Berita Nasional
Kado Awal Tahun 2022, Harga Gas Elpiji Hingga Rokok Naik, Wacana Pertalite Akan Dihapus
Menyongsong tahun 2022, sudah berhembus kabar yang menimbulkan kekhawatiran sejumlah pihak, yaitu penyesuaian iuran dan sejumlah tarif yang akan mulai
TRIBUNSUMSEL.COM - Harga rokok dipastikan naik di awal tahun 2022.
Menyongsong tahun 2022, sudah berhembus kabar yang menimbulkan kekhawatiran sejumlah pihak, yaitu penyesuaian iuran dan sejumlah tarif yang akan mulai dilakukan secara bertahap pada tahun depan.
Setidaknya sudah ada beberapa agenda peningkatan harga.
Seperti, harga gas Liquified Petroleum Gas (LPG) atau elpiji nonsubsidi sebesar Rp 1.600 hingga Rp 2.600 per kilogram.
Peningkatan harga LPG ini bahkan sudah dilakukan per 25 Desember 2021.
Meski, khusus harga LPG 3 kilogram masih tetap karena disubsidi pemerintah.
Kemudian ada wacana kenaikan tarif listrik golongan pelanggan non-subsidi di tahun depan.
Dengan skema tarif penyesuaian, maka kenaikan tarif listrik di tahun depan diperkirakan naik dari Rp 18.000 hingga Rp 101.000 per bulan sesuai dengan golongannya.
Tak ketinggalan, ada rencana peningkatan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dengan wacana penghapusan BBM di bawah RON 92 yaitu Premium.
Selain itu, masyarakat juga harus bersiap dengan peningkatan beberapa harga barang karena peningkatan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) serta tarif cukai hasil tembakau (CHT) dengan rata-rata kenaikan 12 persen dan khusus untuk SKT ditetapkan 4,5 persen.
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan, peningkatan harga ini tentu akan melecut inflasi di tahun 2022 ke kisaran 5 persen secara tahunan (yoy), atau lebih tinggi dari kisaran sasaran Bank Indonesia (BI) yang sebesar 3 persen plus minus 1 persen.
Belum lagi, akan ada risiko peningkatan harga kebutuhan pokok, seperti pangan yang dipengaruhi oleh pasokan pangan karena adanya La Nina dan peningkatan permintaan menjelang Ramadhan 2022.
Ada juga risiko terkait dengan imported inflation, seiring dengan gonjang-ganjing nilai tukar rupiah karena normalisasi kebijakan moneter bank-bank sentral dunia.
Imbas peningkatan inflasi ini kemudian dirasakan oleh rumah tangga, terutama kelompok menengah bawah.