Kisah Jenderal Bintang Dua yang Tolak Nasi Kotak demi Nasi Bungkus,Sempat Ingin Jadi Profesor

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Kapolda Sumsel Irjen Pol Zulkarnaen Adinegara

TRIBUNSUMSEL.COM -- Sosok Kapolda Sumsel Irjen Pol Zulkarnain Adinegara baru-baru ini membuat banyak netizen kagum dengan sikapnya.

Pasca ia mengajak 631 personil gabungan makan bersama usai melakukan pengarahan pengamanan asian games 2018 di halaman Mapolresta Palembang,

Kala itu tanpa sungkan, ia duduk beralaskan spanduk bekas di jalan depan halaman Mapolresta Palembang.

Ajudan kapolda sibuk mempersiapkan nasi kotak yang akan disantap sang jenderal bersama pejabat utama Polda Sumsel.

Namun nasi kotak yang disiapkan tidak diambil kapolda.

Melihat hal tersebut, membuat pejabat utama Polda Sumsel dan Polresta Palembang juga mengambil nasi bungkus.

Usai membaca doa, jenderal bintang dua ini menyantap nasi bungkus.

Jenderal bintang dua itu malah meminta nasi bungkus yang disiapakan untuk personil polisi lainnya.

"Saya minta nasi bungkus saja. Biar sama dengan anggota," ujar Zulkarnain ketika ajudannya menyodorkan nasi kotak.

Spontan, sang jenderal mengambil nasi bungkus yang ada di dalam kantong plastik putih yang dibawa ajudannya.

Tanpa sungkan, orang nomor satu di Polda Sumsel ini duduk dan membuka nasi bungkus yang ada di hadapannya.

"Ayo makan semuanya. Sama saja," ujar sang jenderal kepada anggota yang ada di belakangnya. 

Kapolda Sumsel Irjen Pol Zulkarnain Adinegara bersama Wakapolda Brigjen Pol Bimo Anggoro dan Kapolresta Palembang Kombes Pol Wahyu Bintono Hari Bawono ketika makan nasi bungkus bersama seusai apel gabungan pengaman Asian Games, Jumat (27/7/2018) malam. (Tribun Sumsel/ M Ardiansyah)

Tentunya sikap Kapolda Sumsel  ini patut untuk diberikan apresiasi yang bersikap sederhana makan bersama para anggotanya.

 Usut punya usut,ternyata dibalik sikap sederhana polisi nomor 1 di Sumsel ternyata menyimpan sebuah kisah masa kecil yang sangat menginspirasi.

Dilansir dari Goriau, Kapolda Sumsel Irjen Pol Zulkarnain Adinegara Lahir dari pasangan petani nun jauh di pelosok desa membuat ayah dari empat orang anak ini menjadi ”tercambuk” untuk bisa mengubah garis hidup.

Pahit getir sudah ia lalui, sampai akhirnya, Zulkarnain berhasil memikul pangkat bintang dua di pundaknya.
bahwa dirinya kecil sudah terbiasa hidup susah.

Sejak SD hingga SMA, pria kelahiran 31 Oktober 1961 itu sudah terbiasa bekerja membantu orang tuanya di sawah, termasuk mengembalakan ternak berupa sapi dan kambing. Itu jadi rutinitasnya sepulang sekolah.

"Saya anak kedua dari delapan bersaudara. Ayah ibu seorang petani, sesekali ayah nyopir antar kampung pakai mobil orang lain.

Kalau sekarang orang bilang Angkot. Ngantar-ngantarin orang. Karena anak petani, ya saya harus bantu orang tua, pulang sekolah nanam padi terus gembalakan ternak," katanya.

Dengan hidup keluarga yang pas-pasan, membuatnya sering terlambat membayar uang sekolah. Tak ayal, Zulkarnain pun sering ditindak karena itu.

"Dulu itu bayar uang sekolah sesuai kemampuan ekonomi, saya masuk kategori ekonomi di bawah, bayar sekolah pun murah, tapi sering macet pula, ya ditindak sama sekolah," tuturnya.

Kapolda Sumsel Irjen Pol Zulkarnain Adinegara dan Pangdam II Sriwijaya Mayjen TNI AM Putranto turun tangan padamkan api karhutla di OKI, Jumat (20/7/2018). (Tribun Sumsel/ M Ardiansyah)

Selama masa itu pula tak pernah terlintas sedikit pun di kepala Zulkarnain kecil untuk menjadi seorang abdi negara seperti sekarang. Ia justru bertekad menjadi seorang profesor.

Dengan polos dia beranggapan, profesor merupakan orang yang pintar dan berilmu. "Saya tidak mengerti apa itu profesor, dalam pandangan saya profesor itu orang berpendidikan, terhormat," sebutnya.

"Masih kecil, cita-cita profesor itu pengennya, bahkan saya tulis di rumah saya itu, rumah saya rumah panggung, saya tulis dengan arang, 'Profesor Zulkarnain'. Itu angan-angan masa kecil, bagi saya profesor orang terhormat, orang pintar, tak terlintas sedikit pun menjadi polisi seperti sekarang," sebut Kapolda Irjen Zulkarnain.

Ketika itu, Irjen Zulkarnain mesti menempuh jarak tiga hingga lima kilometer dengan berjalan kaki atau sesekali bersepeda hanya untuk ke sekolah.

Dengan niat pantang surut, pria jebolan Akpol tahun 1985 tersebut akhirnya lulus hingga SMA, dan merantau ke Palembang, yang saat itu jaraknya setengah hari perjalanan dari kampung halamannya.

Di sana Zulkarnain tinggal menumpang dengan sanak saudara. Lantaran tidak punya uang dan kampung yang jauh, membuat ia jarang sekali pulang.

Namun disitulah perjalanan hidupnya dimulai. Berkat otak yang encer, ia pun dinyatakan lulus di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, sekitar tahun 1981.

”Cuma begini, masa itu kami dikenakan biaya uang pangkal/uang muka Rp33 ribu, harga sepatu Rp5 ribu. Bagi saya itu agak susah, tak punya uang, orang tua juga di kampung. Saya akhirnya tak bayar uang muka," ceritanya. Meski begitu, Zulkarnain tak lantas bersedih hati, ia yakin selalu ada jalan buat orang yang bersungguh-sungguh.

Dari sana, Tuhan ternyata punya jalan lain dalam kehidupannya. Berawal dari pertemanannya dengan seorang anak tentara, Zulkarnain pun ditawari untuk masuk Akabri (saat itu, red). "Saya tidak ngerti apa itu. Bapak teman saya itu kolonel. Karena saya sering ke rumah dia di Palembang, diajak daftar Akabri. Itu seingat saya di Kodam II Sriwijaya. Ya ikut daftar saja saya," ucapnya berseloroh.

Bahkan saat itu Zulkarnain sempat berniat memalsukan izin orangtua lantaran tak bisa pulang kampung. Beruntung tidak jadi, karena pamannya yang kebetulan di Palembang mewakili menjadi wali.

"Saya waktu itu nggak yakin. Bahkan saya sama sekali nggak tahu apa itu Akabri, termasuk pangkat-pangkatnya. Saya pelajarilah semua," kata dia.

Sebulan menjalani tes, ia pun lulus di Akabri. Namun langkahnya nyaris terhalang lantaran tidak punya biaya untuk berangkat ke Magelang (saat itu).

Untung saja Zulkarnain dapat bantuan dana dari sanak saudara, ditambah lagi biayanya juga ditanggung oleh negara. "Orang tua saya pesan, agar bersungguh-sungguh," lanjutnya.

Irjen Zulkarnain sempat terpikat untuk bergabung di Angkatan Udara (AU). Ketika itu ia merasa kalau prajurit AU merupakan sosok yang gagah.

"Kayaknya gagah aja, jadi penerbang (pilot). Tapi setelah di sana, orang cerita-cerita, kalau Angkatan Darat (AD) bisa jadi bupati dan lain-lain, jadi pengen pula saya," candanya.

Di tengah-tengah kegalauan itu, Zulkarnain dipanggil dan disuruh membuat pernyataan soal pilihannya di Akabri. "Dipanggil, disuruh buat pernyataan, apabila tidak sesuai dengan pilihan masuk AU, apakah bisa ditempatkan di mana saja, saya jawab siap. Itulah akhirnya saya masuk polisi," sambungnya bercerita.

"Setelah itu saya baru sadar, memang panggilan saya menjadi seorang polisi. Polri itu harus sosialis, lebih melekat dengan masyarakat, disitu juga alasan saya mengapa akhirnya masuk di kepolisian. Saya pikir-pikir memang jiwa saya, saya ingin melayani masyarakat dengan sebaik-baiknya," tutur Irjen Zulkarnain.

Pelan tapi pasti, Zulkarnain yang berbakat dibidang Reserse dan Intelijen itu pun menemukan jalannya. Bahkan dirinya juga dapat kesempatan mengenyam ilmu kepolisian di luar negeri. "Pernah sekolah sebulan di Korea, terus kursus singkat kehumasan Polri di Australia," katanya mengingat-ingat.(*)

Berita Terkini