seputar islam
Alami Kesulitan Ekonomi Saat Masuk Waiting List Berangkat Haji, Masihkah Wajib Tunaikan Ibadah Haji?
Secara prinsip, dalam ketentuan fiqih, seseorang yang mengalami kebangkrutan sebelum sempat berangkat ke Tanah Suci tidak lagi wajib ibadah haji
Penulis: Lisma Noviani | Editor: Lisma Noviani
TRIBUNSUMSEL.COM -- Mendapat kesempatan untuk menunaikan ibadah haji bukanlah mudah. Seorang jemaah haji harus menunggu bertahun-tahun untuk mendapatkan porsi haji setelah biaya disetorkan.
Ada yang berjarak 5, 7, 10 hingga 12 tahun baru sampai pada giliran berhaji berdasarkan kuota haji yang ditetapkan pemerintah.
Tak jarang ekonomi seseorang dapat berubah ketika telah tiba daftar tunggu untuk keberangkatan haji.
Sementara syariat menetapkan bahwa ibadah ini hanya diwajibkan bagi mereka yang memiliki kemampuan, termasuk kesiapan dalam hal bekal perjalanan.
Lalu, bagaimana status hukum ibadah haji bagi seseorang yang tiba-tiba mengalami kebangkrutan atau kesulitan ekonomi sebelum sempat berangkat, padahal ia sudah melunasi biaya penyelenggaraannya?
Dikutip dari tulisan A. Zaeini Misbaahuddin Asyuari Mahasantri Pascasarjana Ma'had Aly Lirboyo Kediri, Minat Kajian Fikih dan Tafsir Al-Qur'an di laman arina.id,
Secara prinsip, dalam ketentuan fiqih, seseorang yang mengalami kebangkrutan sebelum sempat berangkat ke Tanah Suci tidak lagi dibebani kewajiban untuk menunaikan haji.
Hal ini karena aspek kemampuan (istitha’ah) yang menjadi syarat wajibnya haji dihitung sejak seseorang memulai perjalanan dari negerinya hingga ia kembali.
Jika pada fase tersebut seseorang kehilangan kemampuan finansial, maka kewajiban hajinya menjadi gugur. Penjelasan ini disampaikan oleh Syekh Nawawi Al-Bantani (wafat 1316 H) dalam kitabnya:
وَيُعْتَبَرُ فِي الْاِسْتِطَاعَةِ امْتِدَادُهَا فِي حَقِّ كُلِّ إِنْسَانٍ مِنْ وَقْتِ خُرُوْجِ أَهْلِ بَلَدِهِ مِنْهُ لِلْحَجِّ إِلَى عَوْدِهِمْ فَمَتَى أَعْسَرَ فِي جُزْءٍ مِنْ ذَلِكَ فَلَا اسْتِطَاعَةَ وَلَا عِبْرَةَ بِيَسَارِهِ قَبْلَ ذَلِكَ وَلَا بَعْدَهُ
Artinya:
“Kemampuan (istitha‘ah) dalam berhaji dipertimbangkan berdasarkan keberlangsungannya bagi setiap orang, yaitu sejak waktu keluarnya penduduk dari negerinya untuk menunaikan haji hingga mereka kembali. Maka, apabila seseorang mengalami kesulitan (jatuh miskin atau bangkrut) pada salah satu bagian dari rentang waktu tersebut.
Maka ia dianggap tidak mampu (tidak memenuhi syarat istitha‘ah), dan kemampuan (kecukupan) yang dimilikinya sebelum atau setelah masa itu tidak diperhitungkan.” (Nihayah Az-Zain Fi Irsyad Al-Mubtadiin [Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah], h. 199.
