Memilih Damai
1 dari 7 Presiden Indonesia Non Jawa, Profesor Arifin : Buka Soal SARA Hanya Bercerita Soal Fakta
Kata dia, sudah 76 tahun Indonesia Merdeka dan sudah 7 Presiden yang memimpin negara tercinta ini satu diantaranya berasal dari non jawa.
TRIBUNSUMSEL.COM,MEDAN - Perbincangan seputar Presiden Jawa dan Non Jawa menjadi topik yang hangat dibicarakan.
Tak dipungkiri, kata Wakil Rektor I UMSU Prof. Dr. Muhammad Arifin, S.H., M.Hum mengatakan bahwa topik pembahasan seputar presiden Jawa vs Non-jawa sangat update untuk dibicarakan.
"Topik ini memang saat ini masih sangat update untuk diperbincangkan," ujarnya mengawali sambutannya dalam Memilih Damai, talk show series di Kota Medan membahas Presiden Ke-8, Haruskah Kembali Perdebatan Jawa vs Non-Jawa.
Kata dia, sudah 76 tahun Indonesia Merdeka dan sudah 7 Presiden yang memimpin negara tercinta ini.
"Sudah 76 tahun kita merdeka, sudah 7 presiden. Namun baru satu presiden kita yang bukan orang kita Jawa, itu pun masih ada keturunan Jawanya, bapak BJ Habibie. Namun, kita bukan bermaksud untuk membicarakan secara SARA ya, kita hanya bercerita soal faktanya," ujar M. Arifin di Aula Gedung Rektor UMSU, Rabu (30/11/2022).
Baca juga: Ini Pandangan Pengamat Politik Shohibul Anshor, Presiden Indonesia ke-8 Jawa Atau Non Jawa
Ia menuturkan secara konstitusional, tidak pernah disebutkan untuk berfokus pada suatu suku atau suatu agama untuk bisa menjadi seorang presiden.
"Hanya saja semasa kita berada di bawah konstitusi sebelum amandemen, seingat saya itu memang ada satu frase mengatakan, presiden adalah orang Indonesia Asli. Kategori asli ini yang menjadi pertanyaan juga. Asli yang bagaimana ceritanya?. Kalau saya melihat, hal ini tidak terlepas dari politik pemerintah Hindia Belanda dulu, yang membagi golongan penduduk Indonesia ini menjadi 3, ada golongan Eropa, golongan Timur Asing atau Tionghoa, dan Bumi Putra. Nah, saya pikir penduduk aslinya ini diambil dari bumi putranya itu. Kita tidak ingin bangsa kita ini dipimpin oleh orang yang tidak memahami Indonesia," paparnya.
Namun, kisah di atas otomatis tak berlaku setelah konstitusi sudah diamandemen.
Jelang Pemilu 2024, relevansi kuat yang dibahas adalah terkait politik identitas.
"Berdasarkan apa yang disampaikan oleh Francis Fukuyama, bahwa nasionalisme dan agama akan tetap dibutuhkan untuk menjadi basis identitas. Jadi nasionalisme, kalau kita kembali ke pasal 6 itulah nasionalisme, Indonesia asli tadi. Jadi ada benang merah antara pernyataannya dengan apa yang tertuang di dalam konstitusi kita dulu. Kenapa kita melupakan sejarah tersebut, aneh sebenarnya," pungkasnya.
Selain Dekan FISIP Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Arifin Saleh Siregar, narasumber lainnya yang hadir yakni Dosen Universitas Indonesia Panji Anugrah Permana, Pengamat Sosial Politik dan Direktur Pengembangan Basis Sosial Inisiatif dan Swadaya (nBasis) Shohibul Anshor Siregar, serta Founder Lingkar Madani Ray Rangkuti.
Baca berita lainnya langsung dari google news