Rebo Wekasan

Kapan Rabo Wekasan 2025? Ini Penjelasan Asal Usul dan Sejarah Rebo Wekasan

Rebo wekasan atau Rabu pungkasan adalah sebuah tradisi yang digelar setiap Rabu terakhir di bulan Safar dalam kalender hijriyah.

|
Editor: Abu Hurairah
Tribunsumsel.com
MALAM REBO WEKASAN - Rabu Wekasan atau Rebo Wekasan, Begini Maknanya dalam Islam, Rabu Terakhir Di Bulan Safar 

Tradisi dilakukan dengan membuat lemper raksasa dan dibagikan kepada masyarakat yang menghadiri acara ini.

Dilansir dari laman Kemendikbud, sejarah hadirnya tradisi ini tersedia dalam beberapa versi.

Versi pertama,

Rebo Wekasan disebut sudah ada sejak 1784. Saat itu, hidup tokoh bernama Mbah Faqih Usman atau yang dikenal sebagai Kyai Wonokromo Pertama atau Kyai Welit.

Masyarakat meyakini bahwa Kyai mampu mengobati penyakit dengan metode membacakan ayat Al Quran pada segelas air dan diminumkan kepada pasien.

Kemampuan Mbah Kyai Faqih semakin menyebar, hingga terdengar oleh Sri Sultan Hamengkubuwana I (HB I).

Untuk membuktikan kemampuan tersebut, Sri Sultan HB I mengutus empat prajurit untuk membawa Mbah Kyai Faqih menghadap ke keraton.

Ternyata, ilmu Mbah Kyai terbukti dan mendapat sanjungan.

Sepeninggal Mbah Kyai Faqih, masyarakat pun meyakini bahwa mandi di pertempuran Kali Opak dan Kali Gajahwong dapat menyembuhkan berbagai penyakit dan mendatangkan berkah.

Versi kedua,

Upacara Rebo Wekasan tak lepas dari Sultan Agung, penguasa Mataram yang dulu pernah memiliki keraton di Pleret.

Upacara adat ini mulai diselenggarakan sekitar 1600.

Kala itu, Mataram terjangkit pagebluk atau wabah penyakit. Kemudian, diadakanlah ritual untuk menolak bala pagebluk.

Ritual tersebut dilaksanakan oleh Kyai Welit, dengan membuat tolak bala berwujud rajah bertuliskan basmalah dalam aksara arab sebanyak 124 baris.

Rajah tersebut dibungkus dengan kain mori putih dan dimasukkan ke dalam air, kemudian diminumkan pada orang yang sakit.

Lantaran khawatir air tak cukup, akhirnya Sultan Agung memerintahkan agar air dengan rajah sisa rajah tersebut dituangkan ke dalam Kali Opak dan Gajahwong.

Versi ketiga,

 dilansir dari laman Dinas Kebudayaan Yogyakarta, bulan Safar dianggap sebagai bulan malapetaka atau bahaya.

Halaman
123
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved