Berita Palembang

Pengamat Pendidikan Prof Drs HM Sirozi: Banyak Kebijakan Seperti Mie Instan, Tidak Terlalu Sehat

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pengamat Pendidikan Prof. Drs. H. M. Sirozi, MA., Ph.D pada momentum Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), yang perlu dibenahi yaitu budaya membuat kebijakan termasuk kebijakan pendidikan.

TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG - Menurut Pengamat Pendidikan Prof Drs HM Sirozi MA, PhD, pada momentum Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), yang perlu dibenahi yaitu budaya dalam membuat suatu kebijakan termasuk kebijakan bidang pendidikan. 

"Persoalan pendidikan ini sangat fundamental yang akan menentukan masa depan suatu bangsa, yang akan membuat lulusannya jadi orang penting. Kalau salah dalam mengambil kebijakan, maka akan terlahir manusia-manusia yang salah," kata Prof Sirozi saat diwawancarai khusus oleh Tribun Sumsel, Sabtu (1/5/2021).

Prof Sirozi yang juga merupakan Guru Besar pada Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Raden Fatah Palembang mengatakan, mengapa budaya kebijakan ini penting? karena ada kecenderungan banyak kebijakan-kebijakan pendidikan dibuat secara instan.

"Akibatnya banyak kebijakan seperti mie instan, artinya tidak terlalu sehat. Banyak kebijakan pendidikan kita, misal kebijakan ujian nasional yang setiap tahun direvisi. Mengapa? Karena dibuat instan, lalu akreditasi guru dan kurikulum juga banyak direvisi," ungkapnya.

Menurutnya, kurikulum ini sudah sekitar sembilan kali dirubah, kurikulum 2013 belum selesai muncul lagi kurikulum baru. Lalu kini muncul konsep merdeka belajar, ini berbeda lagi. Struktur kurikulum berubah.

"Mengapa begitu cepat mengubah kebijakan, karena kebijakan kita instan. Harusnya untuk persoalan pendidikan, harus dimulai dengan riset yang serius dan dianalisis. Apakah yang lama perlu diganti. Jadi harusnya berdasarkan riset bukan selera pejabat," cetusnya.

Masih kata Prof Sirozi, itulah yang harus diperbaiki, agar kedepan sistem pendidikan betul-betul melahirkan manusia Indonesia yang tidak hanya bisa bekerja, tapi punya wawasan dan pengetahuan yang luas. Punya tradisi belajar yang kuat sampai meninggal.

"Pendidikan itu bukan hanya wajib, tapi pendidikan itu seumur hidup. Nah bagaimana caranya agar pendidikan itu seumur hidup, karena pendidikan kita sekarang kan hanya untuk orang-orang usia sekolah, kuliah. Orang sudah tamat kuliah dan bekerja, seolah-olah tidak perlu lagi pendidikan," katanya.

Padahal ini salah, masyarakat itu harus terus belajar dan mendapatkan pendidikan. Supaya apa? Supaya mereka terus bisa mengikuti dinamika perubahan zaman.

Kenapa ini terjadi karena memang salah satu konsep pendidikan nasional yang sangat historis dan bagus tidak diterapkan. Misalnya tripusat pendidikan, yang diperkenalkan oleh
Ki Hadjar Dewantara, bahwa pendidikan itu tidak hanya di sekolah. Pendidikan itu ada juga informal, dalam keluarga itu harus ada, di sekolah dan ditengah masyarakat.

Tapi sekarang ini seolah-olah hanya bertumpu pada pendidikan sekolah atau formal, sehingga di rumah orang tua itu seolah-olah tugasnya hanya memfasilitasi pendidikan. Bayar spp, beli buku, beli pakaian, orang tua tidak merasa bahwa dia itu juga pendidik. Itu kesalahan yang sangat patal.

Kesadaran akan pentingnya pendidikan di rumah di negara maju sangat diperhatikan. Misalnya di Finlandia pendidikan yang salah satu terbaik di dunia, karena di situ orang tua dilatih difasilitasi supaya bisa jadi guru juga untuk anak-anaknya di rumah.

"Menurut saya memang harus ada bimbingan pendidikan. Sehingga orang tua bisa jadi guru untuk anak-anaknya.
Agar tidak terjadi seperti yang di alami sekarang. Ketika belajar daring ada istilah anaknya daring, ibunya darting (darah tinggi). Karena apa? Karena tidak terlatih dan tidak terbayangkan oleh ibu-ibu di Indonesia, bahwa suatu hari mereka harus mendampingi anaknya belajar," katanya.

Ketikan ditanya pada 2045, Indonesia berumur 100 tahun merdeka . Prediksiny bagaimana situasi pendidikan ini, agak sulit diprediksi, karena tergantung apa yang dilakukan. Seperti Mendikbud sekarang ini ingin melakukan perubahan yang fundamental dalam sistem pendidikan.

"Kalau saya lihat ada dua kelemahan yaitu saya lihat dari peta jalanya pendidikan yang dibuat, persoalan agama dan budaya kurang diperhatikan," katanya.

Lalu kedua terlalu berorientasi pada ekonomi, seolah-olah pendidikan ini alat untuk mendongkrak perkembangan ekonomi. Memang tidak salah, akan tetapi pendidikan harus berperanan dalam menata dan mengembangkan budaya ditengah masyarakat. Harus berperan penting dalam membangun karakter dari masyarakat.

Misal apa yang dikatakan Presiden Jowkoi, terkait revolusi mental. Ini sebenarnya salah satu tantangan dunia pendidikan. Mentalitas yang bagaimana yang ingin dibangun bagi bangsa ini. Bagaimana lembaga-lembaga pendidikan menjawab tantang tersebut. Kalau sekarang kan belum jelas, apa respon lembaga pendidikan dalam mengkongkritkan revolusi mental.

"Dalam hal apa mentalitas kita ini masih kurang dan dalam hal apa mentalitas kita yang sudah bagus. Kalau ditanya harapan, ya harapan kita sistem pendidikan kita akan lebih baik, baiknya bagaimana? Ya diharapkan akan lebih mampu merespon persoalan ditengah masyaraka," katanya.

Sehingga pendidikan tidak hanya melahirkan manusia-manusia kota dan semakin jauh dari masyarakat. Justru diharapkan melahirkan orang-orang yang memiliki pemahaman yang luas dan mendalam tentang masyarakatnya serta punya kepedulian untuk berpartisipasi membagi ilmunya untuk perbaikan kualitas hidup masyarakat.

Ikuti Kami di Google Klik

Berita Terkini