Polri Angkat Bicara Usai Muncul Propaganda yang Menyebut Seluruh Masyarakat Papua Adalah KKB

Polri Angkat Bicara Usai Muncul Propaganda yang Menyebut Seluruh Masyarakat Papua Adalah KKB

Editor: Slamet Teguh
Dok Penerangan Kogabwilhan
Anggota KKB pimpinan Lekagak Telenggen menyerahkan diri kepada aparat keamanan di Kabupaten Puncak, Papua, Sabtu (15/5/2021) 

TRIBUNSUMSEL.COM, JAKARTA - terus berulah dan memakan korban jiwa.

Pemerintah secara resmi menetapkan kelompok kriminal bersenjata (KKB) sebagai organisasi teroris.

Meski begitu Polri menegaskan propaganda yang menyebutkan seluruh masyarakat Papua adalah KKB adalah keliru.

Kabag Penum Divisi Humas Polri Komisaris Besar Polisi Ahmad Ramadhan menyebutkan, penindakan hukum hanya diberlakukan kepada jaringan KKB yang kerap menggangu keamanan di Papua.

"KKB itu kelompok kriminal bersenjata, tapi kalau ada yang belokkan KKB itu Papua, keliru."

"Jadi operasi ini penindakan atau penegakan hukum terhadap KKB."

"Cuma ada yang membelokkan gitu ya," kata Ahmad di Mabes Polri, Jakarta, Rabu (19/5/2021)

Ahmad menyampaikan, KKB Papua bukan hanya menyasar aparat TNI-Polri yang bertugas.

Dia bilang, banyak pula masyarakat sipil yang menjadi korban akibat gerakan KKB Papua.

"KKB ini sasarannya bukan cuma aparat TNI dan Polri."

"Bahwa yang sudah menjadi korban adalah masyarakat sipil, ada ojek, guru yang menjadi korban."

"Bahkan bangunan telah dirusak dan dibakar oleh KKB."

"Tentunya, sampai saat ini aparat TNI dan Polri masi terus melakukan pengejaran terhadap kelompok KKB," tuturnya.

Atas dasar itu, kata Ahmad, TNI-Polri bakal akan tetap menjaga situasi aman dan damai di tanah Papua.

"Jadi sudah ada upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk meyakini masyarakat Papua situasi aman."

"Jadi kita terus menjaga dan itu dilakukan secara terus menerus," paparnya.

Dilabeli Teroris

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengumumkan kelompok kriminal bersenjata (KKB) Papua sebagai organisasi teroris.

Mahfud MD mengatakan keputusan pemerintah tersebut sejalan dengan pandangan yang dikemukakan oleh Ketua MPR, pimpinan BIN, pimpinan Polri, dan pimpinan TNI.

Keputusan tersebut, kata Mahfud MD, juga sejalan dengan fakta banyaknya tokoh masyarakat, tokoh adat, pemerintah daerah, dan DPRD Papua yang datang kepada pemerintah, khususnya Kemenko Polhukam, untuk menangani aksi kekerasan di Papua.

Pemerintah, kata Mahfud MD, menyatakan mereka yang melakukan pembunuhan dan kekerasan secara brutal secara masif sesuai dengan ketentuan UU 5/2018 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme.

Mahfud MD menjelaskan, definisi teroris berdasarkan UU teesebut adalah siapapun orang yang merencanakan, menggerakkan, dan mengorganisasikan terorisme.

Sedangkan terorisme, kata dia, adalah setiap perbuatan yang menggunakan kekerasan, atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas.

Yang dapat menimbulkan korban secara massal dan atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, terhadap lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, dan keamanan.

Tidak hanya KKB, kata Mahfud MD, pemerintah juga menyatakan mereka yang berafiliasi dengan KKKB termasuk ke dalam tindakan teroris.

"Berdasarkan definisi yang dicantumkan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018."

"Maka apa yang dilakukan oleh KKB dan segala nama organisasinya dan orang-orang yang berafiliasi dengannya adalah tindakan teroris," tegas Mahfud MD saat konferensi pers, Kamis (29/4/2021).

Untuk itu, kata Mahfud MD, pemerintah sudah meminta Polri, TNI, BIN, dan aparat-aparat terkait, untuk melakukan tindakan terhadap organisasi tersebut.

