Perempuan Dalam Islam

Bolehkah Perempuan Mengadzanni Bayi Baru Lahir, Ulama Berbeda Pendapat, Ini Alasanya

Umumnya bayi yang baru lahir diadzankan oleh ayahnya atau kakeknya atau laki-laki lain yang dimintakan tolong. Lantas sebenarnya bolehkah perempuan.

Penulis: Vanda Rosetiati | Editor: Vanda Rosetiati
tribunsumsel.com/khoiril
Ilustrasi Bolehkah Perempuan Mengadzani Bayi Baru Lahir. 

TRIBUNSUMSEL.COM - Kehadiran bayi umumnya disambut suka cita. Satu ritual yang seringkali dilakukan saat menyambut buah hati adalah yaitu membacakan adzan dan iqomah di telinga bayi yang baru lahir.

Umumnya juga bayi yang baru lahir diadzankan oleh ayahnya atau kakeknya atau laki-laki lain yang dimintakan tolong. Lantas sebenarnya bolehkah perempuan mengadzani bayi baru lahir.

Untuk menjawab hal ini, Tribunsumsel merangkum sejumlah pendapat ulama mengenai hukum mengadzankan dan membacakan iqomah di telinga bayi yang baru lahir. Apa hukum membacakan adzan di telinga bayi baru lahir. 

Ust Ahmad Sarwat, Lc, MA dari rumahfiqih menuturkan adzan di telinga bayi ini adalah masalah khilafiyah, ada sebagian yang memandangnya mustahab dan sunnah dan sebenarnya cukup banyak ulama yang berpendapat sunnahnya adzan di telinga bayi. Karena urusan shahih tidaknya hadits adalah masalah yang masih diperdebatkan di antara para ahli hadits sendiri.

Namun tidak bisa dipungkiri ada juga tidak mau mengadzani bayi yang baru lahir, dengan beberapa alasan. Paling masuk akal karena dianggap tidak ada hadits shahih bisa dijadikan dasar. Setidaknya para ulama masih berbeda pendapat atas hukumnya.

Selain itu juga ada alasan yang tidak bisa diterima syariah, yaitu pandangan bahwa mengadzani bayi itu haram dan bid'ah dengan alasan bahwa adzan itu hanya untuk memanggil orang shalat.

Hadits-hadits Tentang Adzan di Telinga Bayi

Setidaknya ada tiga hadits yang menjadi dasar masyru'iyah dalam melantunkan adzan untuk bayi yang baru lahir.

1. Hadits Pertama

Abu Rafi meriwayatkan : Aku melihat Rasulullah SAW mengadzani telinga Al-Hasan ketika dilahirkan oleh Fatimah. (HR. Abu Daud, At-Tirmizy dan Al-Hakim)

Secara status hadits, Al-Imam At-Tirmizy menegaskan bahwa yang beliau riwayatkan itu adalah hadits hasan shahih. Demikian juga Al-Imam Al-Hakim menyebutkan keshahihan hadits ini juga.

Al-Imam An-Nawawi juga termasuk menshahihkan hadits ini sebagaimana tertuang di dalam kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab[1].

2. Hadits Kedua

Orang yang mendapatkan kelahiran bayi, lalu dia mengadzankan di telinga kanan dan iqamat di telinga kiri, tidak akan celaka oleh Ummu Shibyan. (HR. Abu Ya’la Al-Mushili)

Ummu shibyan adalah sebutan untuk sejenis jin yang mengganggu anak kecil.

Hadits inilah yang dijadikan titik perbedaan pendapat. Sebagian ulama hadits menerima hadits ini meski ada kelemahan. Al-Imam Al-Baihaqi sendiri memang mengatakan dalam rangkaian perawinya ada kelemahan. Namun beliau justru menggunakan hadits yang ada kelemahan ini sebagai penguat atau syawahid dari hadits shahih lainnya.

Kalau pun hadits ini dianggap dhaif dan tidak bisa dijadikan dasar pengambilan hukum, tentu tidak mengapa. Sebab masih ada hadits lain yang shahih dan disepakati ulama keshahihannya. Posisi hadits yang lemah ini sekedar menjadi syawahid saja.

Sedangkan Al-Albani bukan hanya mendhaifkan tetapi malah bilang bahwa hadits ini palsu (maudhu'), di dalam kitab Silsilah Ahadits Adh-Dha'ifah[2] maupun dalam kitab Al-Irwa' Al-Ghalil.
Dan hanya berdasarkan kepalsuan hadits ini, hukum adzan di telinga bayi pun juga dianggap bid'ah dan terlarang.

