Berita Eksklusif Tribun Sumsel

Ibu-ibu Memeras Lumpur, Mengais Rezeki di Tambang Ilegal , Berkali-kali Terbakar Warga Tak Kapok

Ibu-ibu yang tidak punya pekerjaan, mereka datang ke sini bawa kain sama jerigen, mereka memeras minyak yang bercampur lumpur, dapatlah dikit-dikit

Penulis: Rahmat Aizullah | Editor: Vanda Rosetiati
TRIBUN SUMSEL/RAHMAT AIZULLAH
Ibu-ibu memeras lumpur yang bercampur minyak di lokasi tambang minyak rakyat di Desa Beringin Makmur II, Kecamatan Rawas Ilir, Kabupaten Musi Rawas Utara (Muratara), Minggu (15/11/2020). === 

TRIBUNSUMSEL.COM, MURATARA - Tambang minyak ilegal di Desa Beringin Makmur II, Kecamatan Rawas Ilir, Kabupaten Musi Rawas Utara (Muratara) masih beraktivitas.

Meski sudah dilarang pemerintah dan aparat kepolisian, namun warga tetap melakukan pengeboran minyak dengan alasan kebutuhan hidup.

Padahal lokasi pengeboran minyak ini berada di depan kantor Camat atau belakang kantor Koramil dan tak jauh dari kantor Polsek.

Bahkan di sekitar lokasi tambang terdapat beberapa rumah warga dan juga ada Sekolah Menengah Atas (SMA) dengan jarak sekitar 200 meter.

Penambangan minyak secara ilegal ini hampir menelan korban jiwa, namun beruntung para penambang masih jauh dari mara bahaya.

Di lokasi tambang tersebut sudah terjadi kebakaran sebanyak tiga kali sejak awal mulai beraktivitas pada Juli 2020 lalu.

Pertama kali terjadi kebakaran pada 30 Agustus, kemudian tanggal 16 Oktober, dan yang terbaru pada 5 November tadi.

Kebakaran pertama dan kedua tak ada korban, namun yang terjadi 5 November mengakibatkan dua orang mengalami luka bakar cukup serius.

Salah seorang penambang, Ubai mengatakan kebakaran yang terjadi sebanyak tiga kali itu karena keteledoran penambang yang tidak memperhatikan keselamatan.

"Tiga kali kebakaran itu bukan sumur bor, tapi kolam penampungan minyak, penyebabnya karena percikan api waktu menghidupi mesin saat mau memindahkan minyak," kata Ubai, Minggu (15/11).

Ia mengaku akan selalu berhati-hati saat melakukan pengeboran minyak agar tak terjadi insiden fatal seperti yang dialami pengebor lain.

Ubai mengungkapkan lokasi penambangan minyak rakyat ini berada di atas lahan lebih dari satu hektare.

Lahan tersebut merupakan perkebunan kelapa sawit berumur 5-10 tahun milik beberapa orang.

Karena itu kata dia, pengeboran minyak bukan berada pada satu hamparan lahan, melainkan terpisah-pisah namun tak berjauhan.

"Lahannya bukan milik satu orang, banyak yang punya, ada pemilik tanah ngebor sendiri, ada juga dibor orang lain, hasilnya bagi-bagi dengan pemilik tanah," kata Ubai.

Ia mengatakan, pengeboran minyak dilakukan warga secara berkelompok dengan beranggotakan mencapai 30 orang.

"Kami modalnya sama-sama, satu kelompok itu ada yang sampai 30 orang, hasilnya bagi-bagi, kami kerja sendiri, tidak ada bos (cukong)," ungkapnya.

Ubai menambahkan pendapatannya dalam sehari tak menentu, terkadang banyak namun tidak jarang hanya mendapatkan minyak sedikit.

"Dapatnya tidak tentu, tergantung rejeki, kadang sehari cuma satu drum (200 liter), harga satu drum 650 ribu, kadang sudah banyak biaya habis ternyata tidak ada minyak, terpaksa pindah titik lain, biaya lagi," ceritanya.

Penambang lain, Bustomi mengatakan sejak beraktivitas pada Juli 2020 lalu, tambang minyak rakyat tersebut sudah menjadi sumber penghidupan banyak orang.

Menurut dia, para pengebor sangat berharap lokasi pengeboran minyak itu tidak ditutup, namun dilegalkan agar warga dapat menikmati isi bumi.

"Banyak warga makan di sini, harga karet murah, kerja di perusahaan di-PHK, kalau ini ditutup apa tidak kasihan, ini urusan perut, kami mohon janganlah ditutup," pintanya.

Diakui Bustomi, adanya pengeboran minyak mendatangkan rejeki bagi banyak orang, sehingga warga yang mendapat berkah dari tambang rakyat itu kecewa bila tambang ditutup.

Tak hanya bagi pengebor, bahkan warga yang tidak memiliki lahan dan modal untuk mengebor pun kebagian rejeki dari adanya penambangan minyak tersebut.

"Ibu-ibu yang tidak punya pekerjaan, mereka datang ke sini bawa kain sama jerigen, mereka memeras minyak yang bercampur lumpur, dapatlah dikit-dikit untuk dijual, uangnya buat makan," kata Bustomi.

Salah seorang wanita pemeras lumpur, Tri Jaya mengatakan sudah beberapa bulan ia melakoni pekerjaan itu untuk mencari pundi-pundi rupiah.

"Saya sudah lama begini, kalau orang lain mungkin tidak mau, karena kotor, badan kita lumpur semua, yah beginilah cari uang, saya dulu kerja di perusahaan sawit kena PHK," ujarnya.

Tri Jaya mengungkapkan pendapatannya dari mengumpulkan minyak dengan cara memeras lumpur tidak menentu.

"Saya mulai dari jam enam pagi tadi sampai sore ini cuma dapat satu jerigen (35 liter), kalau dijual nanti satu jerigen ini uangnya 80 ribu rupiah," ungkapnya.

Wanita pemeras lumpur lainnya, Maya mengatakan, mereka memeras lumpur bercampur minyak yang keluar melimpah dari sumur bor saat pengeboran.

Maya menjelaskan caranya dengan menempelkan kain ke lumpur yang bercampur minyak lalu diperas ke dalam ember.

"Tunggu beberapa menit dalam ember, nanti lumpurnya turun, terus kita ambil pelan-pelan minyaknya pakai gayung, baru disaring masuk ke dalam jerigen," jelasnya.

Plt Camat Rawas Ilir Herman Suandi menyatakan unsur Tripika sudah berulang kali sosialisasi secara preventif kepada para penambang agar berhenti beraktivitas.

"Sudah kita ingatkan agar tidak lagi aktivitas di sana, tapi alasan mereka mau makan, kita juga tidak punya kewenangan untuk menutup," ujarnya.

Herman menegaskan pihaknya tidak pernah memberikan izin kegiatan penambangan minyak secara ilegal tersebut.

Saat ini kata Herman, pemerintah dan pihak-pihak terkait tengah memikirkan solusi terbaik untuk menertibkan penambangan rakyat itu.

"Masih dipikirkan bagaimana solusi terbaiknya, yang jelas kita berharap semoga tidak ada hal-hal buruk dari aktivitas pengeboran minyak ini," katanya.

Herman mengungkapkan jumlah sumur bor dan penambang di lokasi tambang minyak rakyat tersebut sudah berkurang sejak dua bulan terakhir.

"Kalau baru-baru waktu itu memang banyak, kami mencatat ada sekitar 21 sumur, mungkin lebih, tapi sekarang sudah jauh berkurang, sepertinya tidak sampai 10 sumur lagi yang masih aktif," ungkapnya.

Kapolsek Rawas Ilir Iptu Abdul Karim mengatakan, kepolisian sudah berupaya melakukan sosialisasi secara preventif kepada para penambang.

"Berulang kali kita ingatkan agar tidak lagi melakukan aktivitas penambangan minyak secara ilegal di sana, tapi alasan mereka mau makan," ujarnya.

Ia mengungkapkan, adanya aktivitas pengeboran minyak ilegal tersebut memang berbahaya, bahkan juga bisa mencemari lingkungan.

"Tripika Kecamatan Rawas Ilir sudah melakukan rapat bersama dengan para penambang, memang mau ditutup, tapi alasan mereka mau makan, kita masih cari solusi terbaik," kata Abdul Karim.

Seorang ibu memeras lumpur yang bercampur minyak di lokasi tambang minyak rakyat di Desa Beringin Makmur II, Kecamatan Rawas Ilir, Kabupaten Musi Rawas Utara (Muratara), Minggu (15/11/2020). 
===
Seorang ibu memeras lumpur yang bercampur minyak di lokasi tambang minyak rakyat di Desa Beringin Makmur II, Kecamatan Rawas Ilir, Kabupaten Musi Rawas Utara (Muratara), Minggu (15/11/2020). === (TRIBUN SUMSEL/RAHMAT AIZULLAH)

Pengurus Asosiasi Pertambangan Rakyat Indonesia (APRI) Kabupaten Muratara, Subandri mengatakan tambang minyak rakyat itu ada sisi positif dan negatifnya.

"Kalau kita lihat sisi positifnya bahwa ada dampak aspek ekonomi, negatifnya tentu ada, seperti kejadian baru-baru ini tadi, kebakaran sampai ada yang luka bakar," katanya.

Ia menyarankan, pemerintah dan aparat kepolisian duduk bersama dengan para penambang untuk mencari solusi yang terbaik.

Keinginan para penambang kata Subandri, adalah bagaimana caranya bisa mengambil dan mengelola sendiri sumber daya alam yang ada dengan aman.

"Para penambang ini kepingin mereka diberikan edukasi sehingga bisa menikmati kekayaan alam dengan aman, jauh dari bahaya," katanya.

Subandri menegaskan, tambang minyak rakyat tersebut adalah sumber ekonomi masyarakat, meskipun secara aturan melakukan pelanggaran.

Masyarakat ingin penambangan itu menjadi legal, aman, ramah lingkungan, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

"Secara aturan memang ini pelanggaran, tetapi para penambang tidak melihat itu, kalau bisa diminimalisir dampaknya kenapa tidak, karena masyarakat mau makan," ujarnya.

Ketua DPRD Kabupaten Muratara, Efriyansyah mengatakan secara aturan tambang minyak ilegal tersebut memang tidak dibenarkan.

Namun di sisi lain kata dia, adanya tambang rakyat itu sangat bermanfaat bagi masyarakat sebagai sumber penghidupan.

"Memang itu tidak boleh dibiarkan terus, apalagi sudah ada korban (luka bakar), tapi masyarakat butuh makan," katanya.

DPRD Muratara akan melakukan rapat bersama stakeholder terkait untuk mencari solusi terbaik.

Sebelum itu kata Efriyansyah, ia akan memerintahkan Komisi III DPRD Muratara untuk melihat langsung penambangan rakyat itu.

"Untuk sekarang kita serahkan kepada aparat kepolisian, sembari kita mencari solusinya," ujar dia.

Pjs Bupati Muratara SA Supriono mengatakan penambangan minyak secara ilegal memang tidak dibolehkan secara aturan.

"Sebenarnya kami berharap mereka tidak melakukan itu, karena selain berbahaya juga bisa mencemari lingkungan," katanya.

Menurut dia, para penambang seharusnya bisa dihimpun oleh lembaga terkait, sehingga penambangan tersebut menjadi legal.

Pemkab Muratara kata Supriono, akan berkoordinasi dengan Pemprov Sumsel dan kementerian terkait untuk mencari solusi terbaik menyelesaikan permasalahan ini.

"Karena masalah ini kewenangannya bukan pemerintah daerah lagi, tapi kewenangan pemerintah provinsi dan kementerian," katanya.

Ikuti Kami di Google

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved