Berita Palembang

Tangis Ibu Santri Dianiaya Senior di Ponpes Izzatuna Palembang: Saya Mohon Keadilan

Orang tua santri dianiaya senior di Ponpes Ma'had Izzatuna Kabupaten Banyuasin mendatangi Polda Sumsel memastikan kelanjutan laporan dibuat.

TRIBUN SUMSEL/SHINTA DWI ANGGRAINI
Orang tua santri dianiaya senior di Ponpes Ma'had Izzatuna Kabupaten Banyuasin mendatangi Polda Sumsel memastikan kelanjutan laporan dibuat, Jumat (29/10/2022). 

TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG - Orang tua santri yang diduga korban penganiayaan senior di Pondok Pesantren (Ponpes) Ma'had Izzatuna Kabupaten Banyuasin mendatangi Polda Sumsel guna memastikan kelanjutan laporan polisi yang sudah dibuat, Jumat (28/10/2022).

Ermawangi (49) ibu kandung korban yang juga seorang Bhayangkari tak kuasa menahan tangis saat mengungkapkan harapan agar kasus penganiayaan yang dialami anaknya bisa diusut tuntas.

"Saya sebagai ibu Bhayangkari mohon sekali kepada bapak Kapolri, bapak Kapolda Sumsel dan bapak Kapolresta Banyuasin kiranya untuk terus membantu kami. Bantu agar anak kami memperoleh keadilan pak," ujarnya, Sabtu (29/10/2022).

Meski korban telah keluar dari rumah sakit pasca seminggu mendapat perawatan, namun rasa trauma masih dialami oleh bocah setara kelas 1 SMP tersebut.

Ermawangi kembali tak kuasa menahan tangis setiap kali mengingat cerita anaknya ketika mengalami tindak penganiayaan.

Apalagi pelaku penganiayaan itu adalah siswa yang setara duduk di bangku kelas 3 SMA.

"Saya tidak pernah mengajarkan anak untuk berbohong, itu yang saya tanamkan sejak dia kecil. Saya juga tekankan, cerita yang jujur semuanya, apa yang sudah dia alami. Dan
anak saya bilang dia dicekik sampai tidak bisa bernapas, lalu dia bangkit lagi terus ditonjok perutnya di depan ulu hati sampai susah lagi bernapas.
Perlakuan itu sangat tidak saya terima," ucapnya dengan berurai air mata.

"Anak saya juga cerita pernah dipukul pakai hanger (gantungan baju) sama sih terlapor itu," tambahnya.

Tak hanya kecewa atas tindakan terlapor yang diketahui adalah remaja berinisial NA, Ermawangi juga mengaku sangat tidak terima dengan sikap Ponpes Izzatuna.

Menurutnya, Ponpes Izzatuna tidak bertanggung jawab bahkan terkesan menutupi kejadian tersebut.

"Saya ingin pihak ponpes membuka kasus ini sejelas-jelasnya dan semestinya bersikap tegas serta menaruh perhatian. Anak saya mengalami trauma psikis. Sampai sekarang tidak mau sekolah, dia takut, trauma, itu yang sangat saya khawatirkan," ujarnya.

Terpisah, Ryan Gumay SH, CHRM, CTL, perwakilan kuasa hukum keluarga korban, menyorot soal pengakuan ponpes perihal kejadian yang dialami korban.

Dimana Ponpes Izzatuna menyebut kejadian sebenarnya bukan penganiayaan melainkan terlapor yakni NA hanya mencengkram kerah baju korban.

"Dari Ponpes maupun orang tuanya bilang kejadian itu hanya memegang kerah. Ini yang perlu kami luruskan. Dalam perawatan di RS Bhayangkara, berdasarkan keterangan orang tua korban didapat beberapa bukti (luka). Salah satunya dibagian bokong. Ada juga pengakuan korban soal lambungnya dipukul, kemudian dicekik dan lain sebagainya," ujar dia.

Lanjut dikatakan, keluarga korban beserta perwakilan Ponpes Izzatuna pernah menjenguk korban saat masih menjalani perawatan di RS Bhayangkara Moh Hasan Palembang.

Dalam pertemuan itu orang tua korban sempat ditawari kesepakatan damai agar tidak membawa persoalan ini ke jalur hukum.

"Ternyata dalam upaya damai itu ternyata ada draft yang disusulkan. Dalam draft perdamaian itu ada yang tidak kami sepakat beberapa hal. Sehingga tidak terealisasi secara kongkret mengingat adanya Kalusul Pasal yang tidak sejalan dengan harapan
penyelesaian perkara ini ke depan," ujarnya.

Tidak hanya membawa permasalahan ini ke jalur hukum, kuasa hukum dan keluarga korban juga bakal mengadu ke DPRD Banyuasin.

Langkah ini dirasa perlu untuk dilakukan mengingat keluarga korban sangat berharap adanya pertanggungjawaban dari Ponpes Izzatuna sebagai lembaga penyedia pendidikan.

"Dan akan kami lihat seperti apa bentuk pertanggungjawaban dari ponpes maupun keluarga terlapor. Karena sampai saat ini korban meski sudah keluar dari RS, namun masih mengalami trauma secara psikis. Nanti akan kami buktikan melalui resume dari dokter. Sebab korban juga disarankan melakukan fisioterapi ke depan. Mengingat kondisinya yang sampai saat ini masih trauma, bahkan tidak mau sekolah," ujarnya.

Bantah Menganiaya

Sebelumnya, santri Ponpes Izzatuna Banyuasin MFT (12)  santri kelas 1 SMP di Pondok Pesantren (Ponpes) Ma'had Izzatuna Kabupaten Banyuasin mengaku dianiaya oleh santri pindahan berinisial NA yang setara duduk di bangku kelas 3 SMA.

M Novel Sua, kuasa hukum NA santri senior terduga pelaku penganiayaan membantah kliennya NA (17) menjadi terduga pelaku penganiayaan dan memukul MFT (12).

Menurut Novel Sua, kliennya tidak melakukan penganiayaan seperti yang dikatakan ibu korban.

Memang, tidak menampik bila ada sempat ada keributan di dalam asrama antara kliennya NA dengan korban MFT.

"Kejadian itu, terjadi pada tanggal 7 Agustus 2022. Seiring waktu, keributan yang ada sudah diselesaikan menurut keterangan keduanya. Kenapa kejadian tanggal 7 Agustus, baru dimediakan di Oktober dan Hari Santri," katanya ditemui di Ponpes Izzatuna, Senin (24/10/2022).

Update santri pondok pesantren (Ponpes) Izzatuna Banyuasin dianiaya senior, terduga pelaku membantah melakukan pemukulan disampaikan kuasa hukum M Novel Sua, Senin (24/10/2022).
Update santri pondok pesantren (Ponpes) Izzatuna Banyuasin dianiaya senior, terduga pelaku membantah melakukan pemukulan disampaikan kuasa hukum M Novel Sua, Senin (24/10/2022). (TRIBUN SUMSEL/M ARDIANSYAH)

Lanjut Novel Sua, dengan kejadian ini pihaknya menegaskan apakah memang penyebab korban itu sakit karena kejadian pada tanggal 7 Agustus.

Hal ini, dianggap kurang tepat lantaran rentang waktu yang cukup lama dari tanggal kejadian dan dihebohkan di bulan Oktober.

Novel Sua juga mempertanyakan, apakah kondisi korban yang berada di rumah sudah di visum, adakah luka-luka yang ada pada korban karena kejadian pada tanggal 7 Agustus lalu.

"Kami juga mempertanyakan, sakit apa korban ini. Apa karena tanggal 7 Agustus lalu, apakah ada penyakit lain. Karena, dari klien kami itu hanya memegang kerah baju. Tidak ada pemukulan sama sekali, kalau memang ada pemukulan mungkin tanggal 9 atau 10 korban sudah melapor ke orangtuanya," tegas Novel.

Novel juga menegaskan, kenapa pada tanggal 7 Agustus itu tidak meminta pulang.

Tetapi, baru minta pulang bulan Oktober yang bertepatan dengan hari santri.

Setelah pulang, baru banyak alasan tidak bisa makan dan lain sebagainya.

Maka dari itu, pihaknya agar di cek ke dokter agar bisa diketahui secara pasti sakit si korban dan harus terbuka, apakah memang ada kaitannya dengan tangg 7 Agustus lalu atau bukan.

"Kami sudah datang ke rumah sakit Bhayangkara, ibu korban minta pindahkan anaknya dengan biaya klien kami yang menanggung senilai Rp 22 juta. Sebetulnya, sudah ada mediasi di rumah sakit," ungkap Novel.

Dari pihak kliennya, menurut Novel akan melihat perkembangan dalam dugaan kasus penganiayaan ini. Karena, sejauh ini dari

Baca berita lainnya langsung dari google news

 

 

 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved