Citizen Journalism

Pulau Kemaro Menyimpan Sejarah Heroik Kesultan Palembang Menghadapi Inggris dan Belanda

Editor: Hartati
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

CAP GO MEH - Ribuan masyarakat keturunan tionghoa memadati Pulau Kemaro untuk memperingati sekaligus melakukan ritual sembahyang pada malam puncak perayaan Cap Go Meh di Pulau Kemaro, Palembang, Jumat (22/2/2013). Masyarakat yang datang ke Pulau Kemaro bukan hanya warga keturunan tionghoa saja yang akan melaksanakan ibadah saja, tapi juga semua masyarakat Palembang bahkan masyarakat luar kota pun datang ke Pulau Kemaro.

PALEMBANG - Bagi Kota Palembang yang berada cukup jauh dari pesisir laut, dan di pantai timur Sumatera

Selatan hanya dihadapkan dengan Pulau Bangka, maka kata “pulau” memiliki makna tersendiri.

Terdapat beberapa pulau dari Kota Palembang hingga ke muara, diantaranya adalah Pulau Kemaro, Pulau Salanama, Pulau Keramat, Pulau Borang, Pulau Anyar, Pulau Payung dan lainnya.

Namun, dari berbagai nama itu ada dua pulau yang terkait dengan sejarah heroik Kesultanan Palembang yaitu Pulau Borang dan Pulau Kemaro.

Borang dikaitkan dengan pusat pertahanan Kesultanan Palembang saat menghadapi ekspedisi Inggris tahun 1812, sedangkan Pulau Kemaro punya nilai “lebih”.

Kelebihan tersebut disebabkan di pulau inilah benteng terkuat dan terakhir yang dimiliki oleh Sultan terakhir yang berdaulat Sultan mahmud Badaruddin II.

Seorang sultan yang sangat kaya di antara sultan-sultan Melayu yang ada saat itu.

Sebagaimana dinyatakan Raffles, wakil Inggris yang berkedudukan di Penang sebelum penaklukan Batavia tahun 1811.

Nama Kemaro disebut juga Gombora atau Kembara, posisinya sangat strategis dan berada paling dekat dengan pusat pemerintahan Palembang. Hingga tahun tujuh puluhan, perairan khususnya Sungai Musi tetap menjadi jalur transportasi utama, apalagi jika dikaitkan dengan alur Palembang menuju muara yaitu Sungsang.

Semua kapal dan perahu yang berhubungan dengan Palembang via sungai, maka Pulau kemaro merupakan pulau terakhir yang harus dilalui sebelum tiba di ibu kota Palembang.

Posisi inilah yang membuat Pulau Kemaro menjadi begitu penting bagi pertahanan Palembang.

Belajar dari pengalaman sebelumnya, yaitu kegagalan mempertahankan Palembang dengan menempatkan pertahanan di pulau besar terluar yaitu Pulau Borang.

Dengan berbagai faktor yang melatarbelakanginya, membawa kekalahan bagi Kesultanan Palembang dalam menghadapi ekspedisi Inggris tahun 1812.

Belajar dari pengalaman tersebut, maka dalam upaya mempertahankan eksistensinya Sultan memilih membangun pusat pertahanan di ujung Pulau Kemaro, dengan nama “benteng Pulau Kemaro”.

Benteng ini merupakan benteng terakhir dan terkuat dalam perang melawan Belanda.

Sebelumnya perlu dijelaskan bahwa setelah Palembang lepas dari Inggris dengan ditandatanganinya Traktat London 1814, yang membawa akibat terjadinya “penyerahan” wilayah Nusantara ke pada Belanda dari Inggris.

Atas dasar ini pula, maka Belanda kembali mendekati Palembang dengan menggenggam sejumlah perjanjian yang intinya mereka menguasai monopoli perdagangan timah dan lada.

Kondisi itu membuat Sultan tak nyaman, sehingga bersiap diri dan melakukan penyerangan terhadap loji Belanda pada Juni 1819.

Peperangan itu berakhir dengan kemenangan di pihak Palembang. Kekalahan Belanda tersebut harus dibayar dengan persiapan ekspedisi yang besar.

Ujungnya terjadi kembali perang yang kedua di tahun yang sama, tepatnya Oktober 1819.

Pada perang yang kedua ini, untuk pertama kali Sultan memutuskan menempatkan Pulau Kemaro sebagai pusat pertahanan.

Pertimbangan pilihan tersebut disebabkan berdasarkan pengalaman pada saat menhadapi Inggris (1812), maka

menjadi tidak begitu penting menempatkan banyak pos-pos penting, dari Ibu kota Palembang hingga Sungsang.

Menurut Sultan, penempatan pos-pos pertahanan terdepan di Sunsang dan Borang tidak begitu signifikan dalam upaya mempertahankan diri.

Oleh sebab itu, pemilihan Pulau Kemaro sebagai pusat pertahanan telah berdasarkan pemikiran yang matang, sekaligus menempatkan orang-orang terpilih dalam mengendalikan benteng tersebut.

Pemilihan lokasinya adalah ujung dari Pulau kemaro yang merupakan pintu masuk.

Strategi yang ditempuh adalah membuat lubang-lubang pertahanan, untuk menembakkan meriam.

Di depannya disiagakan rakit-rakit bambu yang siap dibakar jika armada musuh mendekat.

Selain itu, terdapat pula benteng di seberangnya yaitu pangkal Sungai Komering di Plaju, dikenal dengan nama benteng Tambakbayo dan Martapula disebelahnya.

Kedua benteng yang berselahan, berhadapan dengan benteng Pulau Kemaro.

Sementara itu, jalur Sungai Musi yang memisahkan benteng-benteng tersebut, ditancapkan tiang-tiang pancang atau tonggak-tonggak kayu dengan kedalaman lebih dari 24 meter.

Masing-masing tonggak terkait satu sama lain, dan diikatkan pada kayu besar.

Di tengahnya berdiri pula benteng yang lain, dengan tambahan empat meriam mengapung.

Dengan demikian, maka pintu masuk ke pusat kerajaan jadi tertutup. Sebuah strategi yang sangat jitu, dan bagai kemustahilan jika dilihat dari kacamata saat ini.

Pertahanan induk di Pulau Kemaro dengan berbagai pertahanan lainnya, mulai dari Sungsang hingga keraton, menjadi pertahanan kuat yang pada pelaksanaan perang kedua (Oktober 1819).

Pertahanan ini membawa kemenangan bagi Palembang, yang dengan gigih perang melawan Belanda yang ketika itu dipimpin oleh Laksamana Wolterbeek.

Pelaksanaan perang diawali dengan hadirnya beberapa kapal perang dan kapal pengangkut milik Belanda (Tromp, Arinus, Marinus, Irene, Wilhelmina, Ajax, Admiral Buykes, Waterbik, Hendriette Betthy, Blucher, Eendracht) di Sungsang pada September 1819.

Kondisi alam menyebabkan mereka baru bisa mendekati Borang setelah perjalanan selama 24 hari.

Perjalanan dilanjutkan, dan disambut dengan perang di Pulau Keramat.

Dalam peperangan ini pihak musuh mengalami kerugian dengan lima terbunuh, dan tujuh terluka.

Meskipun demikian, Belanda terus masuk lebih ke dalam Sungai Musi, dan kembali terjadi peperangan di benteng Pulau Salanama dengan memakan banyak korban dari pihak musuh.

Berbagai kerugian tersebut tidak mengurungkan niat mereka terus merangsek menuju keraton Kuto Besak.

Perjuangan yang berat membawa mereka mendekati benteng terkuat yaitu Pulau Kemaro.

Perang berhadap-hadapan tak terelakkan. Dengan mengerahkan seluruh kekuatan armadanya, Belanda menyerang benteng Pulau Kemaro, namun upaya itu tidak berhasil, malah kerugian besar yang mereka derita, dengan terbunuhnya 24 orang serdadu dan 96 orang orang terluka.

Upaya mereka terakhir dengan melepaskan sebanyak 120 tembakkan ke arah Kemaro tetap tidak mampu melumpuhkan benteng terbesar dan terkuat tersebut.

Gabungan peralatan dan strategi yang jitu menempatkan Palembang sebagai pemenang mutlak dalam peperangan tersebut.

Kehebatan benteng Pulau Kemaro dapat dilihat dari pernyataan Kapten Meis dalam memorinya bahwa “Badaruddin telah mempersiapkan suatu proyek pertahanan raksasa”, bagaimana tidak, semua terwujud hanya dalam waktu empat bulan setelah berakhirnya perang pertama (Juni 1819).

(ANRI, Bundel Palembang No.67 dan No. 5.1).

Mereka tak mampu membobol pertahanan benteng Pulau Kemaro, yang dipertahankan dengan semangat juang yang sangat tinggi dari lasykar Palembang.

Inilah benteng Pulau Kemaro yang melegenda.

Pascaberakhirnya perang, penguasa Palembang Sultan mahmud Badaruddin II sadar betul bahwa pihak yang kalah tidak akan tinggal diam, dan pasti akan lebih mempersiapkan diri demi “harga diri” yang tercampakkan.

Langkah persiapan yahg diambil oleh Sultan antara lain memperkuat benteng-benteng terutama benteng-benteng yang berinduk ke Pulau Kemaro, memperbaiki dan memperkuat tonggak-tonggak di depan benteng Pulau kemaro, membangun tonggak-tonggak kayu di sebelah timur Pulau Salanama.

Langkah lain adalah menyiapkan mesiu dan peluru dalam jumlah besar, contohnya menempatkan sebanyak 70

meriam untuk mempertahankan keraton Kuto Besak.

Sebagai pihak yang kalah, dengan posisi terakhir di Pulau Bangka, maka pihak Belanda bertekat akan all out merebut Palembang.

Sebuah kerajaan yang sangat penting dan kaya di antara kerajaan-kerajaan Melayu saat itu.

Semua harus dipertaruhkan agar ambisi dapat diraih.

Wolterbeek yang merupakan panglima perang pada perang itu menyatakan bahwa “jika hanya Pulau Bangka yang tersisa dari wilayah Palembang, maka semua harus dipertaruhkan, yaitu dengan memperkuat pulau itu, juga pulau-pulau lain (Jambi, Kepulauan dan Lingga), juga mengalihkan ekspedisi ke Ambon untuk mempertahankan Bangka”.

Penguasaan atas Bangka merupakan upaya melemahkan Palembang, karena penguasaan itu berarti dapat menutup akses menuju ibu kota Palembang.

Jadi, strategi yang ditempuh adalah menutup semua kemungkinan Palembang “bernapas” dengan mengerahkan semua kekuatan.

Semua mengindikasikan bahwa pengakuan tentang kekuatan Kesultanan Palembang yang tidak dapat dihadapi dengan cara face to face. Pelemahan adalah cara yang paling jitu.

Lebih lanjut Wolterbeek menyatakan bahwa “peperangan di Palembang adalah bencana besar dan sangat mahal bagi Belanda, dengan dampak yang tidak dapat diperhitungkan”.

Oleh sebab itu, ia menyatakan bahwa “jika ingin menaklukkan Palembang, maka harus dilaksanakan secara besar-besaran dengan mengesampingkan tugas-tugas lainnya”.

Kondisi inilah yang membawa pemerintah pusat di Batavia dengan sungguh-sungguh mempersiapkan diri guna menebus dua kali kekalahan melawan Palembang.

Persiapan yang mereka lakukan adalah menyiapkan lima puluhan perahu pengayap, ratusan perahu cunia, dan perahu, di samping kapal-kapal besar.

Penambahan perahu sangat signifikan, mengingat dalam dua perang sebelumnya mereka kewalahan menghadapi gerak lincah berbagai perahu dan rakit api milik Palembang, sedangkan mereka sebagian besar mengandalkan kapal-kapal besar.

Perlengkapan lain adalah menambah serdadu yang mencapai beberapa ribu orang, dan sebanyak 22 kapal dengan berbagai jenis dan fungsi, diantaranya kapal perang, kapal pengangkut, juga kapal khusus yang difungsikan sebagai rumah sakit.

Sungguh persiapan yang komplit demi menebus dua kekalahan sebelumnya.

Dengan persiapan yang besar dan kuat, armada perang memasuki Sungsang.

Di daerah ini telah pecah perang antarkedua musuh. Perlawanan dari pihak Palembang berhasil mereka patahkan.

Walaupun pelayaran itu berat dengan berbagai perlawanan, namun dengan kekuatan penuh mereka secara bertahap berhasil mendekat pusat pertahanan Pulau Kemaro.

Salah satu strategi yang mereka tempuh adalah mencari jalur alternatif dengan berhasilnya mereka menemukan jalan-jalan berawa dari Sungai Komering.

Dari jalur inilah mereka menyerang benteng Tambakbaya dari sisi belakang.

Pada saat bersamaan mereka juga menyerang dari arah depan benteng dengan kekuatan penuh.

Strategi lain yang ditempuh adalah seolah mundur, sehingga pihak Palembang melakukan hal yang sama.

Namun, sikap itu justru mereka manfaatkan untuk melakukan penyerangan telak.

Peperangan dahsyat kembali terjadi, dan pihak Belanda telah berhitung segalanya, dan tak sudi kembali menelan kekalahan.

Dengan berbagai resiko kerugian yang sangat besar, mereka terus merangsek perlawanan Palembang sehingga benteng terkuat di ujung pulau Kemaro dapat di kuasai pada 24 Juni 1821.

Tercatat tak kurang dari 75 orang serdadunya tewas, dengan 242 orang terluka.

Pascapenaklukan benteng Pulau Kemaro, maka langkah berikutnya seolah tak terbendung untuk merebut benteng Tambakbayo dan Martapura, dengan sasaran akhir keraton Kuto Besak.

Di saat kritis inilah Sultan Mahmud Badaruddin II menyatakan berunding dan tunduk pada keputusan pihak pemenang.

Konsekuensinya adalah beliau harus berpisah dengan tumpah darahnya, jadi orang buangan ke Ternate hingga wafat.

Inilah cerita heroik, dengan menempatkan peran benteng Pulau Kemaro pada posisi yang menentukan.

Sejarah telah membuktikan, bahwa Pulau Kemaro tak hanya identik dengan wisata budayanya, tetapi juga kedudukan pentingnya dalam upaya mempertahankan kedaulatan, meskipun akhirnya harus menyerah pada kekuatan pihak lawan. keberadaan benteng itu menjadi saksi penting, betapa heroik perannya.

Benteng yang berada diujung Pulau Kemaro, menjadi saksi bisu yang harus terus menerus didengung-dengungkan kepada generasi muda bangsa ini, khususnya generasi muda Sumatera Selatan, bahwa perlawanan hingga titik darah penghabisan telah menghias lembar sejarah heroik dengan Pulau Kemaro sebagai titik sentral pertahanan.

Penulis: Farida R Wargadalem Dosen Sejarah FKIP Universitas Sriwijaya, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Sumatera Selatan.

Berita Terkini