Liputan Khusus Tribun Sumsel
Budaya Khas Dilupakan, Suku Anak Dalam Fokus Memikirkan Bertahan Hidup 2
Ketua kelompok Suku Anak Dalam (SAD) Desa Sungai Jernih, Japarin menyebutkan ada banyak budaya khas mereka yang turun temurun dari nenek moyangnya.
Penulis: Rahmat Aizullah | Editor: Vanda Rosetiati
TRIBUNSUMSEL.COM, MURATARA - Ketua kelompok Suku Anak Dalam (SAD) Desa Sungai Jernih, Japarin menyebutkan ada banyak budaya khas mereka yang turun temurun dari nenek moyangnya.
Namun budaya-budaya itu tak sempat dilestarikan karena mereka lebih fokus memikirkan bagaimana bisa bertahan hidup.
"Kami ini sudah keturunan keberapa, mungkin budaya-budaya nenek moyang kami dulu sudah banyak yang lupa. Kami sekarang lebih memikirkan bagaimana keluarga kami bisa makan," katanya.
Ketua adat SAD di Desa Sungai Jernih, Japarin berharap di tahun 2023 mendatang mereka bisa hidup dengan laik, memiliki kecukupan untuk kebutuhan sehari-hari, serta tempat tinggal yang nyaman untuk berteduh dari terik dan berlindung dari guyuran hujan.
"Harapan kami cuma minta dua, tempat tinggal dan penghidupan. Kalau dua itu terpenuhi maka sudah sejahtera kami. Sekarang masih banyak yang belum ada tempat tinggal, mata pencaharian susah," katanya.
Baca juga: LIPSUS: Suku Anak Dalam Punya Android dan Mobil, Orang Rimba Menuju Modernisasi 1
Japarin mengungkapkan, beberapa di antara warga SAD saat ini memang sudah ada yang memiliki rumah. Pemerintah daerah juga telah ada memberikan bantuan pembangunan rumah. Namun masih banyak pula yang tinggal di rumah papan kecil dan lapuk.
"Kami masih cari makan dari memungut brondolan, numpang-numpang di kebun perusahaan, tidak ada pekerjaan lain. Sebenarnya tidak boleh, tapi mau bagaimana lagi, kami mau makan, dikasih oleh perusahaan. Brondolannya kami jual ke pengepul, ada orang ambil," ujarnya.
Japarin menambahkan, warga SAD sebenarnya bisa sejahtera bila diberikan bantuan lahan perkebunan kelapa sawit paling tidak satu hektare per kepala keluarga (KK).
Dari situ mereka bisa menikmati hasil panennya, tidak lagi memungut brondolan di kebun perusahaan.
"Kami itu cuma minta satu hektare saja lah untuk satu KK, tapi harus sudah ada kebun sawitnya, kalau dikasih lahan kosong terus menanam sendiri, kami tidak ngerti, kalau sudah ada kebunnya kami bisa panen sendiri, makan sehari-hari dari situ, itu baru sejahtera kami," katanya.
Sejak Muratara pemekaran menjadi kabupaten sendiri, SAD mendapat perhatian dan diberikan hak-haknya sebagai warga negara, termasuk hak untuk memilih pemimpin melalui pesta demokrasi.
"Kalau dulu memang mereka tidak tahu yang namanya Pemilu, mereka kan di hutan. Kalau sekarang mereka sudah tahu (dengan Pemilu), mereka sudah memilih, sudah ada KTP," kata tokoh pemuda pemerhati Suku Anak Dalam, Supandri.
Dia mengatakan, SAD di Kabupaten Muratara hidup berkelompok menyebar di beberapa desa. Suku ini terkenal dengan kekompakannya, karena mereka patuh pada arahan kepala suku atau ketua adat.
"Mereka memang kompak, mereka mendengarkan apa kata ketua adat mereka. Mungkin termasuk urusan Pemilu, mereka tetap kompak," katanya. (cr14)
Baca berita lainnya langsung dari google news