Perempuan Dalam Islam

Bolehkah Perempuan Menjadi Saksi Perceraian, Penjelasan Imam 4 Mazhab, Juga Hukum di Indonesia

Perempuan juga seringkali dihadirkan dalam tahap persidangan dan turut diminta atau memberikan kesaksian, termasuk perkara atau kasus perceraian.

Penulis: Vanda Rosetiati | Editor: Vanda Rosetiati
tribunsumsel.com/khoiril
Ilustrasi Bolehkah Perempuan Jadi Saksi Perceraian. 

TRIBUNSUMSEL.COM - Kehadiran saksi adalah salah satu kunci jalannya sebuah persidangan perkara hukum. Kedudukan antara pria dan wanita sama-sama memiliki tanggungjawab dan fungsi yang sama, karena masalah kesaksian sangatlah penting menurut Islam.

Perempuan juga seringkali dihadirkan dalam tahap persidangan dan turut diminta atau memberikan kesaksian, termasuk perkara atau kasus perceraian. Sebenarnya bolehkah perempuan menjadi saksi perceraian. Berikut ini penjelasannya didasarkan imam 4 mazhab juga penerapan di Indonesia. 

Dikutip dari jurnal Al Qisthu, Institut Agama Islam Negeri (UIN) Kerinci volume, No1, July 2017 memuat penjelasan imam mazhab yang empat yakni Syafi’I, Maliki, Hambali, dan Hanafi tidak mengisyaratkan akan adanya saksi di dalam talak.

Sedangkan menurut jumhur ulama, baik salaf maupun khalaf (tradisional dan modern) berpendapat talak itu sah tanpa ada saksi. Karena hal itu merupakan hak orang laki-laki (suami). Tidak ada nash yang menetapkan adanya saksi dalam talak.

Allah SWT sendiri telah memberikan hak talak berada di tangan laki-laki (suami) dan bukan wanita (istri).

Namun demikian menurut Imam Syafi’I dan Hanifah seperti diulas M Quraish Shihab dalam tafsirnya persaksian terhadap talak ini, “Memahaminya dalam perintah sunnah”. Dari riwayat yang lain yang dinisbahkan kepada Imam Syafi’I, Ahmad, dan Malik bahwa,“Perintah itu sebagai perintah wajib untuk rujuk dan bukan untuk perceraian”.

Wanita Saksi Cerai di Indonesia

Hukum positif di Indonesia, termasuk di lingkungan peradilan agama tidak mengenal adanya pembedaan dan penilaian saksi-saksi untuk diterima atau ditolak kesaksiannya dari segi keyakinan agama, suku bangsa, organisasi politik dan masyarakat ataupun dari segi jenis kelamin dan tingkat pendidikan.

Hakim bebas menilai kebenaran keterangan saksi sesuai dengan nuraninya, bahkan hakim dapat mengesampingkan keterangan saksi asal dipertimbangkan dengan cukup dan berdasarkan argumen yang kuat.

Dalam undang-undang hukum perdata yang diatur hanya sebatas teknis, hak-hak, siapa saja yang boleh menjadi saksi dan kewajiban menjadi saksi, tidak diatur mengenai bagaimana hukum kesaksian bagi seorang perempuan.

Hal ini menunjukkan dalam sistem hukum positif di Indonesia kedudukan saksi laki-laki maupun perempuan adalah sama dan tidak ada perbedaan di antara keduanya. Kedudukan perempuan dalam hukum positif di Indonesia sama dengan laki-laki, mereka boleh melakukan apa yang dilakukan oleh laki-laki.

Khususnya di lingkungan peradilan agama kesaksian seorang perempuan diakui memiliki nilai pembuktian yang sama dengan kesaksian seorang laki-laki.

Dalam kasus-kasus yang ditangani oleh pengadilan agama khususnya dalam masalah perceraian, saksi perempuan yang dihadirkan dalam tahap persidangan pembuktian diakui sama kedudukannya dengan saksi laki-laki. Ini merupakan sebuah fakta yang menunjukkan bahwa kesaksian perempuan sudah mendapatkan pengakuan sama dengan kesaksian laki-laki.

Jumlah Saksi Perempuan

Pakar hukum berpendapat dalam persidangan pengadilan agama dalam masalah perceraian kesaksian perempuan tidak dipermasalahkan selama saksi memenuhi syarat-syarat.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved