Seputar Islam
Kumpulan Materi Khutbah Jumat Singkat 16 Juni 2023, Penuh Hikmah dan Menyentuh
Kumpulan Khutbah untuk Sholat Jumat penuh dengan pesan hikmah dan menyentuh lengkap.
Penulis: M Fadli Dian Nugraha | Editor: Novaldi Hibaturrahman
TRIBUNSUMSEL.COM-Khutbah Jumat berisi tentang pesan nasehat serta ajakan untuk berbuat kebaikan.
Kumpulan khutbah untuk sholat Jumat penuh dengan pesan hikmah dan menyentuh ini dikutip dari istiqlal.or.id.
Inilah kumpulan materi khutbah Jumat singkat penuh hikmah dan menyentuh, lengkap.
Baca juga: 30 Pantun Malam Jumat Lengkap dari Lucu Hingga Horor, Cocok Buat Caption di Medsos
Materi Khutbah Jumat 1: Muhasabah Diri Sebagai Refleksi Keimanan Kepada Allah SWT.
Jamaah shalat jumat yang dirahmati Allah SWT.
Khatib mengajak diri sendiri dan para jamaah sekalian untuk senantiasa meningkatkan kualitas ketakwaan kita kepada Allah subhanahu wata’ala, mempertajam kesadaran ilahiah, mempertebal sikap berserah diri kepada-Nya.
Shalawat dan salam semoga kepada Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga, sahabat dan ummatnya.
Allah subhanahu wata'ala memerintahkan kita untuk meningkatkan iman dan taqwa karena itu Allah subhanahu wata'ala mengingatkan untuk senantiasa melakukan muhasabah atau introspeksi terhadap diri kita. Hal ini seperti diperintahkan Allah SWT dalam firman-Nya :
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢبِمَا تَعْمَلُوْنَ ١٨
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. al-Hasyr : 18).
Ayat ini ditujukan kepada orang-orang yang beriman dengan panggilan yang spesifik.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا
“Hai orang-orang yang beriman”
Allah subhanahu wata'ala memerintahkan orang–orang yang beriman untuk bertakwa kepada Allah SWT, yaitu menjunjung (mematuhi) seluruh perintah Allah SWT dan menjauhi seluruh laranganNya, yang nyata atau yang tersembunyi, serta mensyiarkan kebesaran kemuliaan Allah subhanahu wata'ala.
Setelah memerintahkan bertakwa, Allah subhanahu wata'ala memerintahkan orang-orang beriman untuk melakukan introspeksi terhadap diri mereka.
Al-Quran menegaskan sebagai berikut:
اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ
“Dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)”
Jika kita cermati, terdapat tiga keterangan waktu pada ayat di atas, sebagai bentuk introspeksi terhadap diri. Ketiga keterangan waktu tersebut adalah :
• Waktu sekarang, yaitu (وَلْتَنْظُرْ). Kita diperintahkan untuk memperhatikan dan meneliti kondisi saat ini.
Setiap mukmin menyadari bahwa kesempatan adalah karunia terbesar yang harus disyukuri dengan berbuat yang terbaik agar dapat membangun jejak-jejak kehidupan dan menjadi warisan terbaik dihadapan Allah SWT,
• Waktu yang telah lalu, yaitu (قَدَّمَتْ).
Pengertian ini merujuk pada segala hal yang telah diperbuat pada masa lalu sebagai nasehat dan pelajaran terbaik
• Masa depan, yaitu (لِغَدٍۚ). Semua itu dilakukan agar kita tidak mengulangi kesalahan.
Selain itu, proses introspeksi dilakukan agar kita dapat melakukan hal-hal yang lebih baik pada masa yang akan datang, guna menhadirkan kebaikan dan kemanfaatan bagi umat manusia.
Jika dirangkai menjadi satu, maka muhasabah diri adalah memperhatikan dan meneliti segala sesuatu yang telah dilakukan pada masa lalu dan masa kini untuk kebaikan di masa depan.
Itulah maksud dari surat al-Hasyr ayat 18 tersebut. Perbuatan yang bisa menghubungkan masa lalu dengan masa depan yang lebih baik adalah introspeksi diri.
Dalam istilah bahasa Arab disebut juga dengan “muhasabah diri.”
Hadirin jamaah shalat Jum’at yang dirahmati Allah SWT.
Muhasabah adalah meneliti perbuatan kita pada masa lalu dan masa kini, apakah ia merupakan perbuatan baik atau perbuatan buruk.
Dengan muhasabah diri, perbuatan baik pada masa lalu bisa ditingkatkan pada masa depan, baik kualitasnya maupun kuantitasnya.
Dengan muhasabah, perbuatan buruk pada masa lalu tidak perlu diulangi pada masa yang akan datang.
Maka dengan muhasabah, hari esok kita akan lebih baik, di dunia juga di akhirat Insya Allah SWT. Sahabat Umar Ibnul Khaththab r.a. berkata:
Artinya : “Hendaklah kalian menghisab (mengintrospeksi) diri kalian sebelum kalian dihisab (oleh Allah subhanahu wata'ala)” (H.R. At-Tirmidzi-Ahmad).
Bila kita cermati, paling tidak ada 3 (tiga) makna penting yang terkandung dalam proses muhasabah ini.
Pertama, orang yang rajin melakukan muhasabah sesungguhnya merupakan sosok pembelajar, dan kita dituntut untuk menjadi pembelajar sejati sepanjang hayat.
Banyak kisah dalam Al-Qur’an yang harus menjadi bahan pelajaran untuk peringatan ke depan, dan hanya sosok pembelajar yang bernama Ulul Albab yang mampu belajar dari Kisah-kisah masa lalu tersebut.
Allah SWT berfirman dalam al-Qur'an Surat Yusuf ayat 111, yang artinya: "Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang yang mempunyai akal.
(Al-Qur'an) itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya, menjelaskan segala sesuatu, dan (sebagai) petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman".
Sosok pembelajar sejati adalah sosok yang selalu berpikir dan berpikir, sehingga mampu mengakumulasi ilmu yang didapatkan untuk diamalkan.
Itulah mengapa Allah SWT meningkatkan derajat orang-orang yang berilmu.
Tidak lain karena orang-orang yang berilmu inilah yang diharapkan bisa terus menebar rahmat di muka bumi.
Orang-orang yang berilmu lah yang bisa merancang arah perubahan sosial di masa depan. Sebagaimana firman Allah SWT yang artinya: “…Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS. Al-Mujadalah: 11).
Sosok ulul albab yang pembelajar ini semakin diharapkan perannya dalam transformasi bangsa.
Oleh karena itu di era yang serba cepat dan penuh ketidakpastian ini, maka sosok pembelajar juga harus dimaknai sebagai sosok yang adaptif dengan pola pikir tumbuh (growth mindset),
Yang terus memacu skill dan kompetensi baru dengan learning agility yang tinggi. Kemampuan kecepatan belajar ini sangat penting agar bisa berperan menjadi trend setter perubahan.
Kedua, muhasabah mengandung makna perlunya orientasi pada masa depan.
Tujuan evaluasi diri adalah untuk kelebihbaikan di masa depan.
Ada dua dimensi masa depan, yaitu masa depan di dunia dan di akhirat.
Ayat surat al-Hasyr ayat 18 yang tadi saya bacakan merupakan fondasi tentang visi masa depan. Visi besar seorang mukmin adalah menjadi hamba yang berbahagia di dunia dan akhirat.
Keseimbangan masa depan di dunia dan akhirat adalah keniscayaan, sebagaimana doa kita sehari-hari yang artinya: “Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami kebajikan di dunia dan kebajikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa api neraka.”
Dunia adalah jembatan menuju akhirat, Karena itu kehidupan dunia pun tidak boleh ditinggalkan.
Marilah kita cermati ayat-ayat berikut ini:
فَاِذَا قُضِيَتِ الصَّلٰوةُ فَانْتَشِرُوْا فِى الْاَرْضِ وَابْتَغُوْا مِنْ فَضْلِ اللّٰهِ وَاذْكُرُوا اللّٰهَ كَثِيْرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ ١٠
Artinya : “Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyaknya supaya kamu beruntung” (QS. al-Jumu’ah [62]: 10).
اِنَّمَا تَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ اَوْثَانًا وَّتَخْلُقُوْنَ اِفْكًا ۗاِنَّ الَّذِيْنَ تَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ لَا يَمْلِكُوْنَ لَكُمْ رِزْقًا فَابْتَغُوْا عِنْدَ اللّٰهِ الرِّزْقَ وَاعْبُدُوْهُ وَاشْكُرُوْا لَهٗ ۗاِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ ١٧
Artinya : “Maka carilah rezeki di sisi Allah, kemudian beribadah dan bersyukurlah kepada Allah. Hanya kepada Allah kamu akan dikembalikan” (QS. al-Ankabut [29]: 17).
وَابْتَغِ فِيْمَآ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَاَحْسِنْ كَمَآ اَحْسَنَ اللّٰهُ اِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِى الْاَرْضِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ ٧٧
Artinya : “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi” (QS. al-Qasas [28]: 77).
Namun demikian, berburu dunia pun tidak boleh melupakan akhirat.
Marilah kita ingat kisah Qarun yang berlimpah harta namun akhirnya binasa.
Qarun adalah orang saleh miskin yang kemudian minta tolong Nabi Musa agar didoakan kaya.
Namun setelah kaya raya dia menjadi sombong dan meninggalkan ibadah serta tidak lagi peduli sesama.
Jadi ayat tersebut mengingatkan kita perlunya keseimbangan dunia dan akhirat.
Sementara itu, dalam QS. Yasin ayat 12 Allah subhanahu wata'ala berfirman:
اِنَّا نَحْنُ نُحْيِ الْمَوْتٰى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوْا وَاٰثَارَهُمْۗ وَكُلَّ شَيْءٍ اَحْصَيْنٰهُ فِيْٓ اِمَامٍ مُّبِيْنٍ ࣖ ١٢
Artinya : “Sungguh, Kamilah yang menghidupkan orang-orang yang mati, dan Kamilah yang mencatat apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka (tinggalkan). Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab yang jelas (Lauh Mahfuzh)”. (QS. Yasin [36]: 12)
Ayat ini semakin menegaskan bahwa apa yang kita kerjakan di dunia adalah investasi untuk akhirat.
Artinya, kehidupan akhirat kita akan sangat tergantung dari apa yang kita kerjakan dan investasikan di dunia ini.
Oleh karena itu di dunia ini kita dituntut untuk mampu menciptakan masa depan.
Dengan mampu menciptakan masa depan berarti kita ini akan menjadi penentu kecenderungan perubahan di dunia.
Bukankah misi rahmatan lil alamin sesungguhnya adalah sebuah misi mulia untuk menciptakan tatanan perubahan menuju kelebihbaikan dan kemajuan?
Ketiga, muhasabah mendorong jiwa berprestasi. Muhasabah diri akan mendorong sesorang untuk mengasilkan kebaikan, kemanfaatan dan termotivasi untuk terus berprestasi karena terus berupaya belajar dari masa lalu untuk kelebihbaikan di masa depan.
Orang yang berprestasi adalah orang yang mau belajar dari masa lalu, baik masa lalu dirinya maupun orang lain.
Selain itu, juga karena orang yang berprestasi yakin bahwa Allah subhanahu wata'ala sangat detil dan akurat dalam mencatat setiap kabaikan hambanya, Allah subhanahu wata'ala berfirman dalam Al-Qur'an surat al-Zalzalah ayat 7 sampai 8,
فَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَّرَهٗۚ ٧ وَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَّرَهٗ ࣖ ٨
Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula” (QS. al-Zalzalah: 7 - 8).
Orang yang berprestasi adalah orang yang ingin terus bergerak ke depan dan berada dalam rel kemajuan.
Orientasi untuk bergerak maju tersebut didasari pada dua hal. Pertama,
Menjalankan fungsi manusia sebagai khalifah di muka bumi yang harus memakmurkan dan sekaligus menjaga kehidupan dunia dari kerusakan (QS. Hud: 61; QS. al-Anbiya: 107; QS. al-Baqarah: 30; QS. al-Baqarah:11).
Orientasi maju adalah konsekuensi dari tanggung jawab manusia yang memang diciptakan untuk menjaga bumi, karena manusia adalah makhluk yang paling sempurna yang dikaruniai kelebihan daripada makhluk lainnya (QS. at-Tiin:4; QS. al-Isra’: 70).
Kedua, sebagai bentuk syukur kita atas nikmat yang tak terhingga dari Allah subhanahu wata'ala (QS. an-Nahl : 4), baik nikmat kehidupan, nikmat kemerdekaan, dan nikmat iman.
Nikmat Allah SWT kepada kita akan secara akumulatif membesar dan membesar manakala kita selalu mensyukurinya dengan jiwa dan tindakan nyata yang impactful.
Apabila kita bersyukur akan bertambah nikmatnya, sebagaimana al-Qur'an Surat Ibrahim ayat 7:
وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ ٧
Artinya : (Ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku benar-benar sangat keras.” (QS. Ibrahim [14]: 7)
Orang yang berprestasi adalah tanda orang yang pandai bersyukur, Oleh karena itu orang yang berprestasi pada akhirnya adalah orang yang memperoleh nikmat lebih.
Apalagi kalau kita juga ingat kata-kata mutiara yang artinya:
“Barangsiapa yang harinya sekarang lebih baik daripada kemarin maka dia termasuk orang yang beruntung. Barangsiapa yang harinya sama dengan kemarin maka dia adalah orang yang merugi. Barangsiapa yang harinya sekarang lebih jelek daripada harinya kemarin maka dia terlaknat”.
Orang yang beruntung adalah orang yang memperoleh nikmat lebih.
Dan sebenarnya disinilah kita semakin memahami bahwa barang siapa yang bersyukur maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri.
Hadirin jamaah shalat Jumat yang berbahagia.
Manusia yang tidak mau melakukan muhasabah, maka dia dapat dikategorikan sebagai manusia yang sombong.
Mengapa? Karena orang yang sombong merasa dirinya telah sempurna, sehingga ia merasa tidak perlu melakukan introspeksi.
Ia merasa selalu baik, benar, dan tidak pernah melakukan kesalahan. Kesombongan inilah yang menutup manusia dari kebenaran, karena dia tidak pernah muhasabah (introspeksi) terhadap dirinya. Allah azza wa jalla berfirman:
كَذٰلِكَ يَطْبَعُ اللّٰهُ عَلٰى كُلِّ قَلْبِ مُتَكَبِّرٍ جَبَّارٍ ٣٥
Artinya: “Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang” (QS. al-Ghafir : 35).
Marilah kita terus bermuhasabah, agar kita menjadi pembelajar, berorientasi masa depan, dan berprestasi.
Orang yang bermuhasabah juga sejatinya adalah orang yang rendah hati karena menyadari bahwa dirinya belum sempurna sehingga terus belajar dan kerja keras untuk menjadi lebih baik di masa depan.
Namun demikian, yang kini harus kita pikirkan juga adalah bagaimana mentransformasi muhasabah personal menjadi muhasabah kolektif.
Sehingga, kita tidak saja memikirkan kelebihbaikan diri kita pasca evaluasi diri, namun juga memikirkan kelebihbaikan umat dan bangsa ini secara institusional.
Dengan demikian, marilah kita juga melakukan muhasabah kolektif untuk mengantarkan kita sebagai umat Islam dan bangsa Indonesia yang maju, adil dan makmur yang diridhai Allah subhanahu wata'ala di masa mendatang.
Jamaah shalat Jumat yang senantiasa diberkahi oleh Allah ta’ala.
Muhasabah diri adalah sebuah keniscayaan dan sekaligus refleksi keimanan kepada Allah subhanahu wata'ala. Iman dan taqwa dalam diri kita berflutuasi, kadang naik dan kadang turun.
Marilah kita senantiasa melakukan muhasabah diri dan terus meminta pertolongan kepada Allah SWT agar dimudahkan dalam melakukannya.
Semoga Allah SWT membimbing kita semua selalu ingat kapada-Nya, besyukur atas nikmtnya dan memperbaiki ibadah kepada-Nya.
Semoga Allah SWT menganugerahkan kekuatan kepada kita untuk dapat melakukan muhasabah (introspeksi) terhadap diri sendiri maupun kolektif.
Dengan muhasabah itu semoga Allah subhanahu wata'ala memudahkan hisab kita kelak di yaumul qiyamah. Aamiin.
Baca juga: Arti Fainna Ashdaqal Hadits Kitabullah, Sering Diucap dalam Khutbah Jumat, Berpedoman pada Alquran
Materi Khutbah Jumat 2: Etos Kerja dan Keihlasan dalam Islam
Jamaah Jumat rahimakumullah.
