TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG-Kasus penggerebekan jaringan narkoba yang melibatkan anggota DPRD Palembang، menjadi pembahasan hangat beberapa hari ini.
Kepala BNNP Sumsel Brigjen Pol Jhon Turman Panjaitan menjelaskan, banyak sindikat narkoba di Palembang.
Diantaranya tersangka D (Doni), oknum anggota DPRD Palembang.
Dari D ini, ada lagi kaki tangannya yakni W dan A. Dari W dan A ini, D sama sekali tidak boleh bersentuhan dengan orang lain.
"Tetapi, ada jaringan lain dari D, yakni T adalah IRT yang bertugas sebagai kurir mengambil dari pool bus dan Y asisten rumah tangga yang juga ikut. Barang sempat disimpan di rumah sebelum diperintahkan. Dari pengendali di Medan, agar menyerahkan kepada orang yang telah diperintah," kata Jhon dalam live Virtual Fest 2020 yang disiarkan YouTube Tribun Sumsel dan Sripoku TV, Kamis (24/9/2020).
Kasus ini sudah lama menjadi penyelidikan.
Dari penyelidikan, akhirnya T dan Y tertangkap dan langsung dilakukan interogasi. Ternyata barang yang mereka bawa itu merupakan milik D.
"Ketika kuliah tahun 2012, D merupakan pengedar dan kurir. Dari situ, dia tertangkap dan divonis 1.2 tahun dan jalani 6 bulan. Ia saat itu masih kelas bawah yakni pengedar. Dari situ, D ini tidak dapat lagi lepas dan terus terjerat." jelas Jhon.
Jhon menerangkan, jaringan narkoba itu selalu tumbuh dan berkembang sampai banyak sekali.
Sindikat jaringan narkoba ini mulai dari jaringan internasional hingga bawah (akar rumput).
Mereka juga selalu menggunakan kata-kata atau sandi yang menyebar diantara jaringan untuk menarik sasaran yang baru.
Seperti publik figur di Palembang yakni D.
"Dari mata ekonomi, anggota dewan itu sudah memiliki materi yang lebih. Punya banyak fasilitas. Tetapi karena jiwanya sudah tergantung narkoba, tidak mau berubah. Itu berkelanjutan dan ini yang terjadi pada Doni."
"Sindikat ini, selalu mencari publik figur, tetapi tidak sembarangan mencari konsumen baru, sehingga kedepan bisa jadi ATM yang berkelanjutan. Doni tidak bisa mengontrol, sehingga ia terus berkelanjutan," jelas Jhon.
Direktur Resnarkoba Polda Sumsel Kombes Pol Heri Istu Hariono yang juga hadir di acara Sumsel Virtual Fest menambahkan, sewaktu dirinya masih di BNN Pusat, pernah melakukan penyelidikan terhadap jaringan D.
Setahun belum juga tertangkap hingga dirinya melanjutkan saat jadi Direktur Resnarkoba Polda Sumsel.
"Sampai saya berkoordinasi dengan pusat dan siapapun yang menangkap tidak masalah. Asalkan dia sudah tertangkap," kata Heri.
Heri menjelaskan, Sumsel menjadi sasaran bandar karena tempatnya strategis dan juga banyaknya permintaan.
Untuk tahun 2020 semester 1 pihaknya sudah mengungkap 2.319 kasus dengan 24.088 orang tersangka, yang mengamankan barang bukti 31 ganja, 62 kg sabu dan 31 ribu butir pil ekstasi.
Baru semester pertama saja, sudah sangat menyedihkan.
Berbagai modusnya yang digunakan agar barang mereka bisa lolos.
Wilayah Sumsel juga sangat menarik, selain memiliki jalur yang strategis karena jalur perlintasan juga bisa menjadi daerah potensi untuk penyebaran.
"Masyarakat tidak malu mempertontonkan berjoget meski disekitar dilihat anak kecil. Karena sudah menggunakan narkoba dan itu ditiru anak-anak kecil ketika besar yang melihat halnya," ungkapnya.
Hal ini tidak dapat lepas dan sepertinya sudah menjadi budaya.
Bila ada pesta harus menyewa organ tunggal dan lanjut memutar musik remix.
Pengamat Politik, Sosial dan Budaya Bagindo Togar menyebut, budaya memutar musik remix dan menggunakan narkoba bukan budaya Sumsel.
Togar menjelaskan, Sumsel ini sangat mudah dalam menerima nilai- nilai agama.
Tetapi, jeleknya juga sangat kompromi dengan yang jelek.
Ketiga narasumber itu sepakat, semuanya harus tetap bersama-sama memberantas narkoba. Tidak bisa, hanya segelintir orang atau aparat hukum saja.
Kaya Instan
Praktisi dan Pengamat Hukum Pidana dari Universitas Muhammadiyah Palembang (UMP) Martini, SH., MH menyayangkan adanya anggota DPRD Kota Palembang yang mempunyai sabu 5 kg dan ribuan ekstasi.
"Dewan perwakilan rakyat merupakan perwakilan rakyat, secara langsung untuk menampung aspirasi rakyat dan merupakan figur bagi rakyat. Maka untuk kasus ini sepertinya nilai-nilai sebagai figur tidak dijalankannya," kata Martini, Selasa (22/9/2020).
Lebih lanjut ia mengatakan, dengan begitu rasa penghormatan masyarakat terhadap oknum pemimpin ini pudar.
Bahkan bisa-bisa tidak percaya akan sosok pemimpin yang seperti ini.
"Ketika kita berbicara mengenai uang dan kesenangan tentu kita kilas baliknya berapa yang dimilikinya. Kalau dilihat untuk sabu dan ekstasi sebanyak itu, tentu motifnya karena uang," ungkapnya.
Menurutnya, untuk sabu dan ekstasi sebanyak itu artinya itu dijadikan sebagai mata pencaharian dan tentunya tujuannya untuk kekayaan secara instan.
"Untuk seorang anggota dewan dengan gaji pokok berkisar Rp 20 juta perbulan, harusnya itu lebih dari cukup. Namun tuntutan gaya hidup kaum jetset dan ingin lebih mendapat pengakuan dari masyarakat tentang status sosialnya," jelasnya.
Sedangkan terkait pasal yang bakal dikenakan, menurut Martini tentu kena pasal lex specialis yaitu UU nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika yaitu Pasal 112 yang hukumannya bisa seumur hidup.
Atau bahkan bila perlu hukuman mati saja.