Sejalan dengan pendapat sebelumnya, Syekh Ibn Hajar Al-Haitami (wafat 974 H) dalam kumpulan fatwanya menjelaskan bahwa jika seseorang meninggal dunia atau mengalami kebangkrutan sebelum sempat menunaikan ibadah haji, baik sebelum tiba di Makkah maupun setelahnya namun belum melaksanakan hajinya, maka ia tidak lagi dibebani kewajiban untuk berhaji:
الْمُرَادُ مِنْ هَذَا الشَّرْطِ أَنَّهُ يُعْتَبَرُ فِي لُزُوْمِ الْحَجِّ لَهُ لَا فِي اسْتِقْرَارِهِ عَلَيْهِ أَنْ يَتَمَكَّنَ بِأَنْ يَجِدَ الزَّادَ وَالرَّاحِلَةَ وَقَدْ بَقِيَ زَمَنٌ يَسَعُ الْوُصُوْلَ فِيْهِ إِلَى مَكَّةَ بِالسَّيْرِ الْمُعْتَادِ غَالِبًا بِحَيْثُ لَا يُقْطَعُ فِي يَوْمٍ أَكْثَرُ مِنْ مَرْحَلَةٍ. فَلَوْ كَانَ بَيْنَ بَلَدِهِ وَمَكَّةَ سَنَةٌ مَثَلًا اشْتُرِطَ أَنْ يُقَدَّرَ عَلَى نَحْوِ الزَّادِ وَالرَّاحِلَةِ تِلْكَ السَّنَةَ جَمِيْعُهَا فَمَتَى مَضَتْ لَهُ سَنَةٌ بِأَنْ يَمْضِيَ مَا يُمْكِنُ ذِهَابُ الْحُجَّاجِ فِيْهِ وَرُجُوعُهُمْ إِلَى بَلَدِهِ وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى مَا مَرَّ بَانَ لُزُوْمُ الْحَجِّ لَهُ فَإِذَا مَاتَ أَوِ افْتَقَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَالْحَجُّ بَاقٍ فِي ذِمَّتِهِ لِأَنَّهُ اسْتَطَاعَهُ وَتَرَكَهُ وَمَتَى مَرِضَ أَوِ افْتَقَرَ قَبْلَ وُصُوْلِهِمْ لِمَكَّةَ أَوْ بَعْدَ وُصُوْلِهِمْ وَقَبْلَ الْحَجِّ بَانَ أَنَّهُ لَمْ يَلْزَمْهُ حَجٌّ وَكَذَا لَوِ افْتَقَرَ بَعْدَ حَجِّهِمْ وَقَبْلَ وُصُوْلِهِمْ لِبَلَدِهِ فَعَلِمْنَا أَنَّهُ لَا بُدَّ أَنْ يَمْضِيَ عَلَيْهِ وَهُوَ قَادِرٌ مُدَّةً يُمْكِنُ فِيْهَا الذِّهَابُ إِلَى مَكَّةَ بِالسَّيْرِ الْمُعْتَادِ وَإِدْرَاكُ الْحَجِّ فِيْهَا وَوُصُوْلُهُ إِلَى بَلَدِهِ
Artinya:
“Yang dimaksud dengan syarat ini adalah bahwa kewajiban haji baru ditetapkan atas seseorang (bukan sekadar tetap di tanggungan) apabila ia benar-benar memiliki kemampuan yakni ia memiliki bekal dan kendaraan serta masih tersisa waktu yang cukup untuk sampai ke Makkah dengan perjalanan normal sebagaimana biasanya, yaitu dalam sehari tidak melebihi satu marhalah (jarak standar perjalanan harian).
Maka, jika jarak antara negerinya dan Makkah adalah satu tahun perjalanan, disyaratkan bahwa ia mampu secara finansial sepanjang tahun tersebut, memiliki bekal dan kendaraan untuk waktu itu seluruhnya. Apabila telah berlalu satu tahun dalam keadaan ia mampu menempuh perjalanan yang memungkinkan jamaah haji pergi dan kembali ke negerinya, maka kewajiban haji telah ditetapkan atas dirinya.
