Berita Nasional
Kontroversi Hukuman Edhy Prabowo Dipotong jadi 5 Tahun, ICW : Alasan Benar-benar Absurd
Dalam putusannya, Hakim menyebut Edhy Prabowo memberikan harapan bagi nelayan untuk memanfaatkan benih lobster sebagai sumber ekonomi bagi masyarakat,
TRIBUNSUMSEL.COM - Hukuman Edhy Prabowo dipotong 4 tahun jadi sorotan.
Sebelumnya Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan divonis 9 tahun penjara dalam kasus suap izin budidaya lobster dan izin ekspor benih lobster (BBL) di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Setelah mengajukan banding di tingkat kasasi, hukumannya disunat menjadi 5 tahun penjara.
Hakim menilai, Edhy Prabowo telah bekerja dengan baik sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan.
Dalam putusannya, Hakim menyebut Edhy Prabowo memberikan harapan bagi nelayan untuk memanfaatkan benih lobster sebagai sumber ekonomi bagi masyarakat, khususnya nelayan.
Namun, hakim di tingkat banding tidak mempertimbangkan keadaan yang meringankan Edhy Prabowo itu.
Putusan kasasi tersebut dibacakan pada Senin (7/3/2022).
Susunan hakimnya antara lain Sofyan Sitompul, Gazalba Saleh, dan Sinintha Yuliansih Sibarani.
Sejumlah kritik berdatangan terkait alasan pengurangan hukuman Eddy Prabowo.
Lantas, pengurangan hukuman tersebut menjadi sorotan bagi banyak pihak, termasuk Indonesia Corruption Watch (ICW) dan pengamat.
ICW Menilai Alasan Hakim Absurd
Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai alasan Mahkamah Agung (MA) mengkorting hukuman Edhy Prabowo karena baik saat jadi Menteri Kelautan dan Perikanan sebagai absurditas.
Menurut Peneliti ICW Kurnia Ramadhana, jika Edhy Prabowo berbuat baik, maka tidak bakal ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"ICW melihat hal meringankan yang dijadikan alasan Mahkamah Agung untuk mengurangi hukuman Edhy Prabowo benar-benar absurd. Sebab, jika ia sudah baik bekerja dan telah memberi harapan kepada masyarakat tentu Edhy tidak diproses hukum oleh KPK," kata Kurnia dalam keterangan yang diterima Tribunnews, Rabu (9/3/2022).
Kurnia mengingatkan, Edhy Prabowo adalah seorang pelaku tindak pidana korupsi.
Edhy Prabowo memanfaatkan jabatannya untuk meraup keuntungan secara melawan hukum.
Maka dari itu, dia ditangkap dan divonis dengan sejumlah pemidanaan, mulai dari penjara, denda, uang pengganti, dan pencabutan hak politik.
"Lagi pun, majelis hakim seolah mengabaikan ketentuan Pasal 52 KUHP yang menegaskan pemberatan pidana bagi seorang pejabat tatkala melakukan perbuatan pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya," katanya.
"Regulasi itu secara spesifik menyebutkan penambahan hukuman sepertiga, bukan justru dikurangi," lanjut Kurnia.
Kurnia juga bingung dengan pertimbangan majelis kasasi yang menyebut Edhy Prabowo telah memberi harapan kepada masyarakat.
"Sedangkan pada waktu yang sama, Edhy melakukan praktik korupsi di tengah kesengsaraan masyarakat akibat pandemi Covid-19," katanya.
Hukuman 5 tahun tersebut, ujar Kurnia, kemudian menjadi sangat janggal.
Sebab, hanya 6 bulan lebih berat jika dibandingkan dengan staf pribadi Edhy, Amiril Mukminin.
Terlebih, dengan kejahatan korupsi yang Edhy lakukan, mantan politikus Partai Gerindra itu juga melanggar sumpah jabatannya sendiri.
Kurnia menyebutkan bahwa salah dua ciri korupsi dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa adalah karena dampak viktimisasinya sangat luas dan merupakan perbuatan tercela serta dikutuk oleh masyarakat.
"Tentu dengan dasar ini, masyarakat sangat mudah untuk melihat betapa absurdnya putusan kasasi MA terhadap Edhy," katanya.
Kurnia khawatir pemotongan hukuman oleh MA ini menjadi multivitamin sekaligus penyemangat bagi pejabat yang ingin melakukan praktik korupsi.
"Sebab, mereka melihat secara langsung bagaimana putusan lembaga kekuasaan kehakiman jarang memberikan efek jera," ujar Kurnia.
Reza Indragiri Soroti Logika Hakim
Sementara itu, Reza Indragiri Amriel, Ahli Psikologi Forensik yang pernah menjadi konsultan UNODC di bidang pengembangan kompetensi hakim mengatakan, alasan hakim atas pengurangan hukuman kepada Edhy Prabowo sulit dipahami.
Menurutnya, korupsi menurunkan kepuasan kerja, jadi ketika kepuasan kerja turun, maka kinerja pun akan anjlok.
Begitu pula, korupsi akan membawa organisasi ke situasi tidak efektif dan kurang produktif.
Konsekuensinya sama, performa kinerja akan memburuk, baik performa individu maupun performa organisasi.
"Dari situ sulit dipahami, bagaimana logikanya bahwa seorang pejabat divonis bersalah karena melakukan korupsi namun pada saat yang sama disebut berkinerja baik?" kata Reza Indra Giri Amriel dalam keterangan yang diterima Tribunnews, Rabu (9/3/2022).
Lanjut dia, korupsi ketika dilakukan pejabat negara, sepatutnya diposisikan sebagai kejahatan yang menghapus segala catatan kebaikannya.
Integritas selayaknya dijadikan sebagai elemen mutlak dalam penilaian kinerja.
Selama elemen itu belum terpenuhi, maka elemen-elemen lainnya tak lagi menentukan.
"Tidak tepat untuk mengaitkan kinerja baik organisasi dengan individu yang korupsi," ujarnya.
Perilaku koruptif, menurutnya, justru menandakan bahwa individu bersangkutan memiliki komitmen rendah pada organisasi tempatnya bekerja.
"Dengan komitmennya yang rendah, bagaimana mungkin ia sepenuhnya berpikir dan bekerja untuk membawa kebaikan bagi lembaganya?" ujarnya.
Kata dia, bisa dipahami bahwa kinerja baik kementerian sesungguhnya adalah hasil dari kerja para personel birokrasi kementerian itu sendiri, bukan akibat atau kontribusi dari pejabat yang melakukan korupsi.
"Apa boleh buat, putusan hakim MA mengingatkan saya pada simpulan getir dari riset University of Sheffield. Bahwa, korupsi ternyata sudah menjadi cara jitu untuk menyiasati aturan main yang rumit."
"Korupsi membuat urusan menjadi lebih gampang diselesaikan, sehingga kinerja pun membaik. Jadi, memang ironis, alih-alih merusak organisasi, korupsi justru meningkatkan kinerja," kata dia.
(Tribunnews.com/Maliana/Ilham Rian Pratama/Adi Suhendi)
Baca berita lainnya di Google News