Diperingati Setiap 3 Mei, Sejarah Hari Kebebasan Pers Sedunia atau World Press Freedom Day (WPFD)

Hari bersejarah ini bahkan diproklamirkan oleh UNESCO pada Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1993, menyusul rekomendas

Editor: Weni Wahyuny
Koalisi Jurnalis
ILUSTRASI HARI KEBEBASAN PERS SEDUNIA - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Palembang bersama Koalisi Untuk Kemerdekaan dan Kebebasan Pers menggelar aksi damai simpatik di Bundaran Air Mancur Palembang, Kamis (1/4/2021). 

TRIBUNSUMSEL.COM - Hari ini, Senin 3 Mei 2021 diperingati Hari Kebebasan Pers Sedunia atau World Press Freedom Day (WPFD).

Setiap tanggal 3 Mei WPFD selalu diperingati oleh insan pers.

Bagaimana sejarahnya ?

Setiap tahunnya tanggal 3 Mei merupakan Hari Pers Sedunia yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Pers bertindak sebagai media komunikasi antara pemerintah dan masyarakat.

Dikutip dari situs kominfo.go.id, awal mula sejarah buat kalangan jurnalis ini bermula dari Deklarasi Windhoek di Namibia pada 3 Mei 1991.

Sejumlah wartawan di Afrika menyeruakan agar ada pluralisme dan kemandirian media.

Hari bersejarah ini bahkan diproklamirkan oleh UNESCO pada Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1993, menyusul rekomendasi sidang ke-26 Konferensi Umum UNIESCO pada tahun 1991 sebagai respon atas ajakan kelompok Deklarasi Windhoek.

Berdasarkan Universal Declaration of Human Rights 1948 pasal 19, ditetapkan Hari Kebebasan Pers Sedunia bertujuan untuk menghormati kebebasan pers dan mengingatkan pemerintah akan tugas mereka untuk menghormati dan mematuhi hak atas kebebasan berekspresi.

Dikutip dari situs UNESCO, Hari Kebebasan Pers Dunia berfungsi sebagai kesematan untuk menginformasikan warga negara tentang pelanggaran kebebasan pers.

Sebagai pengingat di banyak negara, publikasi disensor, didenda, ditangguhkan, dan ditutup.

Sementara wartawan, editor, dan penerbit dilecehkan, diserang, ditahan, bahkan dibunuh.

Lalu bagaimana korelasi Hari Kebebasan Pers Sedunia dengan kebebasan pers Indonesia?

Klimaksnya terjadi pada 23 September 1999.

Koalisi Untuk Kemerdekaan dan Kebebasan Pers menggelar aksi damai simpatik di Bundaran Air Mancur Palembang, Kamis (1/4/2021).
Koalisi Untuk Kemerdekaan dan Kebebasan Pers menggelar aksi damai simpatik di Bundaran Air Mancur Palembang, Kamis (1/4/2021). (ISTIMEWA/PFI PALEMBANG)

Presiden B.J. Habibie mengesahkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) yang mencabut wewenang pemerintah untuk menyensor dan membreidel media massa di era sebelumnya.

Namun kebebasan pers kini acapkali disalah artikan masyarakat sebagai kebebasan membagikan informasi tanpa batas.

Persoalan disinformasi dan kabar hoax ini memang menajdi isu sentral di kalangan jurnalis.

Apalagi dengan perkembangan media sosial dimana banyak bermunculan citizen journalist, membuat disinformasi dan hoax semakin tak terbendung.

Grup percakapan di aplikasi pesan berbalas seperti WhatsApp disebut sebagai media daring yang paling populer di Indonesia sebagai basis penyebaran hoax.

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) serta Dewan Pers, terus berupaya untuk melawan fenomena berita hoax ini, termasuk isu sentris hoax propaganda politik.

Karena itu, Steven Reiner menekankan penting bagi pembaca dan pewarta untuk menggunakan pemikiran logis dan kritisnya dalam mengonsumsi dan mengolah berita atau informasi.

Oleh karena itu Hari Kebebasan Pers Internasional juga menjadi momentum mengingatkan pemerintah untuk menghormati komitmennya terhadap kemerdekaan pers.

Penulis : Erland Roy/Tribun Sumsel

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved