Langit Merah di Jambi Padahal Masih Siang, Ini Penyebabnya, Pernah Terjadi di OKI Tahun 2015
Langit Merah di Jambi Padahal Masih Siang, Ini Penyebabnya, Pernah Terjadi di OKI Tahun 2015
Tidak hanya itu, salah satu akun Instagram Makassar Info, @Makassar_.iinfo juga menyampaikan bahwa fenomena langit merah terjadi di Desa Pulau Mentaro, Kecamatan Kumpe, Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi.
Hingga kini video tersebut telah disukai sebanyak 33.700 kali oleh pengguna Instagram lainnya.
Terpisah, Plt Kepala Pusat Data dan Informasi (Kapusdatin) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Agus Wibowo menyampaikan bahwa kejadian langit kemerahan ini pernah terjadi di Ogan Komering Ilir (OKI) Sumatera Selatan pada tahun 2015.
"Tahun 2015 di OKI lokasi titik api paling besar dan tidak bisa dipadamkan, warnanya seperti itu oranye kemerahan," ujar Agus kepada Kompas.com, Sabtu (21/9/2019).
Menurutnya, terjadi perubahan warna pada langit ini diakibatkan karena asap dan api yang menyala di dekat daerah yang terdampak.
Selain itu, Agus mengatakan bahwa dampak yang terjadi dari fenomena ini adalah jarak pandang yang pendek.
Agus mengungkapkan bahwa warna merah terjadi karena pergerakan kabut asap dari titik api atau hotspot.
"Warna merah tersebut merupakan kabut asap yang bergerak dari hotspot yang ada di provinsi bagian selatan Provinsi Riau," ujar Agus.
Menurutnya, titik api ini sudah ada sejak pertengahan Agustus 2019.
Hamburan Rayleigh
Di sisi lain, astronom amatir Indonesia, Marufin Sudibyo menjelaskan bahwa fenomena langit berwarna merah bukanlah disebabkan tingginya suhu atau pengaruh api.
"Ini nampaknya fenomena Hamburan Rayleigh. Hamburan Rayleigh itu hamburan elastis pada cahaya oleh partikel-partikel mikro/nano di udara yang ukurannya lebih kecil dari panjang gelombang cahaya tampak," ujar Marufin saat dikonfirmasi terpisah Kompas.com, Sabtu (21/9/2019).
Marufin mengungkapkan bahwa fenomena ini umum dijumpai.
Pasalnya, fenomena Rayleigh ini menjadi penyebab langit berwarna biru pada siang hari dan memerah kala senja atau fajar.
"Dalam kasus Jambi ini, kepadatan partikel-partikel mikro/nano di udara nampaknya cukup besar sehingga lebih padat ketimbang konsentrasi partikel pada udara normal," ujar Marufin.