Berita Nasional

3 Hal yang Meringankan Tuntutan Arif Rahman Terdakwa obstruction of justice Kasus Brigadir J

3 Hal yang Meringankan Tuntutan Arif Rahman Terdakwa obstruction of justice Kasus Brigadir J

Kompas TV
Arif Rahman Arifin mantan Kepala Detasemen (Kaden) B Biro Paminal Propam Polri dituntut hukuam 1 tahun penjara dalam perkara dalam perkara obstruction of justice atau perintangan penanganan kasus pembunuhan berencana Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J, Jumat (27/1/2023). 

TRIBUNSUMSEL.COM - Arif Rahman Arifin, salah satu terdakwa dalam perkara obstruction of justice atau perintangan penanganan kasus pembunuhan berencana Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J dituntut hukuman 1 tahun penjara, Jumat (27/1/2023).

Dalam persidangan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) memaparkan ada 3 hal yang meringankan perbuatan mantan Kepala Detasemen (Kaden) B Biro Paminal Propam Polri tersebut.

Diketahui, selain dituntut 1 tahun penjara, Arif Rahman juga dituntut membayar denda
Rp 10 juta subsider 3 bulan kurungan.

Baca juga: Kronologi Mahasiswa UI Tewas Ditabrak Mobil Pensiunan Polisi, Hasya Atallah Justru Jadi Tersangka

"Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya, terdakwa menyesali perbuatannya," ucap jaksa di ruangan PN Jakarta Selatan, Jakarta, Jumat (27/1/2023).

Selain itu, usia Arif yang masih muda juga masuk ke dalam pertimbangan hal yang meringankan yang disampaikan jaksa.

"Terdakwa masih muda dan diharapkan dapat memperbaiki dirinya," ucap jaksa.
Sementara itu, ada sejumlah hal yang memberatkan perbuatan Arif.

Pertama, Arif memerintahkan rekannya Baiquni Wibowo yang saat itu menjabat mantan PS Kasubag Riksa Baggak Etika Biro Wabprof Divisi Propam Polri menghapus rekaman Yosua saat masih hidup dan berjalan masuk ke rumah dinas Mantan Kadiv Propam Ferdy Sambo.

Selanjutnya, ia mematahkan laptop yang ada salinan rekaman kejadian tindak pidana sehingga tidak bisa bekerja atau berfungsi lagi.

Kemudian, Arif juga tidak memberikan barang bukti elektronik itu kepada penyidik Polri.

"Terdakwa tahu betul bukti sistem elektronik yang ada kaitannya terbunuhnya korban Yosua tersebut sangat berguna untuk mengungkap tabir tindak pidana yang terjadi yang seharusnya terdakwa melakukan tindakan mengamankannya untuk diserahkan kepada yang punya kewenangan yaitu penyidik," jelasnya.

Selain itu, Arif juga melanggar prosedur saat melakukan pengamanan bukti sistem elektronik itu.

Sebab, tindakannya tidak didukung surat perintah yang sah.

Arif pun dinilai terbukti melakukan perintangaan penyidikan kasus pembunuhan berencana Brigadir J, berupa perusakan alat bukti elektronik.

Arif dinilai melanggar Pasal 49 jo Pasal 33 Undang-Undang No 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Menyesal Punya Atasan Seperti Ferdy Sambo

Arif Rachman Arifin terdakwa obstruction of justice atau perintangan penyidikan kematian Brigadir J mengungkapkan penyesalannya karena terlalu percaya kepada seorang Ferdy Sambo.

Kepercayaan itu nyatanya telah membuat Arif Rachman Arifin sejumlah rekannya di kepolisian harus dipecat bahkan berurusan dengan hukum.

Baca juga: Sewa Pengacara, Jhon LBF Tuntut Mantan Karyawan SDP Minta Maaf Usai Memfitnah : Tangan Saya Terbuka

Arif Rahman mengaku menyesal punya atasan seperti Ferdy Sambo yang dinilainya tega mengorbankan bawahan
Arif Rahman mengaku menyesal punya atasan seperti Ferdy Sambo yang dinilainya tega mengorbankan bawahan (Istimewa)

Persoalan ini bermula dari upaya Ferdy Sambo dalam menutupi kasus kematian Brigadir J.

"Saya menyesal terlalu percaya dan loyal kepada pimpinan saya," kata Arif dalam sidang pemeriksaan dirinya sebagai terdakwa.

Dia terlalu berpikir positif terkait perintah atasannya Ferdy Sambo.

Oleh sebab itu, kata Arif, pelajaran pun diambilnya agar tidak terlalu percaya lagi.

"Setelah pengalaman ini, negatif thinking itu perlu juga ditanamkan setelah yang saya alami periode Juli sampai hari ini," kata Arif.

Kepatuhan terhadap atasan diungkapkan Arif merupakan hasil dari pendidikan kepolisian yang diperolehnya.

Terlebih orang tuanya juga merupakan polisi.

Selama pendidikan, disebutkan Arif bahwa dia didoktrin agar percaya begitu saja kepada pimpinan.

"Dikatakan, pimpinan itu adalah orang tua kamu. Jadi yakin apa yang diperintahkan pimpinan itu mengandung hal baik kepada kamu sebagai bawahan," katanya.

Dia pun berandai-andai jika diberi kesempatan kembali ke kepolisian, maka dia akan mengubah prinsip terlalu loyal tersebut.

"Harus berani berkata dan menolak perintah atasan. Tidak boleh terlalu loyal kepada pimpinan," ujarnya.

Selain itu, Arif juga mengungkapkan penyesalannya memiliki atasan seperti Ferdy Sambo.

Sebab menurutnya, Ferdy Sambo bukanlah sosok yang melindungi anak buahnya dalam kasus dugaan pembunuhan berencana Brigadir J.

Sebaliknya, mantan Kadiv Propam Polri itu disebut Arif justru mengorbankan anak buahnya.

"Menyesal itu saja, kenapa kok bisa punya orang di atas saya yang harusnya menjaga, kemudian tidak menjaga anak buahnya," ujar Arif dalam sidang agenda pemeriksaan dirinya sebagai terdakwa obstrustion of justice kasus kematian Brigadir J pada Jumat (13/1/2023).

Dia kemudian menyampaikan bahwa seorang pimpinan semestinya bertanggung jawab dan tak mengorbankan anak buahnya.

"Prinsip saya kalau jadi pimpinan, saya harus tanggung jawab kepada bawahan saya. Tidak akan mau mengorbankan anak buah," katanya.

Kasus obstruction of justice

Sebagai informasi, dalam kasus obstruction of justice atau perintangan penyidikan kasus kematian Brigadir J, Arif Rachman telah ditetapkan sebagai terdakwa.

Dirinya menjadi terdakwa bersama enam orang lain yaitu Ferdy Sambo, Hendra Kurniawan, Agus Nurpatria, Chuck Putranto, Irfan Widianto, dan Baiquni Wibowo.

Dalam perkara ini, Arif sempat menyampaikan adanya perintah dari Ferdy Sambo untuk memusnahkan barang bukti berupa CCTV.

Saat dia dan Eks Karo Paminal, Hendra Kurniawan menghadap Ferdy Sambo di ruangannya pada Rabu (13/7/2022).

Di ruangan itu, Arif menjelaskan kepada Sambo bahwa dia telah menyaksikan rekaman CCTV bersama tiga rekannya pada dini hari itu.

Rekaman CCTV itu menampilkan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J masih hidup sebelum Ferdy Sambo tiba di rumah.

Hal tersebut pun dinilai Arif tidak sinkron dengan rilis resmi yang dikeluarkan Polres Metro Jakarta Selatan.

"Di dalam rilis Kapolres Selatan, begitu Ferdy Sambo sampai, tembak-menembak sudah selesai," ujar Arif di dalam persidangan pada Senin (28/11/2022).

Saat itu, Arif menceritakan bahwa Sambo tak langsung memberikan respon.

"Beliau (Ferdy Sambo) cuma terdiam," kata Arif saat memberikan keterangan di dalam persidangan pada Senin (28/11/2022).

Beberapa saat kemudian, raut wajah Sambo berubah agak marah. Dia pun meyakinkan Arif bahwa hal yang dilihatnya di CCTV tidak benar.

"Enggak benar itu. Sudah kamu percaya saya saja," kata Arif menirukan ucapan Sambo waktu itu.

Sambo pun melanjutkan dengan bertanya siapa saja yang telah melihat rekaman CCTV tersebut.

Kemudian Arif menjawab ada empat orang, yaitu dirinya, Chuck Putranto, Baiquni Wibowo, dan Ridwan Soplanit.

Dijelaskan pula kepada Sambo bahwa file rekaman itu disimpan dalam flashdisk yang menempel di laptop miliknya.

Sambo pun menimpali dengan ultimatum kepada empat orang tersebut.

"Berarti kalau sampai bocor, kalian berempatlah yang bocorin," ujar Arif menirukan ucapan Sambo.

Peringatan itu kemudian diikuti dengan perintah Sambo kepada Arif untuk menghancurkan barang bukti yang menyimpan rekaman CCTV itu.

"Kamu musnahkan itu." kata Ferdy Sambo.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com

Baca artikel menarik lainnya di Google News

Sumber: Kompas
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved