WBTb Indonesia: Denyut Eksistensi Pelestarian Warisan Budaya Sumatra Selatan

Deretan karya ini mencerminkan denyut kehidupan budaya masyarakat Sumatra Selatan dari tepian Sungai Musi hingga Lembah Bukit Barisan

Editor: Sri Hidayatun
Dokumentasi BPK Wilayah VI
Tari Burung Putih dari Kabupaten Musi Banyuasin. Tari ini merupakan 1 dari 17 warisan budaya asal Sumatra Selatan yang telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia tahun 2025. (Sumber: Dokumentasi BPK Wilayah VI) 

TRIBUNSUMSEL.COM- Dari aroma fermentasi Bekasem hingga gemulai tari Lilin Bepinggan, Sumatra Selatan menapaki babak baru dalam perjalanan upaya pelestarian kebudayaan.

Sebanyak 17 karya budaya dari Bumi Sriwijaya direkomendasikan untuk ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTb) Indonesia Tahun 2025 dalam Sidang Penetapan WBTb Indonesia yang berlangsung pada 5 - 11 Oktober 2025 di Jakarta.

Deretan karya ini mencerminkan denyut kehidupan budaya masyarakat Sumatra Selatan dari tepian Sungai Musi hingga Lembah Bukit Barisan, mulai dari seni pertunjukan, adat istiadat, tradisi lisan, hingga kemahiran kerajinan tradisional.

Dari Palembang, Aesan Paksangko—busana kebesaran yang melambangkan keanggunan dan martabat—menjadi ikon klasik yang menegaskan citra aristokratik kota tua di tepian Sungai Musi.

Di sisi lain, Rumah Rakit Palembang hadir sebagai jejak arsitektur sungai yang merekam sejarah hubungan manusia dengan air yang kini kian terdesak oleh modernitas.

Meski begitu, warisan budaya ini tetap bertahan sebagai identitas Palembang yang lestari.

Dari Musi Banyuasin, muncul kekayaan tradisi yang masih bertahan di tengah perubahan zaman, yakni Tari Burung Putih, Tari Ulang-Ulang, Bakul Tangkal, Dundai Naek Sialang, serta Sedekah Rame Kertayu.

Tradisi dan kesenian ini menggambarkan relasi yang erat antara manusia dan alam, kerja dan doa, dan antara syukur dan kehidupan.

Sementara itu, dari Ogan Komering Ilir, seni tari dan adat istiadat bersinar lewat Tari Lilin Bepinggan, Tari Cang-Cang, Adat Perkawinan Suku Penesak Pedamaran, serta Bahasa Kayu Agung.

Khususnya bahasa, warisan yang bukan hanya sebagai alat komunikasi, tetapi wadah ingatan kolektif dan identitas komunitas lokal.

Sementara Legenda Petori Buwok Handak dan Langkuse juga ditetapkan sebagai warisan budaya nasional nan memperkaya khazanah cerita lisan yang diwariskan lintas generasi.

Dari lereng Bukit Barisan di Lahat, Tari Sanggan Sighe memperlihatkan semangat muda yang menghidupkan kembali tarian tradisional.

Sementara dari Prabumulih, Sedekah Dusun Pangkul menghadirkan ritual syukur pascapanen yang masih dijalankan dengan khidmat. 

Tradisi ini menampilkan bentuk nyata nilai gotong royong yang telah menjadi fondasi kehidupan desa.

Tak kalah penting, di Palembang, Bubur Suro Palembang disajikan bukan hanya sebagai kuliner, tetapi juga simbol solidaritas dan spiritualitas.

Dan tentu saja, Bekasem — hasil olahan fermentasi ikan yang dikenal di seluruh Sumatra Selatan—, menjadi simbol kuliner tradisional yang merekatkan seluruh kabupaten/kota.

Ia bukan sekadar makanan, melainkan penanda identitas, ketekunan, dan kearifan masyarakat dalam mengolah hasil alam.

Makna Penetapan: Awal dari Perjalanan Panjang

Penetapan 17 karya budaya ini menjadi penanda penting dalam upaya pelestarian budaya Sumatra Selatan.

Namun, pengakuan tersebut bukanlah garis akhir, melainkan langkah awal dari perjalanan panjang menjaga keberlanjutan warisan.

Sertifikat dan daftar resmi hanyalah simbol; yang lebih penting adalah memastikan tradisi itu terus hidup dalam perilaku, perayaan, dan kebiasaan masyarakat.

Setiap karya budaya membawa tanggung jawab baru untuk didokumentasikan, diajarkan kepada generasi muda, dan dikembangkan agar tetap relevan di tengah perubahan zaman.

Kesadaran inilah yang menjadi tantangan utama.

Pelestarian tidak berhenti pada seremoni penetapan, melainkan berlanjut dalam tindakan kecil sehari-hari seperti cara orang menari, bertutur, menenun, dan memasak dengan cara yang diwariskan leluhur.

Bagi Sumatra Selatan, pengakuan karya budayanya sebagai WBTbI membuka ruang yang lebih luas.

Ia bukan hanya menegaskan posisi provinsi ini sebagai penjaga peradaban lama, tetapi juga sebagai pelaku aktif dalam diplomasi kebudayaan nasional.

Penetapan ini memperkuat arah pengembangan ekonomi kreatif, pariwisata berbasis budaya, serta pendidikan karakter berbasis kearifan lokal.

Menjaga Api Tradisi di Tengah Zaman

Ketika modernitas melaju cepat dan batas budaya semakin kabur, upaya pelestarian menuntut cara baru.

Tradisi tidak boleh dibiarkan membeku menjadi sekadar artefak. Ia harus terus bernapas, beradaptasi, dan menemukan bentuk baru tanpa kehilangan jiwanya.

Warisan budaya bukanlah peninggalan masa lalu, melainkan sumber daya hidup yang membentuk karakter dan kebanggaan daerah.

Dari bakul tangkal hingga tari sanggan sighe, dari bekasem hingga bubur suro, Sumatra Selatan membuktikan bahwa kekayaan budaya sejatinya tumbuh dari keseharian warganya.

Dengan 17 karya budayanya di daftar Warisan Budaya Takbenda Indonesia tahun 2025, Sumatra Selatan menegaskan dirinya bukan sekedar pewaris sejarah Sriwijaya, melainkan juga penjaga nyala api tradisi di tengah arus zaman.

Pasalnya, pelestarian sejati bukan soal menjaga yang tua, melainkan memastikan yang tua tetap hidup di masa muda. Dan, Jejak itu resmi tercatat dalam narasi besar kebudayaan Indonesia. 

Baca berita lainnya di google news

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
KOMENTAR

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved