Per 1 Agustus 2019, 5,2 Juta Penerima BPJS BPI Se-Indonesia Dinonaktifkan, Warga Palembang Terimbas
Peserta BPJS kesehatan penerima bantuan iuran (PBI) mulai di non aktifikan per 1 agutus 2019 Hari ini.Penerapan kebijakan ini disesuaikan dengan Su
Penulis: Mochamad Krisnariansyah | Editor: Kharisma Tri Saputra
TRIBUNSUMSEL.COM -- Peserta BPJS kesehatan penerima bantuan iuran (PBI) mulai di non aktifikan per 1 agutus 2019 Hari ini.
Penerapan kebijakan ini disesuaikan dengan Surat Keputusan Menteri Sosial Nomor 79 Tahun 2019 tentang penonaktifan dan perubahan data peserta penerima bantuan iuran jaminan kesehatan.
Adapun 5,2 Juta peserta yang tergabung dalam PBI resmi distop layanan kesehatan.
Peserta PBI yang dinonaktifkan 114 ribu tercatat sudah meninggal dunia.
Sedangkan peserta lainnya mereka yang sejak 2014 tidak pernah mengakses layanan kesehatan ke faskes yang telah ditentukan.
Diketahui peserta PBI seIndonesia sebanyak 96,8 juta jiwa.
Dimana Angka itu setara dengan 36 persen penduduk Indonesia yang secara total berjumlah 264 juta jiwa.

Sebelumnya Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati meminta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial ( BPJS) Kesehatan segera melakukan perbaikan sistem BPJS Kesehatan secara menyeluruh.
Hal Ini menyusul adanya indikasi kecurangan alias fraud sehingga berpotensi menyebabkan BPJS kesehatan defisit Rp 28 triliun hingga akhir tahun 2019.
"Sudah saya sampaikan bahwa sesuai dengan temuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), kami mengharapkan BPJS mengadakan semua perbaikan di semua aspek," kata Sri Mulyani Indrawati di Jakarta, Rabu (31/7/2019).
Adapun perbaikan itu meliputi kepesertaan, tagihan, referral, aturan mengenai manfaat, dan registrasi terutama untuk kelompok masyarakat yang bukan penerima upah tetap serta hubungannya dengan Pemda.
"Itu semua perlu dibahas antara BPJS Kesehatan dengan Kementrian Kesehatan.
Kita juga akan mengevaluasi sistemnya terkait peningkatan peranan Pemda di pengelolaan sistem jaminan kesehatan," ungkap Sri Mulyani.
Sebelumnya diberitakan, BPJS Kesehatan mengalami defisit sebesar Rp 28 triliun. Adapun defisit tersebut terjadi karena adanya kecurangan (fraud) over claim dalam sistem pelayanan BPJS Kesehatan.

Over klaim itu pun terjadi dalam keseluruhan sistem BPJS Kesehatan mulai dari data kepesertaan, sistem rujukan, dan tagihan.
Untuk itu, pemerintah sepakat untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan.
Namun saat ini besaran iuran tersebut masih dibicarakan, dikaji, dan diseimbangkan untuk berbagai segmen masyarakat.
Atasi Kecurangan di BPJS.
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial ( BPJS) Kesehatan menyebut pihaknya sudah melakukan upaya pencegahan kecurangan (fraud) di program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Upaya pencegahan ini menurut Kepala Humas BPJS Kesehatan Iqbal Anas Ma'ruf, sudah dilakukan sejak lama. Pedomannya adalah Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 36/2015 tentang Pencegahan Fraud Dalam Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Pada Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Dia menyebut, dalam Peraturan Presiden No. 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan juga diamanatkan soal upaya pencegahan fraud dalam program JKN.

BPJS sendiri sudah menelurkan Peraturan BPJS No 7/2016 tentang Sistem Pencegahan Fraud Dalam Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan. Peraturan ini mulai berlaku sejak 1 Januari 2017.
"BPJS Kesehatan juga sudah membentuk tim pencegahan kecurangan yang ada di kantor cabang sampai pusat," kata Iqbal seperti dikutip dari Kontan, Rabu (31/7/2019).
BPJS Kesehatan juga memiliki sistem deteksi fraud. Di antaranya dengan mengamati prilaku rumah sakit dalam mengajukan klaim. "Misalnya, kok rumah sakit ini selalu klaim menggunakan coding tertentu," sebutnya.
Tidak bisa sendirian Namun, untuk membuktikan dugaan fraud tersebut, BPJS Kesehatan tidak bisa bergerak sendiri.
Melainkan menggandeng dinas kesehatan setempat, organisasi profesi, dan perhimpunan rumah sakit. Jika terbukti melakukan fraud, klaim yang diajukan akan ditolak.
"Kami selalu melakukan audit klaim tagihan yang sudah dibayarkan. Kalau terbukti fraud, kami akan minta dikembalikan tagihannya," kata Iqbal. Baca juga: Ada Indikasi Kecurangan, Pemerintah Minta BPJS Kesehatan
Perbaiki Sitem JKN Sanksi tegas diberikan kepada rumah sakit yang melakukan fraud juga. Atas pelanggaran lain rumah sakit bisa diberikan peringatan hingga tiga kali.
Tetapi jika menyangkut fraud, peringatannya hanya sekali. Rumahs akit itu juga bisa langsung diputus kontrak kerja samanya dengan BPJS Kesehatan
. Iqbal mengakui, kasus fraud dalam program JKN memang berkontribusi terhadap defisit BPJS Kesehatan.
Namun, berdasarkan temuan BPJS Kesehatan selama ini, nilainya tidak signifikan. "Jumlahnya tidak sebanyak yang kita bayangkan," kata Iqbal.
Cuma, dia mengaku sulit untuk menyebut nilai pasti kontribusi fraud dalam defisit BPJS Kesehatan. Karena pembuktiannya tidak mudah dan BPJS tidak bisa melakukannya secara sepihak.(*)