TRIBUNSUMSEL.COM - Memberikan pengakuan salah satu mantan prajurit Cakrabirawa yang ikut dalam gerakan 30 September 1965 oleh PKI atau G30S/PKI bernama Sulemi.
Saat mengawali ceritanya, Sulemi bahkan bersumpah bahwa yang ia katakan sesuai dengan yang dialaminya.
Mereka terhasut oleh PKI sehingga tega membantai sejumlah perwira tinggi TNI.
Tapi pengakuan cukup mengejutkan datang dari salah satu mantan prajurit Cakrabirawa bernama Sulemi.
Berikut rangkuman pengakuannya dilansir dari Tribunnews dalam artikel 'Benarkah Ade Irma Nasution Ditembak? Ini Kesaksian Anggota Cakrabirawa Penjemput AH Nasution'
1. Sulemi bersumpah
Saat ditemui, Sulemi masih mengenakan baju koko lengkap dengan kopyah putih.
Gema suara azan sampai ke ruang tamunya yang berhimpitan dengan musala.
Sulemi tak gentar menceritakan kembali peristiwa 65 yang dialaminya.
Ia mengawali pembicaraannya dengan berucap sumpah kepada Yang Maha Kuasa.
Bahwa, apa yang keluar dari mulutnya nanti, adalah sesuai dengan yang ia lihat, lakukan dan alami saat peristiwa 65 terjadi.
Ia tak mau menghancurkan generasi penerus dengan memutarbalikkan fakta sejarah.
"Kalau dikira saya mengarang, saya sebagai muslim bersumpah di hadapan Allah, apa yang saya katakan ini sesuai yang saya lihat, dan lakukan."
"Dalam Habluminallah, saya akan dimintai pertanggungjawaban Allah. Kalau saya bicara melenceng, akan menghancurkan generasi penerus," tegasnya saat ditemui Tribun Jateng di kediamannya, akhir tahun 2017 lalu.
2. Kolonel Untung bilang situasi sedang genting
Awal September 1965, seluruh anggota Cakrabirawa dikumpulkan.
Komandan Batalyon 1 Kawal Kehormatan Kolonel Untung bin Syamsuri memberitahukan situasi negara yang sedang gawat.
Karena itu, seluruh anggota diperintahkan untuk konsinyasi (siaga) untuk menghadapi kemungkinan kudeta oleh para perwira Angkatan Darat (AD) pada tanggal 5 Oktober.
28 September 1965, dalam sebuah apel besar, seluruh anggota kembali dikumpulkan untuk persiapan kegiatan 30 September malam.
Mereka diberitahu perihal jenderal-jenderal yang diisukan akan meng-kudeta presiden.
3. Tak pikir panjang
Mendengar instruksi itu, yang ada dibenak Sulemi sebagai prajurit, negara berada dalam situasi yang genting.
Ada usaha untuk menggulingkan pemimpin besar revolusi.
Sementara ia juga anggota pengawal presiden yang lain mengemban tugas untuk melindungi keselamatan presiden dan keluarganya.
Sang prajurit tak pikir panjang. Tak mungkin ia membangkang perintah atasan.
Apalagi berpikir jauh untuk menyelidiki kebenaran isu itu, termasuk urusan politik yang melingkupinya.
Bagi Cakrabirawa, keselamatan presiden berada di pundak mereka. Karena itu, perintah atasan harus dilaksanakan.
"Pola pikir kami saat itu, ini bahaya ada yang mau gulingkan pimpimam besar revolusi. Sehingga apa yang diperintahkan komandan siap laksanakan. Kalaupun kemudian saya dihukum karena melaksanakan tugas, itu sudah konsekuensi saya," katanya.
4. Malam penjemputan
1 Oktober 1965 dini hari, seluruh pasukan yang terlibat dibagi ke dalam beberapa kelompok.
Mereka disebar untuk menjemput para jenderal yang telah ditentukan.
Satu kompi pasukan, termasuk di dalamnya Sulemi bertugas menjemput Jenderal AH Nasution.
Perintah komandan saat itu, kata Sulemi, adalah menjemput jenderal dimaksud agar menghadap presiden Soekarno.
Ada persoalan penting yang harus dibicarakan antara mereka.
Rombongan penjemput Nasution rupanya sempat tersesat ke rumah Menteri JE Leimana yang bersebelahan dengan rumah AH Nasution.
Sulemi dan anggota lain berhasil masuk rumah Nasution tanpa hambatan.
Pintu rumah depan tak terkunci. Ia bersama dua anggota lain, Suparjo dan Hargiono menuju sebuah kamar tempat Nasution berada.
5. Pintu dibuka paksa
Sulemi mengetuk pintu kamar agar sang jenderal keluar. Nasution sempat membuka pintu sedikit, lalu menutupnya kembali dan menguncinya rapat.
"Saya ketuk. Kita dengan hormat. Tapi pintu ditutup kembali. Pengertian saya kalau begitu, dia sudah tahu apa yang mau kita lakukan," katanya.
Sulemi lantas memerintahkan dua anggotanya untuk membuka paksa pintu itu.
Keduanya menembaki kunci pintu mengunakan sten.
Tujuannya, pintu kamar terbuka sehingga mereka bisa masuk menemui jenderal.
6. Bantah tembak Ade Irma Nasution
Sulemi membantah terjadi konfrontasi langsung antara prajurit dengan putri AH Nasution, Ade Irma Nasution yang saat itu masih belia.
Terlebih anak itu bukan target mereka.
Jikapun peluru yang ditembakkan ke logam pintu itu meleset, lalu tanpa sengaja mengenai gadis kecil itu di dalam kamar, Sulemi tak mengetahuinya.