Melalui mimbar khutbah Jumat yang mulia ini, khatib berpesan pada diri khatib sendiri khususnya dan kepada segenap hadirin jamaah Jumat yang mulia pada umumnya.
Marilah kita senantiasa tidak henti dan tiada lelah terus berusaha meningkatkan kualitas keagamaan kita.
Yakni dengan meningkatkan ketakwaan kepada Allah subhanahu wata'ala, yaitu dengan menjalankan perintah Allah subhanahu wata'ala dengan ikhlas, khusyu, dan penuh tawakkal juga menjauhi larangan Allah subhanahu wata'ala.
Serta memperbanyak aktifitas kesalehan serta meningkatkan kehati-hatian agar kita tidak terseret oleh rayuan setan dan bujukan hawa nafsu.
Sehingga kita mendapatkan rahmat dan keridlaan Allah subhanahu wata'ala.
Shalawat dan salam mudah-mudahan tetap terlimpahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Hadirin Jamaah Jumat rahimakumullah.
Manusia adalah makhluk yang paling mulia diantara makhluk-makhluk Allah subhanahu wata'ala yang lain.
Manusialah yang sanggup mengemban amanat Allah subhanahu wata'ala.
Di atas pundaknya terdapat tugas-tugas mulia, kewajibankewajiban yang harus ditunaikan dengan baik.
Baik kewajiban kepada Khaliqnya (sang pencipta), maupun kewajiban terhadap dirinya atau kepada orang lain.
Terutama kewajiban kepada orang yang menjadi tanggung jawabnya atau keluarganya, baik tanggung jawab dalam masalah pendidikan maupun nafkah sandang, pangan dan papan sesuai dengan kesanggupan.
Untuk melaksanakan tugas dan tanggungjawab tersebut manusia harus berusaha dan berikhtiar untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan keluarganya menurut kemampuan yang ada.
Kemudian dari mana kebutuhan nafkah itu diperoleh kalau kita tidak bekerja sambil mengharap rahmat dari Allah subhanahu wata'ala.
Bekerja yang kita lakukan itu namanya ikhtiar Dan sebagai orang beriman, ikhtiar itu harus disertai dengan tawakkal kepada Allah subhanahu wata'ala, juga disertai dengan penuh keikhlasan dan kerelaan mengemban tugas mulia, untuk modal beribadah kepada Allah subhanahu wata'ala.
Hadirin Jamaah Jum’ah rahimakumullah.
Bekerja dan berusaha adalah sesuatu yang sangat mulia, Bekerja apa saja asal dengan jalan yang benar dan halal disertai dengan tidak mengabaikan kewajiban kepada Allah subhanahu wata'ala.
Dan tidak melupakan kepentingan akhirat, Sebab tidak sedikit orang yang bekerja mencari kekayaan duniawi tetapi melupakan kepentingan dan keselamatan ukhrawi.
Karena sibuk bekerja sehingga mereka rela meninggalkan kewajiban kepada Tuhannya, seperti shalat, puasa, zakat, dan lain sebagainya.
Hadirin Jamaah Jum’ah rahimakumullah.
Islam mendorong umatnya untuk bekerja agar menjadi manusia mulia dan mandiri serta tidak membebani orang lain.
Oleh karena itu bekerja tercatat sebagai ibadah karena sebagai bukti menjalankan perintah Allah subhanahu wata'ala.
Islam menghendaki agar kita sebagai muslim hendaknya memiliki etos kerja agar kerja kita tidak sekedar memperoleh hasil maksimal, tapi juga ada tujuan yang lebih mulia dan esensial yaitu munculnya keyakinan kuat bahwa setiap usaha atau pekerjaan apa pun akan berakhir menuju Allah subhanahu wata'ala.
Ada beberapa ciri umum yang bisa dijadikan ukuran apakah kita memiliki etos kerja tinggi atau rendah, diantaranya:
Orientasi ke Masa Depan
Muslim yang beretos kerja tidak hanya bermodal semangat tapi harus memiliki orientasi ke masa depan.
Ia bekerja berdasarkan perhitungan dan rencana yang matang,
untuk terciptanya masa depan yang lebih baik. Sebagaimana dijelaskan al-Qur’an dalam surat Al-Hasyr ayat 18,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢبِمَا تَعْمَلُوْنَ
"Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan." (QS. al-Hasyr/59: 18).
Artinya, sebagai seorang muslim, orientasi kerjanya tidak hanya terbatas pada kehidupan di dunia tapi juga demi membangun kehidupan akhirat.
Seluruh aktifitas kerja di dunia harus disadari sebagai perjalanan menuju kehidupan akhirat yang hakiki.
Seorang Muslim yang beretos kerja memang harus berorientasi masa depan.
Tetapi jika orientasinya terbatas di dunia, maka akan melahirkan sikap-sikap yang kontraproduktif dari kesungguhan bekerja.
Sikap ini hanya akan melahirkan para pekerja-pekerja keras yang berjiwa sekuler.
Bahkan bukan mustahil cenderung serakah, dan egois.
Kerja Keras
Anjuran al-Qur’an untuk bekerja keras bisa dipahami dari firman Allah subhanahu wata'ala pada surat At-Taubah ayat 105,
وَقُلِ اعْمَلُوْا فَسَيَرَى اللّٰهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُوْلُهٗ وَالْمُؤْمِنُوْنَۗ وَسَتُرَدُّوْنَ اِلٰى عٰلِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَۚ
Katakanlah (Nabi Muhammad), “Bekerjalah! Maka, Allah, rasul-Nya, dan orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu. Kamu akan dikembalikan kepada (Zat) yang mengetahui yang gaib dan yang nyata. Lalu, Dia akan memberitakan kepada kamu apa yang selama ini kamu kerjakan.” (QS. al-Taubah/9: 105)
Al-Qur’an selalu memotivasi setiap pemeluknya untuk senantiasa berkreasi dan berinovasi.
Bahkan Islam memberi landasan yang mendasar, bahwa sebuah kerja keras harus dilandasi niat yang benar, serta sadar bahwa setiap prestasi kerja kita akan dinilai oleh Allah subhanahu wata'ala, Rasul SAW dan orang beriman.
Dalam hadis Nabi dijelaskan bahwa seseorang akan dicintai oleh Allah subhanahu wata'ala,
jika mengerjakan sesuatu dengan penuh ketekunan, optimal dan mempersembahkan karya yang terbaik.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنّ اللَّهَ تَعَالى يُحِبّ إِذَا عَمِلَ أَحَدُكُمْ عَمَلاً أَنْ يُتْقِنَهُ (رواه الطبرني والبيهقي)
Artinya:
Dari Aisyah r.a., sesungguhnya Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah mencintai seseorang yang apabila bekerja, mengerjakannya secara profesional”.
Bekerja secara profesional juga menjadi salah satu ciri orang yang dicintai oleh Allah subhanahu wata'ala, sebagaimana dalam hadis:
Artinya : “Sesungguhnya Allah mencintai orang yang bekerja” (HR. Baihaqi dari Salim dari bapaknya).
Hadis ini jelas memberi apresiasi kepada setiap muslim yang bekerja dan berusaha.
Islam membenci umatnya yang menganggur dan berpangku tangan menunggu belas kasihan orang lain.
Sahabat Umar ibn Khattab pernah berkata, saya benci melihat salah seorang diantara kalian menganggur tidak melakukan pekerjaan yang menyangkut dunianya tidak pula kehidupan akhiratnya.
Islam tidak pernah membatasi jenis pekerjaan seseorang, yang penting halal.
Islam juga tidak pernah mengukur kualitas pekerjaan dari hasilnya tapi dari sisi kontinuitasnya, seperti dalam sebuah hadis :
Artinya : “Bekerjalah semaksimal mungkin yang kamu bisa lakukan, karena sesungguhnya Allah tidak pernah bosan sampai kalian bosan sendiri. Hanya saja, amal perbuatan yang paling dicintai Allah adalah sedikti namun kontinu (HR. Abu Dawud dari ‘Aisyah)”.
فَاِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْۙ ٧ وَاِلٰى رَبِّكَ فَارْغَبْ ࣖ ٨
Artinya : “Apabila engkau telah selesai (dengan suatu kebajikan), teruslah bekerja keras (untuk kebajikan yang lain) dan hanya kepada Tuhanmu berharaplah!” (QS. asy-Syarh/94: 7 - 8).
Ayat diatas memberikan petunjuk bahwa seorang muslim harus memiliki kesibukan.
Bila telah selesai satu pekerjaan, ia harus memulai pekerjaan lain sehingga kita tidak akan pernah menelantarkan waktunya yang sangat berharga.
Menghargai Waktu
Islam mengajarkan kepada umatnya agar setiap detik dan waktunya harus diisi dengan hal-hal yang bermanfaat seperti diisyaratkan oleh al-Qur’an Surat al-Asr ayat 1-3:
وَالْعَصْرِۙ ١ اِنَّ الْاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍۙ ٢ اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ ەۙ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ ࣖ ٣
Artinya: “Demi masa, sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling menasihati untuk kebenaran dan kesabaran”. (QS. al-Asr/103: 1-3)
Manusia akan mengalami kerugian jikat tidak benarbenar memanfaatkan secara optimal kesempatan hidupnya, sebab waktu tidak akan terulang.
Dan dalam menjalani waktu pasti ada naik dan turunnya, Karena itu, orang yang beretos kerja tinggi akan selalu mampu mengisi waktunya dengan hal-hal yang lebih penting dan esensial: meningkatkan keimanan, beramal saleh, dan membina komunikasi, sebagaimana gambaran ayat di atas.
Bertanggung Jawab
Etos kerja tinggi yang dimiliki seorang Muslim tidak hanya ditunjukkan dalam hal keseriusannya dalam pekerjaan namun semuanya dilakukan dengan penuh dedikasi dan tanggung jawab.
Seorang Muslim yang beretos kerja harus berani menanggung setiap resiko apa pun atas segala yang diperbuat setelah melalui perhitungan dan pemikiran yang mendalam.
Ia harus berani menghadapi kemungkinan buruk yang akan terjadi.
Ia tidak boleh mencari perlindungan ke atas dan melemparkan kesalahan ke bawah, sebagaimana diisyaratkan oleh al-Qur’an:
لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا ۗ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ۗ
Artinya : “Allah tidak membebani seseorang, kecuali menurut kesanggupannya. Baginya ada sesuatu (pahala) dari (kebajikan) yang diusahakannya dan terhadapnya ada (pula) sesuatu (siksa) atas (kejahatan) yang diperbuatnya” (QS. al-Baqarah: 286).
Pada akhirnya serangkaian pekerjaan yang kita lakukan mensyaratkan keikhlasan Bekerja tidak melulu soal mencari uang dan keuntungan tapi lebih daripada itu.
Adalah kewajiban seorang manusia kepada Allah subhanahu wata'ala untuk bekerja, untuk mencari nafkah, serta untuk menunaikan kewajiban-kewajiban Islam yang lainnya.
Karena itu, agar bernilai ibadah, bekerja harus ikhlas lillahi ta’ala, Sebagaimana dijelaskan dalam hadis Nabi:
Artinya : “Sesungguhnya Allah subhanahu wata'ala tidak akan menerima sebuah amal kecuali yang ikhlas dan semata-mata mengharap wajah Allah subhanahu wata'ala.”
Artinya : “Berapa banyak amal-amal yang kecil menjadi besar karena niatnya (yaitu kadar keikhlasannya). Dan berapa banyak amal-amal yang besar menjadi kecil di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala juga karena kadar keikhlasannya.”
Berbicara masalah keihlasan, ada dua sisi yang keihlasan, Sisi pertama adalah ikhlas merupakan syarat diterimanya sebuah amal.
Sisi kedua bahwa ikhlas merupakan salah satu barometer tinggi rendahnya sebuah amal.
Semakin tinggi kadar keikhlasan, maka semakin tinggi nilainya di sisi Allah subhanahu wata'ala.
Jadi yang dipandang, dinilai, dan dilihat di sisi Allah subhanahu wata'ala adalah kadar dan kualitas keihlasan kita.
Maka dari itu hendaknya kita terus berusaha meningkatkan kualitas kaikhlasan kita.
Bukan hanya sekedar ikhlas menjadi syarat sebuah amal, Tapi lebih dari itu adalah kita harus meningkatkan kadar keikhlasan kita sehingga amal itu menjadi lebih tinggi nilainya di sisi Allah subhanahu wata'ala.
Oleh karena itu keihlasan menduduki posisi kunci dalam setiap pekerjaan kita.
Mari kita selalu berusaha dan berdoa kepada Allah subhanahu wata'ala, semoga kita dipermudah oleh Allah subhanahu wata'ala dalam beribadah, bekerja dan meningkatkan etos kerja kita dengan balutan ikhlas lillahi ta’ala.
Materi Khutbah Jumat 3. Menghafal Alquran Antara Anugrah Illahi Dan Kecerdasan
Setiap nabi yang Allah SWT utus dibekali dengan mukjizat sebagai bukti kebenaran ajaran yang dibawanya.
Secara garis besar ada dua jenis mukjizat; bersifat indrawi material seperti Nabi Nuh alaihis salam membuat kapal, Nabi Ibrahim alaihis salam yang tidak hangus ketika dibakar, tongkat Nabi Musa alaihis salam dan lain-lain. Mukjizat jenis ini berlaku hanya ketika para nabi tersebut masih hidup.
Ketika para nabi tersebut wafat maka selesai sudah mukjizatnya.
Mukjizat jenis kedua adalah aqli yaitu mukjizat yang sifatnya non materi berupa ajaran-ajaran dan mukjizat ini tetap berlaku meskipun rasul yang membawanya telah wafat.
Mukjizat jenis adalah al-Qur’an al-karim, Meskipun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah wafat kemukjizatan al-Qur’an tetap berlaku sepanjang masa.
Di antara bukti kemukjizatan al-Qur’an antara lain; Tidak akan ada yang dapat membuat seperti al-Qur’an, jangankan 114 surah, bahkan satu surah yang pendek tidak akan sanggup.
Bagi siapa saja yang meragukan bahwa al-Qur’an adalah mukjizat dari Allah subhanahu wata'ala diberi kesempatan sejak dulu, untuk membuat satu surah yang semisal al-Qur’an.
Hal ini ditegaskan pada al-Qur’an surah al-Baqarah/2 ayat 23 :
وَاِنْ كُنْتُمْ فِيْ رَيْبٍ مِّمَّا نَزَّلْنَا عَلٰى عَبْدِنَا فَأْتُوْا بِسُوْرَةٍ مِّنْ مِّثْلِهٖ ۖ وَادْعُوْا شُهَدَاۤءَكُمْ مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ
Artinya : "Jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang apa (Al-Qur’an) yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Nabi Muhammad), buatlah satu surah yang semisal dengannya dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar." (QS. Al-Baqarah [2]: 23)
Bahkan bukan hanya manusia termasuk bangsa jin sekalipun ditantang untuk membuat yang semisal al-Qur’an. Mereka pasti tidak akan bisa, hal ini ditegaskan pada al qur’an surah al-Isra’/17 ayat 88 :
قُلْ لَّىِٕنِ اجْتَمَعَتِ الْاِنْسُ وَالْجِنُّ عَلٰٓى اَنْ يَّأْتُوْا بِمِثْلِ هٰذَا الْقُرْاٰنِ لَا يَأْتُوْنَ بِمِثْلِهٖ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيْرًا
Artinya : Katakanlah, “Sungguh, jika manusia dan jin berkumpul untuk mendatangkan yang serupa dengan Al-Qur’an ini, mereka tidak akan dapat mendatangkan yang serupa dengannya, sekalipun mereka membantu satu sama lainnya.” (QS. Al-Isra [17]: 88)
Termasuk bukti kemukjizatan al-Qur’an adalah terjaga otentisitas keasliannya sejak diturunkan sampai hari kiamat.
Berbeda halnya dengan Kitab Suci sebelumnya yang penjagaannya diserahkan kepada para ulama mereka (QS. al-Maidah/5: 44).
Sedangkan al-Qur’an ditegaskan dan dijamin oleh Allah subhanahu wata'ala otentisitasnya seperti tersebut dalam al-Qur’an surat al-Hijr/15 ayat 9 :
اِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَاِنَّا لَهٗ لَحٰفِظُوْنَ
Artinya : “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya.” (QS. Al-Hijr [15]: 9)
Para ulama tafsir secara umum menafsirkan ayat tersebut adalah; Sesungguhnya kamilah yang menurunkan al-Qur’an melalui perantara malaikat jibril dan pasti kami pula bersama malaikat jibril dan kaum mukmin yang selalu memelihara keaslian, kesucian, dan kekekalan-Nya hingga akhir zaman.
Poin yang ingin digarisbawahi adalah penegasan bahwa Kami yang memeliharanya.
Yang dimaknai bahwa dalam pemeliharaan al-Qur’an Allah subhanahu wata'ala melibatkan hamba-Nya yang diantaranya dengan menanamkan semangat untuk mempelajari dan menghafalkannya.
Bukti konkritnya adalah pada setiap masyarakat muslim pasti ada sekelompok orang yang mempelajari dan mengfhafal Al-Qur’an.
Meskipun dengan intensitas yang berbeda-beda, Masalahnya adalah apakah kemampuan menghafal kitab suci al-Qur’an itu suatu anugrah Allah subhanahu wata'ala ataukah kecerdasan manusia semata?
Kecerdasan yang berbeda-beda
Allah subhanahu wata'ala berfirman pada al-Qur’an surah al-Isra’/17 ayat 84 :
قُلْ كُلٌّ يَّعْمَلُ عَلٰى شَاكِلَتِهٖۗ فَرَبُّكُمْ اَعْلَمُ بِمَنْ هُوَ اَهْدٰى سَبِيْلًا ࣖ
Artinya : Katakanlah (Nabi Muhammad), "Setiap orang berbuat sesuai dengan pembawaannya masing-masing." Maka, Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya. (QS. al-Isra’ [17]: 84)
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa setiap orang diberikan oleh Allah subhanahu wata'ala bakat kecerdasan yang bertingkat dan berbeda-beda.
Di antara hikmahnya adalah karena aktifitas pekerjaan manusia yang memang berbeda-beda. Hal ini ditegaskan pada al-Qur’an surah al-Lail/92 ayat 4 :
اِنَّ سَعْيَكُمْ لَشَتّٰىۗ
Artinya : “Sesungguhnya usahamu benar-benar beraneka ragam.” (QS. Al-Lail [92]: 4)
Sekedar contoh seorang yang bekerja sebagai petani tentu tidak membutuhkan kemampuan matematika tingkat tinggi seperti profesi insinyur misalnya.
Demikian juga seorang olah ragawan tidak membutuhkan kemampuan untuk memahami rumus-rumus ilmu kimia yang njlimet.
Dari sinilah dapat dipahami apa yang di era modern disebut sebagai multiple intelegensia (kecerdasan jama’i), meskipun pada level tertentu bisa dikembangkan namun pada level yang tinggi pada akhirnya setiap orang memiliki kecerdasan dan kecenderungan yang berbeda-beda.
Tidak mungkin ada orang yang cerdas dalam segala hal.
Demikian juga dalam menghafal al-Qur’an al-karim; kesempatan menghafal dimiliki oleh setiap orang sebagai anugrah dari Allah subhanahu wata'ala.
Namun bagaimana seseorang kemudian mengaktualisasikan potensi tersebut tentu akan banyak dipengaruhi berbagai faktor.
Kuatnya hafalan seseorang adalah bagian dari anugrah Allah subhanahu wata'ala,
namun apakah anugrah tersebut dimanfaaatkan untuk menghafal al-Qur’an adalah hal yang berbeda.
Yang pasti kuat lemahnya hafalan seseorang ketika itu digunakan untuk berusaha menghafal al-Qur’an dengan niat yang baik dan benar itulah, anugrah yang sebenarnya yang merupakan bentuk hidayah dari Allah subhanahu wata'ala.
Dan bagi yang bersungguh-sungguh untuk mempelajari dan menghafal al-Qur’an, ada jaminan dari Allah subhanahu wata'ala untuk diberikan kemudahan. Hal ini ditegaskan pada al-Qur’an surah al-Qamar/54 yang terulang sebanyak empat kali di ayat 17, 22, 32 dan 40 dengan redaksi yang sama;
وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْاٰنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُّدَّكِرٍ ࣖ
Artinya : “Sungguh, Kami benar-benar telah memudahkan Al-Qur’an sebagai pelajaran. Maka, adakah orang yang mau mengambil pelajaran?” (QS. Al-Qamar [54]: 22)
Dalam menghafal al-Qur’an prinsip utamanya adalah niat yang lurus dan bersungguh-sungguh.
Tentang hasilnya itu menjadi domain Allah subhanahu wata'ala, Karena dengan selalu bersama al-Qur’an karena proses menghafal dan mengulang (muraja’ah/takrir).
Hakikatnya itu sudah sebuah anugrah yang luar biasa, Yang pasti siapa saja yang bersungguh-sungguh Allah subhanahu wata'ala akan memberi petunjuk.
Hal ini diisyaratkan dalam al-Qur’an surah al-‘Ankabut/29 ayat 69 :
وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَاۗ وَاِنَّ اللّٰهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ
Artinya : “Orang-orang yang berusaha dengan sungguh-sungguh untuk (mencari keridaan) Kami benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Sesungguhnya Allah benar-benar bersama orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. al-‘Ankabut [29]: 69)
Materi Khutbah Jumat 4. Pengelolaan Kekayaan Dalam Islam
Hadirin sidang Jum’at rahimakumullah. Di dalam sebuah hadits riwayat Imam Abu Daud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Artinya: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Seseorang yang akan terlepas dari empat pertanyaan pada Hari Kiamat nanti: usia dipergunakan untuk apa, masa muda dihabiskan untuk apa, harta benda yang dimiliki bagaimana cara mendapatkannya dan bagaimana pula caa memanfaatkannya; serta ilmu pengetahuan bagaimana pengamalannya.” (HR. Abu Daud)
Berdasarkan hadits tersebut di atas, bahwa umur, masa muda dan ilmu pengetahuan akan ditanyakan dan dipertanggungjawabkan dengan satu pertanyaan,
"Dipergunakan untuk apa?" Akan tetapi harta akan ditanyakan dua hal yaitu bagaimana mendapatkan dan mengusahannya dan cara memanfaatkan dan menggunakannya.
Ketika kita membicarakan pengelolaan kaya dalam pandangan Islam, maka tekanannya pada dua hal, Cara Mendapatkan dan Cara Memanfaatkan.
Hadirin sidang Jum’ah rahimakumullah.
Sekaligus inilah salah satu ciri khas ekonomi Islam atau ekonomi syariah yaitu berorientasi pada proses disamping orientasi hasil.
Berbeda dengan sistem ekonomi konvensional yang hanya berorientasi hasil dan mengabaikan proses.
Ada satu kaidah dalam ekonomi konvensional: ”Dengan modal sekecil-kecilnya ingin mendapatkan hasil yang sebesar besarnya”.
Hadirin sidang Jum’ah rahimakumullah.
Pertama, dalam mengusahakan dan mendapatkan kekayaan Islam mengajarkan cara-cara yang bersih, halal, tidak merusak, dan memperhatikan kemaslahatan dan kepentingan bersama.
Dilarang mendapatkan harta melalui cara-cara yang bathil seperti korupsi, mencuri, menggasab, menipu dan perbuatan merugikan lainnya, termasuk menimbun mempermainkan takaran dan timbangan.
Allah subhanahu wata'ala berfirman dalam QS. al-Baqarah [2] ayat 188, QS. anNisaa [4] ayat 29, dan QS. al-Muthaffin [83] ayat 1 - 4 :
وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ ࣖ ١٨٨
Artinya : “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui” (QS. al-Baqarah [2]: 188).
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِّنْكُمْ ۗ وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا ٢٩
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu” (QS. an-Nisa’ [4]: 29).
وَيْلٌ لِّلْمُطَفِّفِيْنَۙ ١ الَّذِيْنَ اِذَا اكْتَالُوْا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُوْنَۖ ٢ وَاِذَا كَالُوْهُمْ اَوْ وَّزَنُوْهُمْ يُخْسِرُوْنَۗ ٣ اَلَا يَظُنُّ اُولٰۤىِٕكَ اَنَّهُمْ مَّبْعُوْثُوْنَۙ ٤
Artinya : “Celakalah orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang)! (1) (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi; (2) (Sebaliknya,) apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka kurangi; (3) Tidakkah mereka mengira (bahwa) sesungguhnya mereka akan dibangkitkan (4)” (QS. al-Mutaffifin [83]: 1 - 4).
Demikian pula larangan kegiatan meribakan uang yang sangat membahayakan sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Baqarah [2] ayat 278-279 dan QS. An-Nisaa [4] ayat 29.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَذَرُوْا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبٰوٓا اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ ٢٧٨ فَاِنْ لَّمْ تَفْعَلُوْا فَأْذَنُوْا بِحَرْبٍ مِّنَ اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖۚ وَاِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوْسُ اَمْوَالِكُمْۚ لَا تَظْلِمُوْنَ وَلَا تُظْلَمُوْنَ ٢٧٩
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman (278) Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya (279)” (QS. al-Baqarah [2]: 278 - 279).
Tujuan utama aturan tersebut agar harta betul-betul dimanfaatkan sebagai sarana ibadah kepada Allah subhanahu wata'ala dan sarana penguatan kemaslahatan hidup, agar terjadi kebaikan dan menipisnya kesenjangan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya.
Hadirin sidang Jum’ah rahimakumullah.
Kedua, pendayagunaaan dan pemanfaatan harta, disamping untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan hidup pribadi dan keluarga secara wajar dan tidak berlebih-lebihan,
dikeluarkan juga zakat infak shadaqahnya dan juga wakafnya agar harta tersebut bertambah keberkahannnya dan berkembang penuh dengan kebaikan dunia dan akhirat. Firman-Nya dalam Al-Quran Surat al-Baqarah [2] ayat 277:
اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَاَقَامُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتَوُا الزَّكٰوةَ لَهُمْ اَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْۚ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati” (QS. al-Baqarah [2]: 277).
Mudah-mudahan kehidupan kita semakin berkah dan semakin dimudahkan urusannya oleh Allah subhanahu wata'ala. Amin ya Rabbal Alamin.
Baca juga: Tata Cara dan Bacaan Niat Sholat Jumat Sebagai Makmum, Lengkap Mudah Dipahami
Baca artikel dan berita lainnya langsung dari google news
Khutbah Jumat Lengkap 2023
Naskah Khutbah Jumat 2023
Naskah Untuk Khutbah Jumat
Kumpulan Khutbah Jumat
Bacaan Doa Pembuka Hati, Lengkap Tulisan Arab, Latin dan Terjemahannya |
![]() |
---|
Arti Rabbana La Tuzigh Qulubana, Berikut Kumpulan Doa Menguatkan Iman dari Alquran dan Hadits |
![]() |
---|
Materi Khutbah Jumat Tentang Hari Kemerdekaan Edisi 1 Agustus 2025, Penuh Semangat dan Bermakna |
![]() |
---|
Bacaan Doa Perjalanan Jauh, Tulisan Arab, Latin dan Artinya, Amalan Sebelum Berpergian |
![]() |
---|
Hukum Ridha dan Sabar terhadap Ketentuan Allah, Berikut Macam-macam Takdir yang Diberikan Allah |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.