Jika setelah itu ia meninggal dunia atau jatuh miskin (bangkrut), maka kewajiban hajinya tetap ada dalam tanggungannya (tidak gugur), karena sebelumnya ia telah memiliki kemampuan namun tidak segera melaksanakannya. Namun, jika ia sakit atau jatuh miskin sebelum tiba di Makkah, atau setelah tiba namun sebelum menunaikan haji, maka hal itu menunjukkan bahwa kewajiban haji belum ditetapkan atasnya. Begitu juga jika ia jatuh miskin setelah menunaikan haji tetapi sebelum kembali ke negerinya. Maka dapat dipahami bahwa seseorang harus dalam kondisi mampu secara terus-menerus selama masa yang memungkinkan untuk melakukan perjalanan ke Makkah, menunaikan haji, dan kembali ke negerinya.” (Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra [Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah], vol. 2, h. 64-63)
Kendati demikian, jamaah haji tersebut tetap terikat pada kesepakatan kontrak dengan Badan Penyelenggara Haji (BPH), di mana penarikan dana Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) secara otomatis akan membatalkan hak porsi keberangkatannya.
Sebagai akibatnya, jamaah tidak bisa melanjutkan masa tunggu yang telah berjalan, dan bila ingin berhaji kembali, ia harus melakukan pendaftaran ulang dari awal, dengan masa tunggu yang akan disesuaikan berdasarkan tahun pendaftaran yang baru.
Ketentuan ini diatur secara resmi dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 13 Tahun 2021 yang mengatur pembatalan BPIH karena alasan wafat, sakit, atau kebutuhan biaya mendesak. Sementara itu, dalam salah satu karyanya yang lain.
Syekh Ibn Hajar Al-Haitami menjelaskan bahwa akad semacam ini tidak otomatis menjadi batal hanya karena adanya uzur, selama uzur tersebut tidak termasuk jenis yang menyebabkan kerusakan pada objek akad
Apabila ada uzur syar‘i yang benar-benar menghalangi secara mutlak, maka hal itu dapat membatalkan akad. Contohnya, jika seseorang menyewa untuk mencabut gigi yang sakit, namun rasa sakitnya hilang maka akad batal.
Kemungkinan rasa sakit itu akan kembali tidak menjadi pertimbangan karena bertentangan dengan prinsip asal. Demikian pula halnya dengan uzur yang bersifat nyata secara inderawi apabila terkait dengan kepentingan umum.” (Tuhfah Al-Muhtaj Fi Syarh Al-Minhaj [Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah], vol. 7, h. 611)
Merujuk pada berbagai penjelasan ini, dapat disimpulkan bahwa seseorang yang mengalami kebangkrutan sebelum berangkat ke Tanah Suci tidak diwajibkan untuk menunaikan ibadah haji.
Hal ini karena aspek kemampuan (istitha’ah) dalam berhaji dihitung sejak awal keberangkatan dari tempat tinggalnya hingga ia kembali pulang.
Itulah penjelasannya, semoga bermanfaat. (lis/berbagai sumber)
Baca juga: Dalil Keutamaan Puasa Sunnah Ayyamul Bidh, Puasa Minimal 3 Hari Setiap Bulan di Pertengahan Bulan
Baca juga: Jadwal Puasa Ayyamul Bidh Tanggal 11-13 Mei 2025 dan Bacaan Niatnya Bila Digabung dengan Puasa Senin
Baca juga: Cerita Novian Aswardani, Kadis Perkim Sumsel Naik Haji Bersama Istri Setelah 13 Tahun Menanti
Baca juga: Contoh Undangan Acara Walimatus Safar Haji 2025 yang Singkat dan Berkesan untuk Bagikan di Grup WA
Alami Kesulitan Ekonomi Saat Masuk Waiting List Be
syarat menunaikan Ibadah Haji
syarat wajib beribadah haji
Tribunsumsel.com
Tribunnews.com
Surat Yasin PDF Mudah Dibaca Lengkap Arab Latin dan Artinya |
![]() |
---|
3 Contoh Teks Naskah Khutbah Jumat Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, Teladan Nabi Pembawa Rahmat |
![]() |
---|
5 Kemuliaan dan Keistimewaan Nabi Muhammad SAW dalam Alquran, Lengkap Bacaan Ayat dan Arti |
![]() |
---|
Kisah Teladan Rasulullah Saat Disakiti Orang, Nabi Memaafkan dan Tetap Mendoakan Kebaikan |
![]() |
---|
Arti Allahumma Barik Li Ummati Fi Bukuriha, Doa Rasulullah untuk Umatnya di Pagi Hari |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.