"Untuk itu maka pemerintah sudah meminta kepada Polri, TNI, BIN, dan aparat-aparat terkait untuk melakukan tindakan secara cepat, tegas, dan terukur menurut hukum."

"Dalam arti jangan sampai menyasar ke masyarakat sipil," beber Mahfud MD.

Baca juga: Nasib 20 Anggota KKB Papua yang Bacok dan Rampas Senjata 2 Prajurit TNI Beberapa Waktu yang Lalu

Baca juga: 6 KKB Sekarang Berkumpul di Ilaga, Jumlahnya 150 Orang, Punya 70 Senjata Api

Sebelumnya, Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin meminta pemerintah mendefinisikan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) sebagai organisasi teroris, sesuai UU 5/2018 tentang Terorisme.

Juga, Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata (KKSB), Organisasi Papua Merdeka (OPM), dan Tentara Nasional Pembebasan Papua Barat (TNPPB).

Azis mengatakan, kelompok bersenjata di Papua sejatinya para pelaku atau terduga terorisme, karena melakukan teror, ancaman, menyandera, membunuh, menyiksa dan menculik warga sipil, seringkali dengan motif politik.

"Maka mereka adalah teroris."

"Sama halnya dengan kelompok di Poso, di Bima, di Jawa Barat, Jawa Tengah ataupun Jawa Timur."

"Keengganan pemerintah melakukan pelabelan sebagai terorisme terhadap KKB sejenis Kelompok Egianus Kogoya.

"Bisa jadi adalah suatu pendekatan politik yang diambil untuk meredakan ketegangan akibat separatisme di Papua," kata Azis lewat keterangan tertulis, Senin (22/3/2021).

Azis menuturkan, jangan pernah mengatakan kejadian di Papua bukan terorisme, karena sejatinya terorisme terjadi di sana.

Menurutnya, terorisme yang berakar dari separatisme, persis seperti yang terjadi di Thailand selatan.

Maka, secara penegakan hukum pun UU Pemberantasan Terorisme dapat digunakan.

Walaupun pendekatan pemberantasan terorisme dapat digunakan di Papua, pendekatan terbaik adalah melalui pendekatan kesejahteraan, sosial, ekonomi dan budaya.

Seraya, memberikan rekognisi dan akomodasi terhadap hak-hak masyarakat adat/lokal yang eksis di sana.

"Pendefinisian OPM sebagai KKB tidak salah sepenuhnya, tetapi istilah itu terlampau umum."

"Begal motor, perampok bank misalnya, juga dapat tergolong KKB, sepanjang mereka berkelompok dan memakai senjata api,tajam, dalam aksinya," ulasnya.

Politikus Partai Golkar itu menjelaskan, risiko lain yang lebih besar dari pendefinisian OPM sebagai pemberontak adalah munculnya peluang bagi mereka di luar negeri, untuk merujuk Protokol Tambahan II tahun 1977 dari Konvensi Jenewa (Geneva Convention).

Konvensi tersebut merupakan hukum internasional tentang penanganan perang (jus in bello) atau disebut pula hukum humaniter internasional.

Protokol Tambahan II membahas konflik bersenjata non-internasional atau di dalam sebuah negara.

Pada pasal 1 dinyatakan, “Angkatan perang pemberontak atau kelompok bersenjata pemberontak lainnya yang terorganisir di bawah komando."

"Hal ini yang memungkinkan mereka melaksanakan operasi militer secara terus menerus dan teratur, yang berarti termasuk objek Konvensi Jenewa."

"Pasal 3 Protokol Tambahan II melarang adanya intervensi dari luar."

"Tetapi tidak ada larangan pihak pemberontak menyampaikan masalah kepada dunia internasional jika menurutnya terjadi pelanggaran Konvensi Jenewa," bebernya.

Azis menegaskan, walaupun belum atau tidak menyetujui dan meratifikasi Protokol Tambahan II, Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Jenewa.

Karena itu, penyebutan OPM sebagai pemberontak dapat berisiko internasionalisasi, kasus serangan OPM atau saat TNI/Polri menindak mereka.

"Penyelesaian OPM sebaiknya dilakukan komprehensif, secara taktis-operasional, TNI dan Polri segera menghancurkan dan menetralisasi para penyerang," paparnya. (Igman Ibrahim)

Artikel ini telah tayang di WartaKotalive.com dengan judul Polri: Tidak Semua Masyarakat Papua KKB, Jangan Dibelokkan.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved