Gelombang Kedua Covid-19 Lebih Mematikan, Presiden Prancis Lakukan Lockdown Untuk Kedua Kalinya
Gelombang Kedua Covid-19 Lebih Mematikan, Presiden Prancis Lakukan Lockdown Untuk Kedua Kalinya
Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNSUMSEL.COM, PARIS - Ditengah gencarnya produk Prancis yang diboikot oleh negara muslim di dunia, usai pernyataan Presiden Prancis, Emmanuel Macron yang dianggap menghina agama Islam.
Kini, masalah virus corona di Prancis malah semakin menyebar.
Presiden Prancis Emmanuel Macron akan memberlakukan kembali sistem penguncian (lockdown) nasional mulai Jumat besok, untuk menekan angka penyebaran virus corona (Covid-19).
Dalam pidatonya pada Rabu kemarin waktu setempat, Macron menjelaskan bahwa universitas dan sekolah akan diminta untuk melakukan pengajaran secara online.
Selain itu, perjalanan antar daerah pun akan dilarang, warga diharapkan kembali bekerja dari rumah atau work from home (WFH) dan batas luar Wilayah Schengen tetap ditutup.
"Gelombang kedua pandemi di Prancis akan lebih parah dan mematikan daripada yang pertama," kata Macron.

Ia menambahkan bahwa ada lebih dari 35.785 orang di negara itu telah meninggal sejak awal pandemi.
Sementara itu dalam 24 jam terakhir saja, ada lebih dari 36.000 orang telah terinfeksi.
Dalam waktu 24 jam pada Selasa lalu, pejabat kesehatan negara itu mengatakan ada lebih dari 500 kematian terkait virus ini, angka harian tertinggi dicapai sejak April 2020.
Menurut Macron, langkah-langkah tersebut diperkirakan akan tetap berlaku hingga 1 Desember mendatang.
Dikutip dari laman Sputnik News, Kamis (29/10/2020), jika situasi membaik dalam waktu 15 hari, pemerintah Prancis akan mempertimbangkan kembali untuk membuka beberapa toko.
Secara umum, bagaimanapun juga, langkah-langkah tersebut diharapkan tetap diberlakukan hingga angka infeksi harian turun dari 40.000 per hari menjadi sekitar 5.000 per hari.
Presiden Federasi Rumah Sakit Prancis Frederic Valletoux mengatakan pada Rabu kemarin bahwa pemerintah tidak belajar dari semua peristiwa yang terjadi selama pandemi.
"Pemerintah tidak memperhitungkan gelombang pertama dan tidak mempelajari semua yang terjadi," kata Valletoux.