Ahli Mikrobiologi Soal Terapi Plasma Konvalesen, Prof Yuwono: Kuno, Namun Diakui Medis dan Ilmiah
Terapi plasma konvalesen merupakan salah satu terapi yang bisa dilakukan untuk membantu proses penyembuhan pasien Covid-19.
Penulis: Linda Trisnawati | Editor: Prawira Maulana
Laporan Wartawan Tribunsumsel.com, Linda Trisnawati
TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG - Terapi plasma konvalesen merupakan salah satu terapi yang bisa dilakukan untuk membantu proses penyembuhan pasien Covid-19. Bahkan Ahli Mikrobiologi Prof. Dr. dr. Yuwono, M. Biomed sangat mendukung adanya terapi plasma konvalesen.
"Semakin banyak alternatif penyembuhan, maka semakin senang. Maka jawaban saya, saya menyarankan untuk terapi plasma ini. Makin banyak alternatif maka kita juga makin tenang," kata Prof Yuwono saat dibincangi Tribun Sumsel secara khusus di RS Pusri, Senin (18/1/2021)
Lebih lanjut ia mengatakan, seperti yang diketahui sudah banyak pejabat yang kritis terus meningal, bukan karena dia pejabat tapi karena dia dibutuhkan oleh masyarakat karena jabatannya itu, maka kalau memang ada terapi seperti ini why not kan.
Prof Yuwono pun menjelaskan, apa itu plasma konvalesen. Darah itu ada dua komponen, yaitu sel-sel darah dan cairannya. Untuk sel misalnya sel darah merah, sel darah putih, trombosit itu bagian padatnya. Sedang bagian cairannya disebut serum/plasma. Itu isinya terutama protein, nah protein utama disitu adalah protein globulin, salah satunya antibodi.
"Jadi plasma konvalesen artinya mengacu pada, bahwa seseorang mengandung antibodi. Dalam konteks Covid-19 berarti orang ini mengandung antibodi terhadap Covid-19," katanya.
Lalu sapa yang punya itu, yaitu orang yang sudah pernah Covid-19 dan sembuh. Jadi kalau yang pernah kena Covid-19 dan sembuh dia punya plasma antibodi terhadap Covid-19.
"Dalam kedokteran, seorang dokter merawat pasien itu harus usaha setinggi-tingginya dan sebagus-bagusnya, sesuai kaidah ilmiah," ungkapnya.
Ia pun mencontohkan, kalau ada penderita Covid-19, itukan obat secara spesifiknya belum ada, tapi tetap harus usahakan apa yang medekati spesifik. Misal dilakukan dengan pengobatan cara lain seperti menggunakan plasma. Jadi terapi plasma ini digunakan supaya orang yang sakit tadi mendapatkan antibodi dari orang yang sembuh dari Covid-19.
"Memang beberapa kasus ada bukti bisa menyembuhkan orang-orang yang sakitnya berat dengan Covid-19 ini. Tapi ada juga penelitian yang menyebutkan, bahwa ini tidak beda dengan terapi biasa, diberi antivirus dan lain-lain. Maka seseorang dokter tentu mempertimbangkan apapun demi kebaikan pasien, maka terapi plasma ini bisa jadi salah satu pilihan," kata Prof Yuwono.
Menurutnya, kalau terkait penelitian tentang kemampuan plasma ini bukan dibilang tidak ampuh, tapi tidak berbeda dengan terapi biasa yang pakai antivirus dan lain-lain. Namun manusia itukan patut berusaha, sapa tahu dengan terapi plasma konvalesen ini lebih cocok ketimbang terapi yang lainnya.
"Saya juga ada mendengar di Sumsel ini saja, ada sejawat saya yang dulu sempat kritis dan diterapi pakai plasma ini baik dia, sembuh. Tapi ada juga yang lainnya terapi dengan cara lainnya juga baik. Maka plsma ini termasuk usaha atau opsi yang cukup bagus," ungkapnya.
Prof Yuwono menceritakan, sebenarnya sejarahnya, bahwa terapi plasma ini terapi yang paling kuno. Jadi orang zaman dulu sudah pakai terapi plasma ini, misal cacar atau penyakit lainnya kalau ada kemungkinan untuk dimasukkan darahnya maka dimasukkan. Jadi ini memang terapi yang sangat kuno, meskipun kuno tapi sampai sekarang ini diakui medis itu ilmiah dan memang bisa dipertanggung jawabkan.
"Namun masalahnya, bahwa kita harus memastikan plasma yang dimasukan itu benar-benar aman. Kalau tidak aman ya jangan sampai dimasukan," katanya.
Masih kata Prof Yuwono, artinya begini, orang yang sudah sembuh Covid-19 berarti plasmanya bisa untuk terapi. Namun orang ini ternyata ada hepatitis, maka kemungkinannya virus itu bisa masuk. Untuk itu plasma ini harus yang benar-benar aman, dan skriningnya harus bagus. Artinya penyiapan plasmanya harus bagus.
"Inilah mungkin kendalanya di Sumsel memang harus didedikasikan untuk prosesing plasmanya, termasuk tidak mudah untuk mendapatkan donornya. Contohnya dari 10 orang yang pernah terkena Covid-19 dan sembuh belum tentu 10 nya ini memenuhi syarat," katanya.
Sebab, ada titer dengan kadar tertentu yang bisa digunakan untuk terapi. Kalau tidak cukup artinya hanya bisa untuk dirisendiri dan tidak bisa didonorkan.
Namun, apapun itu yang dimasukkan berupa obat, nutrisi, vaksin, makanan dan lain-lain menurut Prof Yowono itu pasti punya efek samping. Efek samping yang sering muncul itu inkompatibel atau tidak cocok.
"Ada faktor-faktor lain yang kita tidak tahu, sehingga suatu saat akan menimbulkan inkompatibel, reaksinya biasanya dalam bentuk alergi seperti gatal-gatal. Kalau yang beratnya bisa sampai pingsan," jelasnya.
Menurut Prof Yuwono, berdasarkan standar WHO, yang ringan dan sedang sebaiknya isolasi mandiri saja. Artinya yang seperti itu tidak perlu terapi plasma. Bahkan tidak perlu obat-obatan yang begitu berat, yang bakal berefek tidak baik untuk tubuhnya. Maka terapi plasma ini biasanya digunakan untuk yang berat atau bahkan kritis.
"Tahun lalu saya sudah pernah bilang, di Sumsel ini kan yang sembuh sudah banyak. Artinya itu berpotensi. Misal yang sembuh 13 ribu, dari 80 persen yang sembuh, yang layak untuk donor plasma 10 persen artinya ada ratusan orang yang berpotensi untuk donor plasma. Maka itu cukup banyak, maka saya pikir ini layak dan bagus untuk dipikirkan," katanya.
Untuk itu Rumah Sakit Pusri pun saat ini masih dalam kajian untuk melakukan itu. Namun untuk menyediakan itu bukan hal mudah, sebab butuh dana cukup besar. Setidaknya Rp 10 miliar, sebab banyak peralatan pendukung dan lainnya yang harus dilengkapi.
"Namun banyak yang harus disiapkan seperti tempatnya, alat-alatnya dan SDM nya. Tapi seperti yang kita ketahui bahwa otoritas bang darah itu PMI. Mereka punya teknologi dan pengalamannya. Jadi tentu saja ini akan ada syarat-syarat yang harus kita penuhi," cetusnya.
Namun menurut Prof Yuwono, mereka tidak hanya sekedar memikirkan alat-alatnya, namun juga siapa pendonornya dan lain-lain. Maka pendapatannya harus bagus.
"Bahkan kita sudah sempat membahas untuk mendirikan paguyuban orang-orang yang pernah kena Covid-19, supaya mudah dikontak jika dibutuhkan. Jadi memang ini bukan hal yang mudah," ungkapnya.
Menurutnya, Covid-19 ini bukan penyakit yang datang dan terus pergi, tapi ini lama. Termasuk vaksinasi yang membutuhkan waktu bertahun-tahun, paling tidak seperti kata Menkes butuh waktu 3,5 tahun kedepan. Jadi apapun usaha untuk mencegah orang sakit itu bagus.
Lalu ketika ditanya, untuk plasma darah yang dibandrol satu kantong Rp 2,5 juta dan artinya dua kantong Rp 5 juta menurut Prof Yuwono, jangan dilihat soal mahal atau tidaknya. Sebab semua aspek yang ada di kedokteran ini bukan aspek bisnis, hubungannya itu terapeutik yaitu hubungan pengobatan.
Jadi kalau memang harganya segitu, karena keterbatasan ketersediaan. Lalu prosesing untuk itu tidak murah, bahkan kadang-kadang itu bisa dibilang tidak balik modal. Namun demi kemanusiaan, maka pertimbangannya nyawakan mahal.
Memang mungkin bagi orang yang kaya itu tidak masalah, namun bagi orang yang miskin bagaimana? Nah itulah perlunya regulasi dari pemerintah, untuk menjaminnya.