Berita Eksklusif

Waspada Anak Kecanduan Gadget, Picu Pelecehan Seksual Sampai Potensi Gangguan Jiwa

Kecanduan gawai mulai menjadi ancaman serius, tak hanya bagi penggunanya, orang lain juga rentan jadi korban

Penulis: Yohanes Tri Nugroho | Editor: Wawan Perdana
tribunsumsel.com/khoiril
Ilustrasi Anak Main Smartphone 

TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG-Kecanduan gawai mulai menjadi ancaman serius, tak hanya bagi penggunanya, orang lain juga rentan jadi korban.

Orangtua tidak memahami tanda-tanda anak kecanduan gawai sehingga telat melakukan langkah penanganan.

Tribun mengunjungi Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kota Palembang. Dari 94 orang penghuni, terbanyak atau 26 orang diantaranya terjerat dalam kasus perlindungan anak.

Satu di antaranya, SD atau Tompel (20). Tompel telah menghuni LPKA selama tiga tahun terakhir. Pada usia 17 tahun tompel terjerat kasus pelindungan anak sehinga dijatuhi hukuman 6 tahun penjara.

Tompel dipenjara dilatarbelakangi gawai yang dimilikinya.

Gawai menyediakan semuanya termasuk konten konten dewasa.
Kebiasaan itu membuat pemuda asal Sekayu Muba ini berpikir bagaimana bisa mencoba berbagai adegan di dalam film dewasa yang digemarinya.

Padahal saat itu ia masih duduk di bangku sekolah kelas 3 SMA.
"Awalnya pacar tidak mau diajak seperti itu. Setelah aku bujuk terus dan aku yakinkan bila hamil aku akan tanggung jawab akhirnya dia mau," ungkap Tompel.

Terlebih pacarnya itu mengekost dan jauh dari orangtua, sehingga Tompel lebih leluasa.

Tompel pun berpikir untuk mencari pacar lain.

Awalnya pacar kedua Tompel menolak ketika diajak intim.

Dengan bujuk rayu, Tompel lagi-lagi berhasil. Dia mengajak ke penginapan.

"Kalau yang pertama, kami sudah pacaran selama satu tahun lebih. Kalau yang kedua, kami pacaran selama 9 bulanan. Pacar yang pertama, itu kalau tidak salah kurang lebih tujuh bulanan selalu melakukan hubungan," katanya.

Sementara yang kedua sudah mau meski baru pacaran sebulan.

Aksi Tompel terbongkar. Teman pacarnya itu melapor ke orangtua pacarnya.

Tompel berjanji akan membawa kedua orangtuanya untuk bertemu dengan orangtua dari kedua pacarnya itu.

"Aku datang sama orangtua ke rumah pacar pertama dan pacar kedua. Aku minta, mereka menikahkan aku dengan pacar-pacar aku. Tetapi, salah satu dari orangtua pacar aku tidak mau dan memutuskan untuk melaporkan aku ke polisi," ungkapnya.

Akhirnya, orangtua dari kedua pacar Tompel memutuskan melaporkan Tompel ke polisi dengan tuduhan melarikan anak di bawah umur.

Saat sedang sekolah, Tompel dijemput polisi dan dijebloskan ke penjara.

Tompel divonis hukuman penjara selama 6 tahun atas dakwaan melarikan anak di bawah umur dan melakukan pencabulan. Saat ini diatelah menjalani hukumannya lebih dari 3 tahun.

"Menyesal memang selalu datang belakangan. Aku sama sekali tidak pernah terpikir, bila perbuatan aku bisa membawa aku ke penjara. Karena pengaruh film dan hanya taunya ingin merasakan dan mencoba, akhirnya aku di sini," ungkapnya.

Kasat Reskrim Polresta Palembang Kompol Yon Edi Winara menjelaskan, dari data yang ada di Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Satreskrim Polresta Palembang, kasus pelecehan seksual yang terjadi pada anak di bawah umur khususnya korban perempuan terjadi paling tinggi pada 2016.

Di tahun ini, kasus pemerkosaan atau persetubuhan sebanyak 82 kasus dan pencabulan sebanyak 52 kasus.

Sedangkan untuk 2017, ada 56 kasus pemerkosaan dan 55 kasus pencabulan.

Namun, di 2018 mengalami penurunan untuk kasus pemerkosaan sebanyak 44 kasus dan pencabulan 45 kasus.

Pada 2019 hingga bulan Oktober, terdata sebanyak 21 kasus persetubuhan dan 4 kasus pencabulan.

"Kasus tindak asusila memang lebih cenderung korbannya perempuan baik itu anak maupun perempuan. Pelakunya bisa beragam mengenai motif, meski dalam penanganannya pasal yang dikenakan sama," ujar Yon.

Lanjut Yon, motif-motif dari para pelaku beragam seperti pengaruh negatif film dewasa ataupun karena adanya masalah yang muncul dari hubungan yang berlangsung. Ketika itulah, muncul tindakan untuk melakukan tindak asusila.

Terlebih dengan gampangnya mencari aplikasi-aplikasi negatif, ini juga yang dapat mempengaruhi psikologis seseorang untuk melakukan tindak asusila. Dari itulah, pengaruh konte-kontan negatif untuk mencoba sampai bertindak melanggar hukum.

"Kasus-kasus yang korbannya anak atau perempuan, selalu menjadi atensi kami untuk dapat diungkap. Seperti kasus pelajar SMA yang awalnya dilaporkan hilang dan ternyata dilarikan pacarnya, ini juga menjadi atensi dan bisa terungkap termasuk menangkap tersangkanya," kata Yon.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved