Stevanus menjelaskan, penyebabnya dikarenakan ketiga daerah tersebut merupakan cekungan atau lembah antar bukit atau yang dikenal dengan istilah “saddle zone”.
Baca juga: Palembang Banjir, Terbangun Tengah Malam Warga Kemuning Kaget Rumah Penuh Air
"Ada juga sebaran lain, tentunya berada di kawasan pesisir sungai kecil yang menjadi daerah kelok atau lika-liku aliran air sungai seperti di daerah Veteran, Plaju, Demang, Bukit Besar,
maupun Kertapati," paparnya.
Berbicara soal banjir yang kerap terjadi di Palembang, Stevanus tak menampik bahwa condong penyebabnya adalah alam. Namun demikian, dia menegaskan bahwa alam hanya sekadar menyelaraskan diri.
"Ada faktor eksternal maupun internal yang menjadi pemicu banjir ini," tegasnya.
Adapun faktor eksternal yang dimaksud, meliputi curah hujan tinggi disebabkan pertemuan antara anomali suhu muka laut dan pembelokan angin.
Hal ini berimplikasi pada konvergensi serta penumpukan massa udara untuk pertumbuhan kantung awan yang semakin pekat (langit gelap).
Sedangkan faktor internal yaitu human factor, terjadinya misleading antara ego sektoral warga dengan arah kebijakan pemerintah baik kota maupun provinsi.
"Sering terbengkalai dalam wawasan kita ialah faktor kedua ini, yaitu human factor," ucapnya.
Kata Stevanus, harmoni antara pemangku kebijakan dan penerima manfaat dalam hal ini adalah warga perlu ditumbuh kembangkan.
Sebagai contoh, cenderung bila terjadi banjir, warga teriak-teriak memohon agar penanggulangan agar pemerintah tidak lalai.
Disatu sisi, pemerintah sudah berupaya turun lapangan membangun infrastruktur penangkal banjir.
"Ada point of view (PoV) yang menjadi celah harapannya semoga dapat menjembatani, yaitu optimasi resapan dan normalisasi saluran," jelasnya.
Lebih dijelaskan secara mendalam terkait optimasi resapan melalui Konsep Zero Artificial Runoff (ZARo).
Kota Palembang dikaruniai oleh morfologi dataran yang didominasi oleh material gambut berupa batu Lempung dan batu Lanau.
Kedua litologi batuan penyusun Kota