Berita Nasional
Bharada E Dianggap Cuma Alat, Jubir RKUHP : Orang yang Disuruh Tak Bisa Dimintai Pertanggungjawaban
Bharada E Dianggap Cuma Alat, Jubir RKUHP : Orang yang Disuruh Tak Bisa Dimintai Pertanggungjawaban
TRIBUNSUMSEL.COM - Ahli hukum pidana yang sekaligus juru bicara (jubir) RKUHP, Albert Aries dihadirkan sebagai saksi dalam sidang lanjutan kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J dengan terdakwa Richard Eliezer Pudihang Lumiu alias Bharada E, Rabu (28/12/2022).
Dalam persidangan, Albert mengatakan, orang yang melakukan tindak pidana atas perintah atasan hanya merupakan alat dan tidak bisa dimintai pertanggungjawaban.
Baca juga: Pekerjaan Dona Wanita Batal Nikah H-1 Marah Uang Kurang Rp 700 Ribu, Sekdes Minta Segera Klarifikasi
Pernyataan ini dinilai kubu Bharada E membawa angin segar.
Awalnya, tim kuasa hukum Bharada E bertanya kepada Albert mengenai perintah melakukan suatu tindak pidana apakah bisa dikategorikan sebagai orang yang menyuruh melakukan.
Albert menjawab jika orang yang disuruh dalam konteks ini Bharada E tidak bisa dimintai pertanggungjawaban.
"Kalau kita melihat dari kapasitas, dari penyertaan tadi maka yang paling relevan menyuruh lakukan. Karena menyuruh tadi bisa berupa perintah atau instruksi yang dilakukan oleh orang yang tidak sesungguhnya tidak bisa diminta pertanggung jawaban," kata Albert di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (28/12/2022).
Albert menegaskan jika orang yang berada di bawah perintah melakukan tindak pidana hanya merupakan alat.
Artinya, Bharada E yang memang diperintah oleh Ferdy Sambo hingga Brigadir J tewas hanya merupakan alat melakukan tindak pidana.
Baca juga: Istri Bongkar Tabiat Suami Selingkuh dengan Mertua Diduga Sebelum Menikah, Kerap Dipergoki Warga
"Orang yang disuruh melakukan tadi tidak bisa pertanggung jawabkan hanya karena merupakan alat," jelas Albert.
Selanjutnya, tim kuasa hukum Bharada E kemudian mempertanyakan bagaimana kedudukan seorang bawahan dalam sebuah kasus pidana jika diperintah melakukan suatu penembakkan.
Albert mengatakan bawahan tersebut sejatinya tidak melakukan sebuah kesalahan.
"Dalam Pasal 55 kaitannya dengan penyertaan dan pertanggungjawaban pidana orang yang disuruh lakukan itu sesungguhnya tidak memiliki kesalahan, tidak memiliki kesengajaan, tidak memiliki kehendak untuk melakukan suatu perbuatan pidana," terang Albert.
Diketahui, Nofriansyah Yoshua Hutabarat alias Brigadir Yoshua menjadi korban pembunuhan berencana yang diotaki Ferdy Sambo pada 8 Juli 2022 lalu.
Brigadir Yoshua tewas setelah dieksekusi di rumah dinas Ferdy Sambo, Duren Tiga, Jakarta Selatan.
Pembunuhan itu terjadi diyakini setelah Putri Candrawathi bercerita kepada Ferdy Sambo karena terjadi pelecehan seksual di Magelang.
Ferdy Sambo saat itu merasa marah dan menyusun strategi untuk menghabisi nyawa dari Yoshua.
Dalam perkara ini Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Bripka Ricky Rizal alias Bripka RR, Kuwat Maruf dan Bharada Richard Eliezer alias Bharada didakwa melakukan pembunuhan berencana.
Kelima terdakwa didakwa melanggar pasal 340 subsidair Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke (1) KUHP dengan ancaman maksimal hukuman mati.
Baca juga: Alasan Presiden Jokowi Pilih Laksamana Madya TNI Muhammad Ali jadi KSAL, Ungkap Soal Rekam Jejak
Tak hanya dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir J, khusus untuk Ferdy Sambo juga turut dijerat dalam kasus perintangan penyidikan atau obstruction of justice bersama Hendra Kurniawan, Agus Nurpatria, Chuck Putranto, Irfan Widianto, Arif Rahman Arifin, dan Baiquni Wibowo.
Para terdakwa disebut merusak atau menghilangkan barang bukti termasuk rekaman CCTV Komplek Polri, Duren Tiga.
Dalam dugaan kasus obstruction of justice tersebut mereka didakwa melanggar Pasal 49 juncto Pasal 33 subsidair Pasal 48 ayat (1) juncto Pasal 32 ayat (1) UU ITE Nomor 19 Tahun 2016 dan/atau dakwaan kedua pasal 233 KUHP subsidair Pasal 221 ayat (1) ke 2 KUHP juncto pasal 55 ayat 1 ke (1) KUHP.
Artikel ini telah tayang di Tribunnews
Baca artikel menarik lainnya di Google News