Gempa Donggala

Gempa Donggala, Muncul Lumpur Pencabut Nyawa Disebut Likuifaksi yang Kuburkan Sebagian Wilayah Ini

Gempa Donggala, Muncul Lumpur Pencabut Nyawa Disebut Likuifaksi yang Kuburkan Sebagian Wilayah Ini

kompas.com/rosyid a azhar
Seorang warga menunjukkan rumah beton yang digulung lumpur yang keluar dari perut bumi dan berpindah ratusan meter di Kelurahan Petobo, Kecamatan Palu Selatan, Kota Palu, Sulawesi Tengah, pasca-gempa bermagnitudo 7,4. 

TRIBUNSUMSEL.COM - Gempa Donggala, Muncul Lumpur Pencabut Nyawa Disebut Likuifaksi yang Kuburkan Sebagian Wilayah Ini

 Bencana Gempa Donggala 7,4 SR yang memicu Tsunami Palu ternyata memicu munculnya lumpur pencabut nyawa.

Awalnya publik tidak terlalu tahu munculnya lumpur pencabut nyawa yang disebut likuifaksi yang telah menguburkan sebagian wilayah Kelurahan Petobo, Kecamatan Palu Selatan, Kota Palu, Sulawesi Tengah.

Publik hanya fokus pada guncangan gempa dan terjangan tsunami yang meluluhlantakkan Kota Palu.

Kisah likuifaksi ini awalnya disebarkan para relawan di media sosial seperti yang diposting dr Eka Erwansyah, dosen kedokteran Unhas anggota tim relawan Unhas yang diberi judul: TIGA "PENCABUT NYAWA"

Baca: Ramalan Gempa Megathrust Bakal Terjadi di Pulau Jawa Jadi Viral, BMKG Beberkan Penjelasannya

Kisah Dr Eka Erwansyah, dosen kedokteran Unhas anggota tim relawan Unhas :

Bencana Palu dalam pandangan saya bukan hanya bencana luar biasa, tapi sungguh sangat luar biasa.

Biasanya, dalam suatu bencana hanya ada satu atau dua "pembunuh". Biasanya gempa saja, atau gempa plus tsunami. Bencana Aceh didahului gempa tapi "sang pembunuh" sebenarnya adalah hanya satu yaitu tsunami.

Nah, di Palu ada TIGA "Sang Pembunuh": 
1. Gempa 
Banyak korban tertimbun reruntuhan bangunan.
2. Tsunami 
Sekitar 1.000 org di sekitar pantai sedang persiapan Festival Nomini tersapu oleh tsunami.
3. Lumpur. 
Ada perkampungan yang hilang akibat lumpur yang menyembur dari dalam bumi dan dalam sekejap menenggelamkan satu perkampungan. 
Diperkirakan sekitar 700 orang terkubur hidup-hidup. Ada juga sekitar 200 orang siswa SMA sedang kemah juga terkubur dalam lumpur yang tiba-tiba menyembur dan menimbun mereka. 

Baca: Ratna Sarumpaet Dibilang Dianiaya 21 September Lalu, Kenapa Heboh Sekarang? Ini Jawabannya

Kebetulan saya dan teman-teman yang tergabung dalam Tim DVI Unhas sudah berada di lokasi sejak kemarin pagi. Kampung yang hilang itu Kampung Petobo, daerah Sigi.
Kemarin saat yang menghimpun data ante mortem korban, saya tidak kuasa tahan tangis. 

Seorang bapak yang melaporkan anaknya yang hilang. Dia curhat. Ketika itu antarkan anaknya mengaji. Rumahnya dan rumah tempat mengaji hanya dipisahkan oleh jembatan.

Begitu anaknya didrop, dia balik ke rumahnya. Baru mau masuk ke rumah, tiba-tiba mendengar bunyi bbluuumm...dia balik badan dan hanya melihat hamparan tanah kosong berlumpur. Ke mana perginya rumah-rumah satu perkampungan? Hanya dalam hitungan detik...

NOTE: 
Laa haula wa laa quwwata illa billah. Sungguh merenung diri ini. Betapa kerdil manusia. Bumi ini milik Allah SWT. Tanah, air dan udara berada dalam genggaman-Nya. Sungguh tiada yang bisa menolak ketika Dia berkehendak menggerakkan. Di manapun kita tak bisa memilih jalan selamat. Kecuali jalan taat kepada-Nya. Astaghfirullah. Semoga hamba-hamba yang dipilih menghadap-Nya dalam keadaan husnul khatimah.

Baca: Heboh 56 Siswa Diduga Sayat Tangan Setelah Konsumsi Minuman Torpedo, Ini Pernyataan BNN

Amir (35), warga Kelurahan Petobo, Kecamatan Palu Selatan, Kota Palu, Sulawesi Tengah, kini hanya bisa memandang bukit lumpur yang tiba-tiba muncul ini.

Anak dan neneknya belum ditemukan. Amir (35) 

"Sore itu saya lihat jalan aspal tiba-tiba menekuk-nekuk ke atas seperti gelombang laut disertai gempa yang mengguruh," kata Amir, Senin (1/10/2018).

Jalan aspal, lanjut dia, mulai terlihat berlipat dari arah pesantren, perlahan-lahan mendekat ke arah rumahnya. Gemuruh dan guncangannya seperti dunia ini mau kiamat, lanjut dia.

Baca: Rupiah Hari Ini Anjlok ke Rp 15.000 Per Dollar AS, Ternyata Ini Penyebabnya

Amir yang baru pulang kerja dan hanya menggunakan lilitan handuk lalu menerjang rekahan tanah untuk mencari anak pertamanya. Mertua dan anaknya ini sedang membeli laut untuk makan malam.

"Saya meloncat-loncat dari gundukan aspal yang terangkat untuk mencari mereka," tutur Amir.

Tidak lama kemudian, dari rekahan aspal ini muncul lumpur dari dalam perut bumi.
Perlahan-lahan rumah-rumah di Petobo ambruk dan tenggelam oleh lumpur dari perut bumi.

"Saya lihat seorang ibu menggendong anaknya tenggelam di dalam rekahan. Kami berusaha menolongnya dengan menggali lumpur," kata Amir matanya berkaca-kaca.

Seorang warga Palu menunjukkan sebuah rumah beton yang digulung lumpur yang keluar dari perut bumi dan berpindah ratusan meter di Kelurahan Petobo, Kecamatan Palu Selatan, Kota Palu, Sulawesi Tengah, pasca-gempa bermagnitudo 7,4.
Seorang warga Palu menunjukkan sebuah rumah beton yang digulung lumpur yang keluar dari perut bumi dan berpindah ratusan meter di Kelurahan Petobo, Kecamatan Palu Selatan, Kota Palu, Sulawesi Tengah, pasca-gempa bermagnitudo 7,4.(KOMPAS.com/ROSYID A AZHAR)

Wanita ini hanya menyisakan kepala, sementara tubuhnya sudah ditelan bumi.
Amir menarik kepalanya dan berhasil. Sayangnya anak yang digendongnya tenggelam dalam lumpur.

Hanya itu yang dia ingat. Setelah itu, dia berusaha menyelamatkan diri ke tempat yang aman. Lumpur yang keluar dari perut bumi ini seakan mendapat tekanan yang lebih kuat dari dalam.

Muntahannya membentuk bukit dan menggelamkan sebagian wilayah Petobo. Tidak ada data yang jelas berapa banyak korban yang tenggelam oleh kemunculan lumpur ini.

"Mungkin ada ratusan rumah, Petobo adalah kawasan yang padat penduduk," ujar Amir.

Terik matahari tak dihiraukan, dia terus mencari-cari anak dan mertuanya hingga di puncak bukit lumpur ini.

Amir tidak sendirian menjadi korban gempa bumi dahsyat ini. Ia bersyukur masih bisa menyelamatkan istri dan anak keduanya. Saat ini, keduanya ditempatkan di pengungsian bersama warga yang selamat lainnya.

Dahsyatnya gempa yang memunculkan lumpur ini diceritakan oleh Mahmud. Dia menunjuk sebuah rumah yang tinggal kerangka bajanya.

 Dua orang warga Petobo mengevakuasi harta benda yang bisa diselamatkan setelah lumpur menggelamkan permukiman mereka

Dua orang warga Petobo mengevakuasi harta benda yang bisa diselamatkan setelah lumpur menggelamkan permukiman mereka(KOMPAS.com/ROSYID A AZHAR)

Rumah itu awalnya di dekat sekolah, namun kekuatan lumpur ini telah menyeretnya hingga ratusan meter. Semua yang dilalui lumpur ini ambruk dan terkubur.

"Saya tidak tahu ada berapa orang yang terkubur lumpur ini. Rumah saja bisa mencapai ratusan," kata Amir.

Munculnya bukit lumpur ini menjadi tanda besar bagi warga yang Palu. Bagaimana mungkin perkampungan warga yang harmonis tiba-tiba terkubur lumpur yang keluar dari perut bumi.

Sementara itu, Syamsuddin (51) yang juga warga Petobo kaget setengah mati saat dia pulang kerja di Perumahan Dosen Tadulako menjumpai kampungnya tidak lagu memiliki jalan.

"Saya bingung mau pulang karena jalan yang ada sudah menjadi gunung," kata Syamsuddin.

Dia tidak tahu kabar keluarganya. Dia pasrah.

Syamsuddin menunjukkan papan kayu yang berantakan diobrak-abrik lumpur sebagai patokan rumahnya yang terkubur lumpur.

"Saya sedih, saya hanya bisa berdoa untuk kebaikan semuanya," ujar Syamsuddin.Petaka Petobo adalah duka semuanya. Semua yang ada di sini telah musnah ditelan lumpur.
Tinggal harapan baru yang akan memulai kehidupan kemudian.

Mereka sadar, keluarga yang tersisa adalah masa depan. Termasuk untuk memahami fenomena ini, lumpur yang menyembur dari dalam perut bumi.

Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas di Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut lumpur yang mengubur kelurahan Petobo adalah fenomena alam yang disebut likuifaksi

"Likuifaksi itu lebih kepada larutnya suatu benda padat ke benda cair. Terkait sama gempa bumi ini, di daratan itu kan di bawahnya ada air tanah, begitu ada getaran, barang-barang padat di atas itu akan melarut, teraduk akibatnya getaran. Jadi melarut dengan air tanah di bawahnya," kata Agustan, ahli geologi di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

Likuifaksi diumpamakan Agustan sama seperti saat kita mengaduk air dan pasir di dalam botol. Barang padat seperti pasir akan berubah menjadi cair.

Pada ahli memandang daerah yang terkena gempa pada hari Jumat (28/09) memang rawan terjadinya likuifaksi karena susunan tanah yang berpasir.

"Pada umumnya itu terjadi pada tanah yang berpasir. Dia harus jenuh air, mudah terendam air. Ketika dia mengalami guncangan maka air itu akan memiliki tekanan yang berlebih karena dia mendorong ke sana kemari dan mendorong partikel pasir atau tanah yang tidak lengket," kata Taufiq Wira Buana, peneliti Badan Geologi, kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM).

Tanah semacam itu biasanya yang mudah bersentuhan dengan air.

"Air biasa, air yang ada di dalam tanah itu, mungkin masyarakat umum mengonsumsinya sebagai air tanah. Memang syaratnya, air itu biasanya dangkal, dekat dengan permukaan tanah, kisaran lebih kurang 10 meter," sambung Taufiq.

Likuifaksi, gempa, palu

BADAN GEOLOGI KEMENTERIAN ESDM

Proses likuifaksi
Enam tahun lalu, ESDM sudah melakukan penelitian terkait gejala alam ini di beberapa tempat, termasuk di Sulawesi Tengah.
"Di Palu itu memang potensi likuifaksi memang ada. Tahun 2012 kita sudah mengidentifikasi kota Palu sendiri, di bagian tengah rata-rata endapan berumur masih muda, banyak pasir, lumpur yang masih belum terikat, masih gembur," kata Taufiq.

Lumpur yang keluar dari perut bumi pasca-gempa bermagnitudo 7,4 menenggelamkan rumah-rumah di Kelurahan Petobo, Kecamatan Palu Selatan, Kota Palu, Sulawesi Tengah.
Tanah di Perumahan Balaroa anjlok setelah gempa-tsunami melanda Kota Palu dan sekitarnya, pada Jumat (28/9).

Likuifaksi, imbuh Taufiq, tinggal menunggu waktu.

"Pemicunya, salah satunya adalah sesar Palu Koro lewat di situ," ujarnya.

Likuifaksi ini sebenarnya seringkali terjadi saat gempa kuat terjadi di berbagai tempat, tetapi keadaan permukaan bumilah yang menentukan terjadinya longsor, menurut Agustan, ahli geologi di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

"Contoh waktu gempa Tasikmalaya tahun 2009, itu ada likuifaksi muncul. Tetapi mungkin karena di daerah itu topografinya datar kemungkinan lumpur saja, tidak menyebabkan longsor. Nah kalau kejadian di Palu kemarin, kejadian ada longsor karena mungkin topografinya lebih curam," katanya.

Belajar dari Jepang
Mengingat sebagian wilayah Indonesia berada di daerah Cincin Api Pasifik maka kemungkinan terjadinya likuifaksi selalu ada.

Tetapi sebenarnya terdapat sejumlah tindakan yang bisa dilakukan untuk mengantisipasinya, seperti melakukan pemetaan bencana yang lebih menyeluruh misalnya.

"Pemetaan, inventarisir wilayah-wilayah yang rawan bencana, termasuk survei likuifaksinya. Dan kaya'nya ini yang belum terstruktur di Indonesia, datanya masih spot-spot saja daerah yang sudah dipetakan. Seharusnya kota-kota itu sudah dipetakan tingkat kerawanan bencananya, apakah bencana likuifaksi, gempa dan sebagai macam," kata Agustan dari BPPT.

jepang

Likuifaksi terjadi di Kota Hokkaido, Jepang, sewaktu gempa melanda kawasan itu pada awal September lalu/EPA.

Sementara itu, Indonesia juga dapat belajar dari negara lain seperti Jepang untuk menghadapi kemungkinan terjadinya akibat merusak likuifaksi dan penggunaan pemetaan bagi rencana tata ruang kota.

"Kita melakukan penelitian itu awalnya adalah untuk peruntukan tata ruang. Jadi memberikan rekomendasi ke pemerintah daerah untuk mengatur tata ruangnya beraspek bencana, bencana geologi, salah satunya likuifaksi," kata Taufiq Wira Buana dari ESDM.

"Masih boleh didirikan bangunan asal memenuhi kaidah-kaidah tahan gempa. Tidak baik untuk hunian yang tingkat tinggi, tingkat tiga atau empat. Saya perhatikan yang berbiaya murah di Jepang, itu salah satunya dengan rumah kayu," tambah Taufiq.

(bbc indonesia/kompas.com/facebook)


Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved