Sebelum Akbar Ditelan, Ada Perempuan yang Nyaris Jadi Korban, Tubuhnya Sudah Terlilit Ular Piton

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ular piton sepanjang tujuh meter yang menelan Akbar (25) warga Desa Salubiro, Kecamatan Karossa, Kabupaten Mamuju Tengah, Sulbar, sempat jadi tontonan warga di lokasi kejadian.

TRIBUNSUMSEL.COM-Kisah Akbar, warga Mamuju yang tewas setelah tubuhnya tertelan ular piton raksasa menggemparkan dunia.

Ternyata di Kabupaten ini, populasi ular masih banyak.

Unit Konservasi Sumber Daya Alam Polisi Kehutanan (Polhut) Resort Mamuju, Sulawesi Barat (Sulbar) mencatat setidaknya, saban tahun, ada sekitar 1.000 lembar kulit samakan ular piton atau sanca kembang yang dipasarkan di Kota berjarak 517 km dari kota Makassar ini.

"Sudah lama, hampir semua wilayah di Mamuju dan Mamuju Tengah, banyak ular sanca, kulitnya banyak dijual oleh petani ke pedagang pengumpul," kata M Hardi, Kepala Bidang Konservasi SDA Polhut Resort Mamuju, kepada Tribun Sulbar.com (Tribunnews.com Network), kemarin.

Ular-ular dengan panjang rerata 2-5 meter itu kerap dijaring dan dibuatkan perangkap oleh warga di area perkebunan sawit dan hutan, lalu kemudian dijual ke pedagang pengumpul di Mamuju.

Ismail Passokorang (53), warga Pasangkayu, Mamuju Utara, mengkonfirmasikan kebiasaan lama warga Mamuju ini.

Ismail adalah warga asli Mamuju. Saat masih berusia 20-an tahun, dia termasuk mandor proyek pembukaan lahan transmigrasi di akhir dekade 1970-an hingga awal dekade 1990-an.

“Operator dan buruh pembukaan lahan transmigran sering dapat ular sawah, banyak di Tobadak, Karossa, hingga Topoyo,” cerita Ismail, yang kini masih kerja di PT Passokorang, levaransir jasa konstruksi yang ikut membuka lahan transmigran dan jalan perintis Mamuju - Pasangkayu.
Dia bercerita, pembukaan lahan transmigran itu dimulai saat Mamuju masih menjadi wilayah administrasi provinsi Sulsel.

Hingga tahun 2000-an, Mamuju masih satu kabupaten di Sulsel. Pemekaran jadi Mamuju Utara, Mamuju Tengah barulah satu dekade terakhir, sejak masuk wilayah Provinsi Sulbar.

“Hutan banyak dibuka di zamannya Pak Kolonel Atik (Soetedja, 1979-1984), lalu Pak Musa Karim (1984-1989), sampai masa pemerintahan bapak mertuanya Abraham Samad, ketua KPK (Brigjen (Purn) Haji Djuritno, 1989–1994),” kenang Ismail.

Bahkan, tambah Ismail, sejak dekade 1980-an, para pekerja transmigran di Mamuju, sering mendatangi pedagang kulit samakan ular, di Kampung Bebanga, Kecamatan Kalukku, sekitar 50-an km dari Mamuju.

“Disana dulu anak pedagang yang kita kenal dengan nama Ance’ Ular, atau Ance’ Bebanga’. Ance ular ini yang beli kulit ular sanca dari pekerja lahan transmigran, atau warga. Lalu dibawa ke Makassar,” ujarnya.

Ance ular bukanlah pawang atau pemburu ular. Dia adalah warga Tionghoa keturunan, yang jadi pedagang pengumpul kulit samakan ular.

Lembaran kulit ular yang telah kering, ditimbang, lalu dipacking lalu dibawa ke juragan besar di Ujungpandang.

“Kulit ular ini banyak dipakai untuk bahan baku sepatu, tas, atau ikat pinggang.” ujarnya.

Hingga saat ini, di Mamuju, kulit ular masih menjadi komoditas dagang sampingan petani sawit.

Di tiap kecamatan yang berdekatan dengan hutan, ada banyak pedagang pengepul yang membeli dari petani.

Ismail mengatakan, sepanjang 30 tahun lebih dia jadi mandor proyek lahan transmigran dan jalan Trans Sulawesi hingga awal tahun 2000-an, dia nyaris tak pernah dengar kabar ada warga yang dimangsa ular.

“Kalau ular makan kambing, sapi atau babi itu biasa, tapi kalau makan manusia itu yang baru saya dengar,” jelasnya.

Dia bercerita sebelum krisis moneter, ada kasas wanita Mamuju yang dililit ular sanca, namun karena wanita itu berteriak, akhirnya warga datang menyelamatkannya.

Agus Soemantri, salah seorang putra mendiang Kolonel (purn) Atik Soetedja, juga mengisahkan, saat ayahnya menjabat bupati, dia sering bercerita ada anggota TNI atau anak warga yang dapat ular raksasa.

“Almarhum, bapak itu sering takut-takuti kita, kalau ular Mamuju itu masih banyak melintas di jalan-jalan,” kata Agus

Berita Terkini