Berita Bisnis
Jeritan Perajin Tempe di Palembang, Harga Kedelai Mencekik Capai Rp 15 Ribu per Kg
Tinggi sekali harga kacang kedelai saat ini mencapai Rp 15.000 per kilogram (kg) nya, padahal dulu itu cuman sekitar Rp 6.000-Rp 8.000 per kg.
Penulis: Melisa Wulandari | Editor: Vanda Rosetiati
TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG – Sejumlah pengrajin tempe di Lorong Perguruan, Kecamatan plaju, Palembang, Rabu (9/6/2021) mengeluhkan harga kacang kedelai sebagai bahan baku pembuatan tempe mengalami kenaikan dalam beberapa hari terakhir.
Seperti yang dikatakan, Sinda, salah satu pengusaha industri tempe rumahan mengatakan mahalnya harga kacang kedelai saat ini mengakibatkan mereka kesulitan dalam memproduksi tempe dan mengurangi jumlah pembelian kacang kedelai.
"Tinggi sekali harga kacang kedelai saat ini mencapai Rp 15.000 per kilogram (kg) nya, padahal dulu itu cuman sekitar Rp 6.000-Rp 8.000 per kg, jadi kami yang sebelumnya bisa membeli kacang kedelai untuk produksi tempe 50-70 kg, sekarang cuman bisa beli sedikit sekitar 30 kg untuk produksi," kata Sinda.
Lebih lanjut
Sinda juga mengungkapkan tidak dapat menaikkan harga jual tempe di pasaran lantaran takut masyarakat menjadi beralih tidak membeli tempe dan merugi.
"Kalau untuk dijual ya tetap kami jual Rp 10.000 di pasaran, walapun harga kedelai naik drastis, kami tidak bisa menjual dengan harga lebih mahal nanti masyarakat protes dan tidak mau membeli tempe," tukas Sinda yang sudah bertahun-tahun menjadi pengrajin tempe sebagai mata pencahariannya.
Agar mereka tak terlalu merugi, lanjut Sinda, "Kami jual dengan harga tetap, tetapi ukuran tempenya kami perkecil dari biasanya,” katanya.
Pedagang tempe, Dadang hanya bisa berharap kepada pemerintah agar mengembalikan harga kacang kedelai sebagai bahan baku tempe segera kembali normal.
"Kami harap kepada pemerintah agar bisa mengembalikan harga kacang kedelai seperti biasa, karena kalau harga kedelai begini terus saya sebagai pedagang rugi," harapnya.
Sementara konsumen tempe, Nevi yang juga ibu rumah tangga mengungkapkan tidak mempermasalahkan walaupun ukuran tempe yang dijual di pasaran di perkecil, selama harga tempe masih normal masih dapat dimakluminya.
"Tidak masalah ukurannya lebih kecil, mungkin karena pengaruh kedelai yang naik. Selagi harganya sama dan terjangkau masih dimaklumi, jangan saja penjualnya yang tidak ada, "ungkapnya.
Pemerintah Perlu Subsidi Petani Kedelai
Menanggapi isu kenaikan global produk kedelai sebagai bahan baku tempe dan tahu, Pengamat Ekonomi dari Fakultas Ekonomi Universitas Sriwijaya (Unsri) Palembang, Dr Sukanto SE, MSi mengatakan apa yang dihadapi industri rumahan berbasis kedelai karena sangat ketergantungan dengan kedelai impor sementara kedelai dalam negeri yang dihasilkan di tingkat petani harga sangat rendah akibatnya petani enggan menanam kedelai.
Jika harganya terlalu murah petani tidak mampu menutupi biaya produksi. Bila tetap bertahan petani akan rugi. Harusnya ada subsidi pemerintah untuk mengurangi biaya produksi ini kalau tidak, produksi kedelai akan semakin melorot,” ungkapnya pada Kamis (10/6).
Selain itu, Sukanto, Menjelaskan kondisi tersebutlah yang menyebabkan pemerintah membuka keran impor.
"Hampir 70 persen kebutuhan konsumsi dipenuhi dari impor. Dalam jangka panjang perlu dipertanyakan komitmen pemerintah yang ingin mewujudkan kedaulatan pangan itu,”beber dia.
Menurutnya, Saat ini tidak banyak yang dapat dilakukan pemilik UMKM yang menjadikan kedelai sebagai bahan baku mereka.
"Bagi UMKM, kedelai ini sebagai bahan baku bagi mereka. Ketika harga bahan baku meningkat pasti pilihannya tidak banyak.
Yang pertama meningkatkan harga jual, konsekuensinya sebagian pembeli akan melakukan substitusi terhadap tahu-tempe. Sederhananya akan kehilangan konsumen. Ketika produk yang dihasilkan menurun diiringi oleh margin keuntungan yang menurun pula. Akibatnya UMKM akan shutdown (gulung tikar)," terangnya.