Sidang Komisioner KPU Palembang
Sidang Komisioner KPU Palembang, Saksi Ahli Sebut Ada Unsur Kesengajaan Hilangkan Hak Suara
Sidang ketiga dugaan perkara pemilu dengan terdakwa lima komisioner KPU Palembang digelar di pengadilan negeri kelas 1 A kota Palembang
Penulis: Shinta Dwi Anggraini |
TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG-Sidang ketiga dugaan perkara pemilu dengan terdakwa lima komisioner KPU Palembang digelar di pengadilan negeri kelas 1 A kota Palembang, Selasa (9/7/2019).
Kali ini agenda sidang menghadirkan saksi ahli dari jaksa penuntut umum (JPU).
JPU menghadirkan ahli hukum pidana dari universitas Muhammadiyah Palembang Dr Sri Sulastri dan Dr Ridwan ahli tatanegara dari universitas Sriwijaya.
Pada sidang kali ini, seorang kuasa hukum terdakwa sempat dibuat bungkam oleh saksi ahli Sri Sulastri.
Tepatnya saat membahas persoalan terkait surat pernyataan yang ditandatangani ketua Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan menyatakan bahwa Pemilu berlangsung lancar.
• Sidang Komisioner KPU Palembang Berlangsung 13 Jam, Hakim Subur Vertigo Diduga Kelelahan
"Itu yang menandatangani adalah ketua KPPS dan bukan warga. Apakah hak suara saya bisa diwakilkan orang lain," tegas Sri saat menjawab pertanyaan seorang kuasa hukum terdakwa.
Saat ditemui setelah persidangan, Sri menjelaskan bahwa menurutnya, sedari awal adanya surat pernyataan yang menyatakan pemilu berjalan lancar adalah sebuah bentuk tindakan sepihak.
Mestinya, kalaupun memang dibuat surat pernyataan, surat tersebut haruslah ditandatangani oleh masing-masing warga. Bukan diwakilkan oleh ketua KPPS.
"Itu kenapa saya tadi bilang ke kuasa hukumnya, apakah bisa hak suara saya diwakilkan orang lain,"ucapnya.
Termasuk dengan alasan KPU Palembang yang tidak mengadakan Pemungutan Suara Lanjutan (PSL).
• Sidang Komisioner KPU Palembang, Terungkap Ketua KPPS Diminta Tanda Tangan Surat Pernyataan
Alasannya karena ada penolakan dari beberapa warga, itu merupakan bagian dari tindakan sepihak.
Sri juga mengungkapkan bahwa pernyataan yang ditandatangani warga memang menyatakan bahwa pemilu berlangsung lancar.
Namun tidak ada pernyataan yang menuliskan menolak dilakukannya PSL.
"Jadi KPPS jangan dijadikan objek. Arah dari terdakwa mengarah pada yang menjadi pemberat untuk melakukan PSL karena ada warga yang menolak, padahal perkara ini tidak mengarah ke sana,"ujarnya.
Dia menegaskan, semestinya, apapun kendala yang terjadi, PSL sebagai bagian dari pemilu tetap harus dilakukan. Walaupun nantinya saat diselenggarakan tidak ada satupun warga yang hadir.
"Kalau memang sudah dilakukan dan misalnya tidak ada satupun warga yang hadir, KPU akan buat pernyataan bahwa kewajiban sudah dilaksanakan tapi tidak berhasil karena tidak ada warga yang ke TPS. Tapi ini kan penyimpangan, dari rekomendasi pawascam mestinya sebanyak 70 TPS dilakukan psl, menurun drastis jadi 13 TPS dengan alasan penolakan warga,"ujarnya.
• Saksi di Sidang Komisioner KPU Palembang, Rohama Menanti Kiriman Surat Suara Tak Kunjung Datang
Sri mengatakan, semestinya KPU Palembang menindaklanjuti rekomendasi dari Bawaslu.
Karena apabila tidak dilakukan maka akan berbenturan dengan peraturan undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu.
Selain itu, perbuatan para terdakwa juga sudah masuk dalam tindakan pidana. Hal ini karena ada banyak warga yang kehilangan hak pilihnya.
"Kekuarangan surat suara itu unsur kekelaian melaksanakan tugas karena tidak dicek. Tapi setelah ada rekomendasi untuk dilakukan PSL dan tidak dilakukan maka itu jadi unsur kesengajaan,"ujarnya.
"Meskipun yang saya tahu penyelanggara pemilu salah satu yang bertangung jawab adalah KPU. Tapi dilevel mana saya tidak tahu. Namun yang saya tahu DPT sudah ditambah 2 persen untuk menghindari kekurangan,"lanjutnya.
Menurut Sri pasal 510 dan pasal 554 undang-undang no. 7 tahun 2017 tentang penyelenggaraan pemilu yang dijerat sudah tepat.
"Pasal 510 UU Pemilu, menuliskan barang siapa dengan sengaja menghilangkan hak suara warga. Sedangkan untuk Pasal 554 UU Pemilu itu menyatakan jika orang itu yakni penyelengaran. Saya rasa kedua pasal itu sangat tepat dikenakan pada para terdakwa,"ujarnya.
Sementara itu, kuasa hukum terdakwa, Mualimin Pardi, saat ditemui selesai sidang mengatakan terkait surat pernyataan itu merupakan bagian dari proses verifikasi, klarifikasi dan identitas dari KPU terkait adanya usulan rekomendasi dari panwascam.
"Terkait adanya usulan dari pawascam untuk PSL di 70 TPS pada tanggal 20 April. Dan itu langsung ditindaklanjuti oleh KPU dengan keputusan tanggal 21 April yang isinya untuk melakukan identifikasi dan verifikasi, baru kemudian surat pernyataan itu muncul,"ujarnya.
Dia mengatakan, permasalahan ini sebenarnya terkait dengan hukum administrasi.
Tepatnya pada tugas-tugas dan wewenang dari penyelenggaraan pemilu berkaitan dengan PSL atau PSU dan itu mengacu pada pasal 91,92,93 yang diatur pada PKPU No 3 tahun 2019.
"Yang pasti kedua ahli setuju bahwa tindakan pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal 510 tidak terlepas dari hukum administrasi,"ujarnya.
"Ini lebih ke kesalahan administrasi, sehubungan dengan tahapan bukan penyelenggaraan pemilu secara keseluruhan. Tapi tahapan pemilihan suara tanggal 17 April yang dimulai dari jam 7 sampai 13.00 Siang,"sambungnya.