “hadyu” yang dilakukan adalah “hadyu” sunnah maka sudah disepakati bahwa orang yang berkurban boleh ikut makan.
Adapun jika “hadyu” wajib, maka mazhab Asy-Syafi’i berpendapat orang yang berkurban tidak boleh ikut memakannya. An-Nawawi berkata,
كُلُّ هَدْيٍ وَجَبَ ابْتِدَاءً مِنْ غَيْرِ الْتِزَامٍ كَدَمِ التَّمَتُّعِ وَالْقِرَانِ وَجُبْرَانَاتِ الْحَجِّ لَا يَجُوزُ الْأَكْلُ مِنْهُ بِلَا خِلَافٍ (المجموع شرح المهذب (8/ 417)
“Semua “hadyu” yang wajib sejak awal tanpa adanya komitmen seperti “dam tamattu’, “dam qiron” dan ”jubronat” haji maka tidak boleh dimakan (oleh orang yang berkurban) tanpa ada perselisihan” (Al-Majmu’, juz 8 hlm 417).
Baca juga: Arti Shohibul Qurban, Istilah Bahasa Arab Bagi Orang yang Melaksanakan Kurban, ini Hukum dan Syarat
Baca juga: 30 Ide Tema Kegiatan Qurban Idul Adha 1444 H/2023 Terbaik, untuk Dicantumkan Pada Spanduk Acara
Baca juga: Ketentuan dan Syarat Hewan Qurban yang Wajib Diketahui Umat Muslim
Baca juga: Arti Qurban atau Kurban Adalah, Hukum dan Ketentuan Pelaksanaan Serta Sejarah Perintah Berkurban