Laporan Wartawan Tribunsumsel.com, Siemen Martin
TRIBUNSUMSEL.COM, LUBUKLINGGAU - Mantan penasehat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abdullah Hehamahua, mengaku heran dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) apakah tidak tahu atau belum membaca tentang Undang-undang KPK.
Dirinya meyakini Jokowi bisa dimakzulkan terkait wacana tentang wewenang KPK hanya sebatas pencegahan. Sebab dalam pembentukan KPK, tugas dan wewenang pokoknya ada lima diantaranya koordinasi, supervisi, penindakan, pencegahan dan monitoring.
"Sangat aneh atau apakah pembisiknya yang memaksa atau mendorong untuk menginformasikan yang keliru kepada Jokowi, agar diterbitkan Inpres tersebut," ungkap Abdullah saat ditemui di Hotel Hakmaz Taba, Kamis (5/3/2015) sore.
Dengan begitu, apabila Inpres tersebut dikeluarkan maka KPK hanya memiliki kewenangan tentang pencegahan, kekuatan KPK menghilang 80 persen dari lima fungsi tersebut. Sebab sudah tidak efektif kalau empat wewenang tugas itu dihilangkan.
"Pertama Inpres itu tidak Integreted, dan kedua Jokowi dianggap melanggar undang-undang khususnya," jelas dia.
Alasan dilakukan pemakzulan apabila Inpres tersebut terbit, salah satu syaratnya adalah terbukti melanggar UU dan Legislatif berhak melakukan Impeachment.
Maka dari itu, Abdullah mengimbau seharusnya yang dilakukan segera oleh Jokowi bukan menerbitkan Inpres tentang kewenangan KPK, tetapi terbitkan Inpres atau Peraturan Pemerintah tentang pelaksanakan pendidikan anti korupsi dari tingkat SD sampai Universitas, dipastikan penebitan Inpres itu strategis dan tidak akan dipersoalkan DPR.
"Kalau misalnya KPK tidak melakukan penindakan, siapa yang menangani, karena korupsi sudah parah. Kan dasar dari lahirnya dan dibentuk KPK karena Polri dan Kejaksaan tidak efektif tidak optimal dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi," tegasnya.
Bahkan apabila wewenang KPK dipersempit, pekerjaan rumah KPK yang setidaknya ada 36 kasus akan terganggu dan tidak bisa diselesaikan. "Jelas Presiden Jokowi tidak mengerti bagaimana SDM di KPK, penanganan kasus akan terhambat," ungkapnya.
Diapun menjelaskan kalau dalam Peraturan Pemerintah nomor 63 tahun 2005 tentang manajemen SDM, pegawai atau penyidik KPK minimal menyelesaikan empat kasus yang harus diselesaikan, hal itu merupakan Key Performance Indicator (KPI), dan kalau tidak sampai empat maka kinerjanya tidak optimal.
"SDM KPK juga berdasarkan kompetensi, tingkah laku dan kinerja. Kalau tidak sampai berarti tidak ada kinerja," terangnya.
Diapun menilai apabila Jokowi serius memberantas korupsi, kembali lagi dirinya harus menerbitkan Inpres terkait pelaksanaan pendidikan yang penerapannya di mendiknas. "Kalau ada instruksi maka bisa dilakukan penerapan. Untuk pendidikan korupsi yang ada di Indonesia hanya dua Universitas yang memasukan pada mata kuliah, karena korupsi itu dilakukan oleh oknum karena tidak ada pemahaman tentang pendidikan korupsi," pungkasnya.