Kunci berhasil dirusak, pintu terbuka. Namun Nasution sudah tidak berada di kamar.
Ia berhasil lolos keluar kamar kemudian melompati pagar.
Suara tangis Ade Irma terdengar oleh prajurit saat meninggalkan kamar.
Tetapi Sulemi tak berpikir macam-macam. Ia menilai itu tangis wajar seorang bocah saat menghadapi situasi tegang.
Ia justru baru mengetahui kalau anak itu dikabarkan tertembak saat sudah meninggalkan rumah.
“Ini penyelewengan. Gila apa, anak kecil gak ngerti apa-apa ditembak. Segila-gilanya prajurit gak sampai begitu.
Makanya saya tadi sudah sumpah, saya akan bertanggung jawab di hadapan Yang Maha Kuasa. Yang saya lihat dan lakukan, itu yang saya katakan," katanya.
Derita eks Prajurit Cakrabirawa Pasca G30S/PKI
Pasca G30S/PKI, kondisi prajurit cakrabirawa cukup memprihatinkan.
Seperti dilansir dari Tribun Jatim dalam artikel 'Nasib Para Eks Prajurit Cakrabirawa Pasca G30S/PKI, Disiksa hingga Lari ke Thailand & Punya 1 Ciri'.
Pasukan Cakrabirawa kemudian dibubarkan pada 28 Maret 1966 di lapangan Markas Besar Direktorat Polisi Militer Jalan Merdeka Timur, Jakarta
Tugas pengaman bagi Presiden Soekarno kemudian diberikan kepada Batalyon Para Pomad yang dikomandani oleh Letkol CPM Norman Sasono.
Tapi dibubarkannya Pasukan Cakrabirawa melalui upacara serah terima itu ternyata tidak seperti biasanya.
Biasanya jika ada resimen pasukan yang dibubarkan, para anggotanya akan dikembalikan kepada satuannya masing-masing mengingat personel Cakrabirawa berasal dari satuan AD, AL, AU, dan kepolisian.
Tapi justru nasib tragis menimpa para mantan Pasukan Cakrabirawa, karena semua personelnya dianggap terlibat pemberontakan PKI.
Para mantan Pasukan Cakrabirawa diburu dan ditangkap oleh TNI AD kemudian diinterogasi, disiksa, dan di penjara.
Pasukan Cakrabirawa yang dianggap telah melakukan pelanggaran berat seperti terlibat penculikan dan pembunuhan para jenderal TNI AD umumnya langsung dieksekusi.
Menyadari hal itu, maka banyak mantan Pasukan Cakrabirawa berusaha melarikan diri ke luar Indonesia.
Sebagai anggota militer dari kesatuan yang terbaik, maka cara melarikan diri para mantan Pasukan Cakrabirawa itu juga tidak sembarangan.
Beberapa orang bahkan menyusun strategi supaya bisa melarikan diri secara terencana dan ditempat pelarian yang dituju mereka tetap bisa survive.
Beberapa mantan Pasukan Cakrabirawa berkat bantuan pejabat tertentu yang pro-Soekarno bahkan bisa lari sampai Thailand secara legal dan kemudian malah bisa menjadi warga Thailand.
Agar pelarian di Thailand tidak menimbulkan masalah dan sekaligus tidak kebingungan mencari pekerjaan serta tetap bisa makan, pada awalnya para mantan Pasukan Cakrabirawa banyak yang menjadi biksu.
Sedangkan anggota lainnya banyak juga yang langsung membuka lahan di hutan dan kebetulan pada tahun 1970-an untuk mengolah lahan di hutan-hutan Thailand tidak dipungut biaya.
Lahan hutan yang dibuka dan diolah pun bisa menjadi milik para pengolahnya.
Umumnya para mantan Pasukan Cakrabirawa saat ini, terutama yang masih hidup, telah menjadi petani sukses dan memiliki lahan luas.
Para mantan Pasukan Cakrabirawa di Thailand pun menikah dengan warga setempat dan menjadi warga negara resmi.
Satu di antara ciri yang bisa ditandai bahwa ia mantan Pasukan Cakrabirawa adalah memiliki kebiasaan berburu di hutan dan dikenal sangat mahir menembak.
Jika bertemu orang Indonesia yang sedang ke Thailand, mereka sangat merahasiakan jati diri sebagai mantan Pasukan Cakrabirawa.
Meskipun kadang-kadang, terutama yang berasal dari Jawa Tengah, sangat ingin berbahasa Jawa ketika bertemu turis Indonesia dari Jawa yang sedang berkunjung ke Thailand.
Selayaknya para prajurit yang pernah di satuan elit Paspampres, dalam waktu tertentu mereka berkumpul dan kadang-kadang membahas perkembangan kehidupan sosial politik Indonesia.
Sejumlah mantan Pasukan Cakrabirawa yang tersebar di Thailand usianya sudha lanjut dan telah meninggal.
Namun kendati suasana Indonesia telah berubah para mantan Pasukan Cakrabirawa di Thailand ternyata memiliki satu prinsip, “tidak akan pernah pulang lagi ke Indonesia”.
Alasannya sedehana, karena mereka yakin pasti akan ditangkap, dinterogasi, dan dijebloskan ke penjara.(*)
Artikel ini telah tayang di surya.co.id dengan judul Sulemi Eks Prajurit Cakrabirawa Bersumpah Saat Beber Cerita Soal G30S/PKI, Berikut 6 Pengakuannya, https://surabaya.tribunnews.com/2020/10/01/sulemi-eks-prajurit-cakrabirawa-bersumpah-saat-beber-cerita-soal-g30spki-berikut-6-pengakuannya?page=all.
Penulis: Putra Dewangga Candra Seta
Editor: Musahadah