TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG-Tindakan keras yang dilakukan aparat kepolisian atau Polri, dalam menghadapi masyarakat khususnya mahasiswa yang melakukan demonstrasi baru- baru ini dinilai terlalu berlebihan dan cenderung paranoid.
Hal ini diungkapkan Kabid Hukum, HAM dan Advokasi MD KAHMI kota Palembang Himawan Susanto Rohekan, disela- sela diskusi terkait SOP Penggunaan Sarana Kekerasan Kepolisian RI dalam menghadapi unjukrasa mahasiswa/ masyarakat, di Fakultas Dakwah UIN Palembang.
"Tindakan represif pihak Kepolisian dalam menghalau unjukrasa, apapun bentuknya dan kapanpun tidaklah dibenarkan," kata Himawan yang juga praktisi hukum ini.
Ia pun mengingatkan kembali, dalam Konstitusi Pasal 28 UUD 1945 dan UU No. 9/1998 secara tegas memberikan jaminan kepada setiap Warganegara untuk menyampaikan pendapat/ aspirasinya, dan jaminan keamanan dari Negara.
Sehingga adanya kekerasan yang terjadi dalam beberapa aksi unjukrasa menunjukkan adanya "Paranoid" aparat Kepolisian ketika menghadapi massa yang besar.
"Dalam aturan pelaksanaan di lapangan pun telah jelas, diatur dalam beberapa Peraturan Kapolri, dan bagaimana pengamanan yang dilakukan aparat, agar tidak melakukan tindakan kekerasan dalam bentuk apapun," bebernya.
Sosiolog Wijaya pun mengamini adanya Paranoid (kekhawatiran & ketakutan) Aparat Kepolisian ketika menghadapi aksi unjukrasa yang besar.
Dilematis fungsi sebagai Pelindung dan Pengayom masyarakat menjadikan Polri tersandera dalam menghalau masa yang diduga anarkis sehingga harus mengambil tindakan-tindakan tegas.
Sementara, Direktur Sabhara Polda Sumsel Kombes (Pol) Budi menyampaikan, Kegiatan Pengamanan yang dilakukan Polda Sumsel, khususnya dalam beberapa aksi unjukrasa, telah dilakukan secara prosedural, agar di lapangan diminimalisir adanya gesekan antara peserta aksi dan aparat.
Dimana, kegiatan unjukrasa akan selalu diberikan, oleh aparat selama dipenuhinya persyaratan.
Ditambahkan Budi, jika tindakan represif (penangkapan) oleh kepolisian dilakukan hanya untuk pengamanan terhadap peserta, yang diduga melakukan provokasi ataupun pengerusakan dan pelemparan kepada petugas dilapangan.
"Sedangkan apabila adanya tindakan -tindakan oknum kepolisian, diluar ketentuan dan prosedur yang berlaku dan diduga melanggar hukum, maka dipersilahkan untuk dilaporkan agar dilakukan proses hukum kepada yang bersangkutan," tuturnya.
Sedangkan ketua MUI Sumsel Prof Aflatun melihat, unjukrasa merupakan cara kontrol yang dilakukan mahasiswa dan masyarakat, ketika aspirasi tidak lagi didengar oleh Eksekutif dan Legislatif.
Pembantu Rektor I UIN Raden Fatah Palembang Dr Ismail Sukardi menyampaikan, apa yang dilakukan oleh mahasiwa, dengan turun kejalan sebagai bentuk mimbar demokrasi dalam menyampaikan pendapat dengan catatan tetap pada koridor hukum.