3. Hadits Ketiga

Dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu bahwa Nabi SAW melantunkan adzan di telinga Al-Hasan bin Ali ketika dilahirkan, dan melantunkan iqamah di telinga kirinya. (HR. Al-Baihaqi)

Inti dari masalah ini, ternyata para ulama ahli hadits sendiri berbeda pendapat tentang status keshahihan masing-masing hadits. Dan mereka juga berbeda pendapat tentang apakah bisa digunakan sebagai dasar hukum atau tidak.

Pendapat Mendukung Adzan di Telinga Bayi

1. Ulama Mazhab Empat

Umumnya para ulama di dalam mazhab Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah menyunnahkan adzan untuk bayi yang baru lahir, yaitu pada telinga kanan dan iqamat dikumandangkan pada telinga kirinya.

Selain mazhab Asy-Syafi’iyah, umumnya ulama tidak menyunnahkannya, meski mereka juga tidak mengatakannya sebagai bid’ah. Mazhab Al-Hanafiyah menuliskan masalah adzan kepada bayi ini dalam kitab-kitab fiqih mereka, tanpa menekankannya.

Namun mazhab Al-Malikiyah memkaruhkan secara resmi dan mengatakan bahwa adzan pada bayi ini hukumnya bid’ah. Walau pun ada sebagian ulama dari kalangan Al-Malikiyah yang membolehkan juga.

2. Pendapat Umar bin Abdul Aziz

Diriwayatkan daam kitab Mushannaf Abdurrazzaq bahwa Umar bin Abdul Aziz apabila mendapatkan kelahiran anaknya, beliau mengadzaninya pada telinga kanan dan mengiqamatinya pada telinga kiri.

3. Pendapat Ibnu Qudamah

Ibnu Qudamah sebagai salah satu ikon ulama mazhab Al-Hanabilah menuliskan tentang masalah ini di dalam kitab fiqihnya yang fenomenal, Al-Mughni.

Sebagian ahli ilmu berpendapat hukumnya mustahab (disukai) bagi seorang ayah untuk mengumandangkan adzan di telinga anaknya ketika baru dilahirkan.

4. Pendapat Ibnul Qayyim

Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah menuliskan dalam kitabnya, Tuhfatul maudud bi ahkamil maulud, adzan pada telinga bayi dilakukan dengan alasan agar kalimat yang pertama kali didengar oleh seorang anak manusia adalah kalimat yang membesarkan Allah SWT, juga tentang syahadatain, dimana ketika seseorang masuk Islam atau meninggal dunia, juga ditalqinkan dengan dua kalimat syahadat.

5. Pendapat Syeikh Abdullah bin Baz

Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ketika ditanya tentang mengadzani bayi pada telinga kanan dan mengiqamati pada telinga kiri, beliau menjawab sebagaimana tertuang dalam situsnya :

Ini perbuatan masyru' (disyariatkan) menurut pendapat semua ahli ilmu dan memang ada dasar haditsnya, meskipun dalam sanadnya ada perdebatan. Tetapi bila seorang mukmin melakukannya maka hal itu baik, karena merupakan bagian dari pintu sunnah dan pintu tathawwu'at.

Pendapat Tidak Membolehkan Adzan di Telinga Bayi

Umumnya semua pendapat yang tidak membenarkan adzan di telinga bayi kalau kita runut kembali kepada satu tokoh, yaitu Nashiruddin Al-Albani, sebagaimana yang tertunang dalam kitab Silsilah dan Irwa' di atas.

Sejatinya beliau bukan ulama syariah (fiqih) dan sebenarnya ilmu haditsnya diperdebatkan di kalangan guru besar hadits masa kini.

Perihal Perempuan mengadzankan bayi baru lahir pun tidak dibahas secara spesifik. Ibnu Qudamah sebagai salah satu ikon ulama mazhab Al-Hanabilah di dalam kitab fiqihnya yang fenomenal, Al-Mughni memuat sebagian ahli ilmu berpendapat hukumnya mustahab (disukai) bagi seorang ayah untuk mengumandangkan adzan di telinga anaknya ketika baru dilahirkan. Karena itu kelaziman bayi memang diadzankan oleh ayahnya, kakek atau pria yang diamanahi atau diminta.

Itulah tadi pembahasan mengenai Bolehkah Perempuan Mengadzankan Bayi Baru Lahir, Ulama Berbeda Pendapat, Ini Alasannya. Semoga informasi yang disampaika ini membawa manfaat. Wallaahu a'lam bishshowab. 

Baca juga: Bolehkah Perempuan Memakai Sorban, Ini Penjelasan Ulama, Jangan Sampai Menyerupai Laki-laki

Baca berita lainnya langsung dari google news

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved