Kisah Herman, Jual Ginjal demi Biaya Sekolah Anak
"Saya dari rumah membuat tulisan di sampul karton 'dijual ginjal untuk biaya sekolah anak'
TRIBUNSUMSEL.COM-Di rumah ukuran 2x5 meter berdindingkan batako serta beratapkan asbes milik temannya, Herman (42) pria yang menghebohkan warga Palembang karena berkeliling ingin menjual ginjal Sabtu kemarin tampak terbaring seraya menonton sebuah acara di televisi.
Sedangkan istrinya Fitrianti (39) bersama anaknya Annisa Wulandari, tengah menjalani solat zuhur ketika Tribun mengunjungi kediamannya yang berada di kompleks Bougenville Blok M11 Kelurahan Karya Baru.
"Ya benar pak Herman kemarin mau jual ginjalnya," ucap Pipit panggilan istrinya memulai pembicaraan.
Herman pria yang memiliki lima orang anak ini, hanya diam tatapan matanya terlihat kosong sesekali menatap ke atas dan melirik ke bawah.
Diakui Pipit sang suami masih memikirkan biaya sekolah anaknya namun tidak memiliki uang yang dibutuhkan.
Meski telah dikunjungi Walikota Palembang Harnojoyo dan memberikan uang santunan Rp 2 juta serta berjanji akan mengurusi administrasi anaknya untuk sekolah di SMK Negeri 5 Palembang, Herman ternyata belum lega.
"Saya dari rumah membuat tulisan di sampul karton 'dijual ginjal untuk biaya sekolah anak', mulai keluar dari rumah menelusuri jalan Kolonel Barlian terus menuju Polda sampai ke Radial, akhirnya di simpang Charitas bertemu dengan Pak Riki yang membawa saya pulang," ucap Herman.
Herman mengaku, ia mau menjual ginjalnya karena tidak tega melihat anak ketiganya itu putus sekolah karena tidak ada biaya.
Bahkan kenekatan untuk menjual ginjal diyakini apabila hidup dengan satu ginjal, tetap masih hidup.
"Harta saya tidak punya, rumah ini sudah enam tahun saya tempati punya kawan, hanya bayar air dan listrik saja perbulannya itupun belum bayar sampai saat ini," ujarnya.
Tidak ada yang mengusulkan untuk menjual ginjal bahkan ditanya mendapat informasi bisa menjual ginjal pun diakui hanya terbersit sepintas di pikirannya.
Ginjal yang akan dijual pun diakui kalau ada yang membayar cukup bisa membayar uang masuk sekolah dan membayar utang keluarganya.
"Saya tidak mencari sensasi, memang benar-benar mau jual ginjal, karena saya tidak tahu lagi untuk mencari uang dengan cara apa, apalagi saya tidak mau minta-minta di jalan," jelas pria asal Jawa ini.
Karena menjadi perhatian orang, salah satu pengendara diketahui bernama Riki akhirnya menghampiri dan menanyakan masalah.
Setelah bercerita akhirnya Herman di bawa pulang dan dibantu untuk mencari penyelesaian masalah.
Sebelum menganggur, dua tahun sebelumnya ia bekerja sebagai kuli serabutan.
Sebelumnya juga ia menjadi pegawai kontrak di Dinas Kebersihan pada tahun 2000 sebelum diputus kontraknya.
"Sekarang ini saya ingin melihat anak saya tetap sekolah sampai lulus, tanggungan saya masih ada empat orang dan yang paling kecil masih duduk di kelas 4 SD," katanya.
Setelah dibantu, Fitrianti pun sedikit lega, Pipit yang tidak memiliki penghasilan tetap ini kini bertumpu kepada pemerintah untuk membantunya.
"Alhamdulilah semalam (Sabtu malam) Pak Wali datang, dia berjanji akan membantu untuk urusan sekolah anak saya, rencananya Senin ada orang Dinas yang membantu mengurus sekolah, mudah-mudahan bisa masuk sekolah tanpa biaya," ujarnya.
Bukan hanya membantu urusan sekolah orang nomor satu di Palembang itu juga mempersilakan Herman bekerja di Dinas Kebersihan dan Pertanaman.
Hal itu setelah Pipit menolak apabila dibantu dengan sembako dan menginginkan suaminya lebih baik bekerja untuk mencari nafkah.
Pipit mengaku tak tahu apabila suaminya mengambil cara untuk mendapatkan uang dari berjual ginjal.
Ia menilai suaminya itu masih sakit karena pernah di rawat selama 10 hari di Rumah Sakit Jiwa dan rawat jalan selama enam bulan pada 2016 lalu.
Uang yang dibutuhkan untuk anaknya sekolah merupakan biaya untuk pembelian seragam Rp 1,3 juta dan Rp 600 ribu uang pembangunan.
Sebelumnya ia tidak tahu kalau akan dikenakan biaya sebab setelah lulus dia menilai akan serba gratis karena warga tidak mampu.
"Kami uang dari mana, tidak ada pekerjaan, saya hanya seorang guru ngaji dan kadang dapat panggilan pijat yang hasilnya sebulan tidak sampai Rp 1 juta, beruntung untuk makan sehari-hari bisa memakai uang kas arisan tingkat RT, itupun pengurus RT tidak keberatan," ungkap wanita berkacamata ini.
Kini Fitrianti tinggal menunggu berkas yang tengah diurus pihak RT untuk administrasi sekolah anaknya.
Dan Senin direncanakan disuruh menghadap ke kantor Walikota untuk mengurus berkas lamaran kerja suaminya.
"Saat ini pak Herman saya suruh istirahat dulu, takut ditanya-tanya orang, tadi pagi dia malah mau ke KI untuk jaga parkir tapi saya larang dulu," pungkasnya. (men)