Berita Nasional
Lama Menghilang Setelah Ditegur Prabowo, Fadli Zon Kini Sudah Eksis Lagi, Serang Tentang Omnibus Law
Lama Menghilang Setelah Ditegur Prabowo, Fadli Zon Kini Sudah Eksis Lagi, Serang Tentang Omnibus Law
TRIBUNSUMSEL.COM - Sempat menghilang usai ditegur Prabowo Subianto karena kritik Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Kini, Fadli Zon kembali muncul di akun sosial medianya lagi.
Diketehui sekitar dua pekan Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR sekaligus Politisi Partai Gerindra Fadli Zon tak lagi berkicau di Twitter, usai ditegur Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto.
Fadli Zon ditegur lantaran menyindir Presiden Joko Widodo soal banjir di Sintang, Kalimantan Barat.
Cuitan terakhir Fadli Zon disampaikan pada 13 November 2021.
Namun, pada Sabtu (27/11/2021) Fadli Zon tiba-tiba muncul.
Ia mengunggah dua cuitan, salah satunya berkomentar mengenai hasil keputusan Mahkamah Konstitusi mengenai Undang-undang Cipta Kerja atau Omnibus Law.
Fadli Zon menyebut, sejumlah point dalam Undang-undang Cipta Kerja bertentangan dengan konstitusi.
Ia menyatakan, adanya keputusan MK tersebut, seharusnya pemerintah membatalkan Undang-undang Cipta Kerja.
"UU ini harusnya batal karena bertentangan dengan konstitusi dan banyak masalah sejak awal proses. Terlalu banyak “invisible hand”. Kalau diperbaiki dalam 2 tahun artinya tak bisa digunakan yang belum diperbaiki," tulis Fadli Zon di Twiiter pribadinya, Sabtu.
DPR akan kaji keputusan MK
Pimpinan DPR merespons putusan Mahkamah Konstitusi (MK), yang menyatakan UU 11/2020 tentang Cipta Kerja, bertentangan dengan UUD 1945.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyatakan, pihaknya bakal mempelajari putusan itu secara detail, sebelum mengambil keputusan selanjutnya.
"Putusan tersebut kami masih akan pelajari terlebih dahulu, sebelum kemudian DPR mengambil langkah-langkah sesuai dengan mekanisme yang ada untuk menaati putusan tersebut," kata Dasco di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (25/11/2021).
Kendati demikian, DPR menghormati putusan MK tersebut yang final dan mengikat.
Dia menekankan kembali, pihak DPR baru akan melihat secara detail putusan MK tersebut.
"Ya ini kan baru putusan tadi."
"Kami akan melihat secara detail dan akan dibikin kajiannya oleh badan keahliannya."
"Baru kemudian akan lakukan sesuai dengan mekanisme yang ada di DPR."
"Oleh karena itu mohon juga diberikan waktu kepada kami untuk membuat kajian serta mempelajari isi putusan tersebut dengan utuh."
"Sehingga kami juga dapat mengambil langkah langkah yang tepat," tuturnya.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Undang-undang Cipta Kerja Nomor 11/2020, bertentangan dengan UUD 1945.
"Menyatakan pembentukan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 6573) bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945."
"Dan tidak mempunyai ketentuan hukum yang mengikat secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan ini diucapkan," kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang yang disiarkan Chanel YouTube MK, Kamis (25/11/2021).
MK pun memerintahkan DPR dan pemerintah memperbaiki UU Cipta Kerja dalam jangka waktu 2 tahun ke depan.
"Dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka UU 11/2020 tentang Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen," kata Anwar.
Anwar juga mengatakan, jika tak dilakukan perbaikan, maka materi muatan atau pasal UU yang dicabut UU Cipta Kerja harus dinyatakan berlaku kembali.
"Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas."
"Serta tidak dibenarkan pula menerbitkan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja," ucap Anwar
Dalam putusan ini, empat hakim MK menyatakan dissenting opinion, yakni Anwar Usman, Daniel Yusmic, Arief Hidayat, dan Manahan MP Sitompul.
Putusan MK ini merujuk pada uji formil yang diajukan oleh lima penggugat terdiri dari seorang karyawan swasta bernama Hakiimi Irawan Bangkid Pamungkas.
Lalu, seorang pelajar bernama Novita Widyana, serta tiga orang mahasiswa, yakni Elin Diah Sulistiyowati, Alin Septiana, dan Ali Sujito.
Uji formil tersebut tercatat dalam 91/PUU-XVIII/2020.
MK Minta Buruh Tawarkan Solusi Kekosongan Hukum Jika UU Cipta Kerja Diputuskan Inkonstitusional
Hakim Konstitusi Saldi Isra meminta pemohon dalam perkara nomor 101/PUU-XVIII/2020 turut menawarkan solusi hukum, jika UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional.
Sebab, Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyidangkan gugatan serikat buruh terhadap UU 11/2020 tentang Cipta Kerja, tak mau mengabulkan sebuah permohonan dengan alasan ketidakpastian hukum, tapi berdampak pada memunculkan ketidakpastian hukum baru.
Mengingat, para pemohon dalam petitumnya meminta majelis menyatakan sejumlah aturan di UU 11/2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional atau tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
"Kalau memang nanti ada yang dikabulkan lalu memunculkan kekosongan hukum, apa yang harus dilakukan?
"Karena bagaimanapun Mahkamah tidak ingin mengabulkan permohonan karena alasan ketidakpastian hukum, lalu menciptakan ketidakpastian hukum baru," kata Saldi dalam sidang yang digelar daring di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Selasa (24/11/2020).
Baca juga: Fahri Hamzah Minta Anies Baswedan Cari Fadli Zon Karena Menghilang Usai Ditegur Prabowo Subianto
Baca juga: Fadli Zon Bak Hilang Ditelan Bumi Usai Dimarahi Prabowo karena Nyinyiri Presiden Jokowi
Saldi menjelaskan, permohonan pemohon yang meminta sejumlah aturan UU Cipta Kerja inkonstitusional, bisa berdampak pada kekosongan norma.
Lantaran, produk hukum yang lama sudah dicabut dan digantikan dengan ketentuan dalam UU Cipta Kerja.
Bila sejumlah ketentuan dalam UU Cipta Kerja diminta dinyatakan inkonstitusional, maka dampaknya tidak ada hukum yang mengatur persoalan yang gugatannya dikabulkan.
"Makanya harus ditawarkan juga apa jalan keluar yang mestinya dilakukan kalau ini dikabulkan."
"Itu sisi lain yang harus diperhatikan betul oleh pemohon dan kuasa hukumnya."
"Agar kami bisa diberi pengayaan masing-masing pasal itu mengapa dia dinyatakan bertentangan dengan konstitusi," imbuhnya.
Adapun perkara nomor 101/PUU-XVIII/2020 tersebut diajukan oleh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI).
Juga, Federasi Serikat Pekerja Farmasi dan Kesehatan Reformasi (FS. Faskes-R), Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), hingga pekerja tetap, pekerja kontrak, dan pekerja alih daya.
Dalam permohonan ini, pemohon mencantumkan 92 petitum. Secara garis besar, pemohon menyoal 12 poin utama, meliputi persoalan lembaga pelatihan kerja.
Juga, Pelaksanaan Penempatan Tenaga Kerja, Tenaga Kerja Asing, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Pekerja Alih Daya, Waktu Kerja, Cuti, Upah, dan Pemutusan Hubungan Kerja.
Kemudian, Uang Pesangon (UP), Penghargaan Masa Kerja (PMK), Uang Penggantian Hak (UPH), Penghapusan Saksi Pidana, dan Jaminan Sosial.
Terdapat 3 Pasal dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang digugat, yakni pasal 81, pasal 82, dan pasal 83.
Salah satu yang digugat yaitu frasa "Alih Daya" dalam Pasal 81 angka 20 UU Cipta Kerja.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata Alih dan Daya merupakan kata sendiri- sendiri, dengan alih berarti pindah atau ganti, dan daya berarti kemampuan melakukan sesuatu atau kemampuan bertindak.
Bila digabungkan, pemohon menilai dalam konteks hubungan kerja Alih Daya diartikan sebagai menukar atau mengganti pekerja yang berstatus tetap dengan pekerja dari perusahaan alih daya.
Alias frasa itu bisa memunculkan perbudakan moderen, perdagangan manusia untuk dipekerjakan orang lain.
Menurut pemohon, diubahnya pasal UU Ketenagakerjaan berpotensi menciptakan perbudakan zaman modern kepada pekerja.
Karena, syarat tentang jenis dan sifat pekerjaan yang sebelumnya diatur dalam pasal 64 dan 65 UU Ketenagakerjaan telah dihapus melalui UU Cipta Kerja.
92 Petitum
Mahkamah Konstitusi menggelar sidang gugatan uji materil UU Cipta Kerja yang diajukan oleh serikat pekerja, termasuk Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Selasa (24/11/2020).
Sidang perkara nomor 101/PUU-XVIII/2020 itu digelar perdana dengan agenda pemeriksaan pendahuluan.
Sidang dilakukan secara virtual yang dihadiri oleh Presiden KSPI Said Iqbal dan Sekjen KSPI Ramidi selaku pemohon I, serta Sekjen KSPSI Hermanto Achmad selaku pemohon II.
Dalam gugatan ini, para pemohon membuat berkas permohonan setebal 304 halaman, termasuk mencantumkan 92 poin petitum di dalamnya.
Kuasa hukum para pemohon, Muhammad Andi Asrun, menjabarkan sejumlah petitum yang mereka minta.
Antara lain menyatakan tanda baca titik koma (;) dan kata "atau" setelah frasa "lembaga pelatihan kerja swasta" dalam ketentuan Pasal 13 ayat (1) huruf b yang termuat dalam pasal 81 angka 1 UU 11/2020 tentang Cipta Kerja.
Yang mengubah ketentuan pasal 13 UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sehingga ketentuan Pasal 13 ayat (1) huruf b berbunyi "lembaga pelatihan kerja swasta".
Pemohon juga meminta hakim konstitusi menyatakan ketentuan Pasal 13 ayat (1) huruf c yang termuat dalam Pasal 81 angka 1 UU 11/2020 tentang Cipta Kerja yang mengubah ketentuan Pasal 37 UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945.
Ddan dinyatakan tidak punya ketentuan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai "lembaga penempatan tenaga kerja swasta berbadan hukum".
Para pemohon meminta majelis hakim mengabulkan seluruh permohonan mereka, dan menyatakan para pemohon punya kedudukan hukum atau legal standing untuk mengajukan permohonan tersebut.
"Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana semestinya."
"Atau apabila majelis hakim berpendapat lain mohon putusan seadil-adilnya," kata Andi membacakan petitum.
Artikel ini telah tayang di WartaKotalive.com dengan judul Cukup Lama 'Tiarap' usai Ditegur Prabowo, Fadli Zon Eksis Lagi, Langsung Ngegas Kritik Omnibus Law.