Palembang Banjir

Palembang Banjir, Pemerhati Bencana Unsri : Tak Sepenuhnya Karena Faktor Alam

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Stevanus Nalendra Jati Pemeharti Bencana Unsri Soal Banjir Palembang

Laporan Wartawan Tribunsumsel.com, Shinta Anggraeni

TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG --
Pemerhati bencana banjir dan bencana bumi lainnya dari Prodi Teknik Geologi Universitas Sriwijaya (Unsri), Stevanus Nalendra Jati, ST MT angkat bicara terkait banjir yang seakan "menghantui" kota Palembang. 

Bila hujan dengan intensitas sedang hingga lebat dengan durasi lebih dari satu jam, maka berbagai titik di kota Palembang dapat dipastikan mengalami banjir. 

Baca juga: Banjir Palembang, Warga Dorong Motor Hingga Dini Hari, Mangkunegara, Soekamto, A Rozak Macet Panjang

Seperti yang terjadi pada Selasa (4/10/2022) dan Rabu (5/10/2022). 

"Ada yang menyebut, ini semua karena fenomena alam, fenomena alam, dan fenomena alam. Stop, nanti dulu tak
sepenuhnya faktor alam," ujar Stevanus menanggapi soal banjir di Palembang. 

Dia menjelaskan, sejatinya banjir yang menggenangi Palembang 4 Oktober 2022 merupakan klimaks dari curah hujan harian yang berdurasi mencapai 1,5 jam.

Hujan lebat terjadi pada pukul 16.16 WIB hingga 17.30, kemudian diiringi dengan gerimis panjang hingga pukul 18.15. 

Begitupun dengan yang terjadi pada 5 Oktober 2022.

Sejumlah wilayah di Palembang mengalami banjir dengan cuaca ekstrem yang masih berpotensi terjadi. 

Baca juga: Banjir di Palembang, Berikut Penjelasan Walikota Harnojoyo

"Hal itu berdampak pada kemacetan kota yang mana bertepatan dengan aktivitas pulang kantor," ujarnya. 

Lanjut dikatakan, BMKG SMB II Palembang sebenarnya telah memprediksi adanya peringatan dini cuaca melalui kanal media sosialnya “@infobmkgsumsel”.

Informasi ini terkait akan ada anomali cuaca yang terjadi pada 4-6 Oktober 2022.

Masyarakat diimbau meningkatkan kewaspadaan terhadap potensi hujan dengan intensitas sedang hingga
lebat disertai petir/kilat, serta angin kencang berdurasi singkat. 

Banjir yang terjadi di kawasan MP Mangkunegara banyak pengendara motor yang mendorong motornya karena mogok usai menerjang banjir (Tribunsumsel.com)

"Hampir di seluruh bagian

Sumatera Selatan akan terdampak potensi cuaca ekstrem tersebut," jelasnya. 

Di kota Palembang, umumnya daerah Kemang Manis, Sekip dan Sukabangun yang menjadi puncak genangan.

Stevanus menjelaskan, penyebabnya dikarenakan ketiga daerah tersebut merupakan cekungan atau lembah antar bukit atau yang dikenal dengan istilah “saddle zone”.

Baca juga: Palembang Banjir, Terbangun Tengah Malam Warga Kemuning Kaget Rumah Penuh Air

"Ada juga sebaran lain, tentunya berada di kawasan pesisir sungai kecil yang menjadi daerah kelok atau lika-liku aliran air sungai seperti di daerah Veteran, Plaju, Demang, Bukit Besar,
maupun Kertapati," paparnya.

Berbicara soal banjir yang kerap terjadi di Palembang, Stevanus tak menampik bahwa condong penyebabnya adalah alam. Namun demikian, dia menegaskan bahwa alam hanya sekadar menyelaraskan diri. 

"Ada faktor eksternal maupun internal yang menjadi pemicu banjir ini," tegasnya. 

Adapun faktor eksternal yang dimaksud, meliputi curah hujan tinggi disebabkan pertemuan antara anomali suhu muka laut dan pembelokan angin. 

Hal ini berimplikasi pada konvergensi serta penumpukan massa udara untuk pertumbuhan kantung awan yang semakin pekat (langit gelap).

Banjir di halaman gedung Pengadilan Negeri Palembang, Selasa (4/10/2022) Sore (TRIBUNSUMSEL.COM/SHINTA)

Sedangkan faktor internal yaitu human factor, terjadinya misleading antara ego sektoral warga dengan arah kebijakan pemerintah baik kota maupun provinsi.

"Sering terbengkalai dalam wawasan kita ialah faktor kedua ini, yaitu human factor," ucapnya. 

Kata Stevanus, harmoni antara pemangku kebijakan dan penerima manfaat dalam hal ini adalah warga perlu ditumbuh kembangkan.

Sebagai contoh, cenderung bila terjadi banjir, warga teriak-teriak memohon agar penanggulangan agar pemerintah tidak lalai. 

Disatu sisi, pemerintah sudah berupaya turun lapangan membangun infrastruktur penangkal banjir.

"Ada point of view (PoV) yang menjadi celah harapannya semoga dapat menjembatani, yaitu optimasi resapan dan normalisasi saluran," jelasnya. 

Lebih dijelaskan secara mendalam terkait optimasi resapan melalui Konsep Zero Artificial Runoff (ZARo).

Kota Palembang dikaruniai oleh morfologi dataran yang didominasi oleh material gambut berupa batu Lempung dan batu Lanau. 

Kedua litologi batuan penyusun Kota

Palembang ini sangat lemah terhadap nilai resapan air (infiltrasi). 

Ilmu kebumian menyebutnya dengan impermeable.

Hal itu maka lumrah jika air permukaan sangat sulit meresap ke bawah permukaan, dan cenderung hanya mengalir ke permukaan.

"Pesatnya pertumbuhan dan tata kota yang padat, maka Langkah bijak yang dirasa perlu adalah memulai mengoptimalkan resapan, baik alami dari akar tanaman dan penghijauan maupun buatan dari sumur-sumur resapan. 

Menurut Stevanus, kebijakan ini akan sangat optimal jika ditumbuhkan dari rasa kebersamaan dengan warga, melalui Gerak Resap di
masing-masing rumah.

Secara ekstrimnya, perlu regulasi yang mendesak warga maupun para pengembang untuk mewajibkan adanya peresapan. 

"Lebih lanjut, mengurangi cor-coran dengan mengubah menjadi infrastruktur yang ramah dengan resapan, seperti konblok dan sebagainya," ujarnya. 

Sementara terkait normalisasi saluran, Stevanus menjelaskan, saluran telah ada sedari jaman kerajaan dan juga sudah ada peremajaan

Berbondong-bondong kelompok warga dan afiliasi komunitas sudah membersihkan saluran di
permukaan. 

Namun, ada yang tak kalah penting yakni adanya pendangkalan pada setiap saluran. 

"Maka perlu pengerukan di berbagai sudut saluran sebagai paradigma untuk perawatan selokan," ujarnya. 

Stevanus berharap dan sepakat, ke depan dan seterusnya, Palembang menganggap bahwa banjir bukan merupakan bencana. 

"Tetapi lebih kepada manajemen tata air seperti pengendalian aliran air dan air saluran," ujarnya. 

(*)

Baca berita lainnya di Google News

Berita Terkini