Citizen Journalism

Pulau Kemaro Menyimpan Sejarah Heroik Kesultan Palembang Menghadapi Inggris dan Belanda

Namun, dari berbagai nama itu ada dua pulau yang terkait dengan sejarah heroik Kesultanan Palembang yaitu Pulau Borang dan Pulau Kemaro.

Editor: Hartati
TRIBUN SUMSEL/ABRIANSYAH LIBERTO
CAP GO MEH - Ribuan masyarakat keturunan tionghoa memadati Pulau Kemaro untuk memperingati sekaligus melakukan ritual sembahyang pada malam puncak perayaan Cap Go Meh di Pulau Kemaro, Palembang, Jumat (22/2/2013). Masyarakat yang datang ke Pulau Kemaro bukan hanya warga keturunan tionghoa saja yang akan melaksanakan ibadah saja, tapi juga semua masyarakat Palembang bahkan masyarakat luar kota pun datang ke Pulau Kemaro. 

Gabungan peralatan dan strategi yang jitu menempatkan Palembang sebagai pemenang mutlak dalam peperangan tersebut.

Kehebatan benteng Pulau Kemaro dapat dilihat dari pernyataan Kapten Meis dalam memorinya bahwa “Badaruddin telah mempersiapkan suatu proyek pertahanan raksasa”, bagaimana tidak, semua terwujud hanya dalam waktu empat bulan setelah berakhirnya perang pertama (Juni 1819).

(ANRI, Bundel Palembang No.67 dan No. 5.1).

Mereka tak mampu membobol pertahanan benteng Pulau Kemaro, yang dipertahankan dengan semangat juang yang sangat tinggi dari lasykar Palembang.

Inilah benteng Pulau Kemaro yang melegenda.

Pascaberakhirnya perang, penguasa Palembang Sultan mahmud Badaruddin II sadar betul bahwa pihak yang kalah tidak akan tinggal diam, dan pasti akan lebih mempersiapkan diri demi “harga diri” yang tercampakkan.

Langkah persiapan yahg diambil oleh Sultan antara lain memperkuat benteng-benteng terutama benteng-benteng yang berinduk ke Pulau Kemaro, memperbaiki dan memperkuat tonggak-tonggak di depan benteng Pulau kemaro, membangun tonggak-tonggak kayu di sebelah timur Pulau Salanama.

Langkah lain adalah menyiapkan mesiu dan peluru dalam jumlah besar, contohnya menempatkan sebanyak 70

meriam untuk mempertahankan keraton Kuto Besak.

Sebagai pihak yang kalah, dengan posisi terakhir di Pulau Bangka, maka pihak Belanda bertekat akan all out merebut Palembang.

Sebuah kerajaan yang sangat penting dan kaya di antara kerajaan-kerajaan Melayu saat itu.

Semua harus dipertaruhkan agar ambisi dapat diraih.

Wolterbeek yang merupakan panglima perang pada perang itu menyatakan bahwa “jika hanya Pulau Bangka yang tersisa dari wilayah Palembang, maka semua harus dipertaruhkan, yaitu dengan memperkuat pulau itu, juga pulau-pulau lain (Jambi, Kepulauan dan Lingga), juga mengalihkan ekspedisi ke Ambon untuk mempertahankan Bangka”.

Penguasaan atas Bangka merupakan upaya melemahkan Palembang, karena penguasaan itu berarti dapat menutup akses menuju ibu kota Palembang.

Jadi, strategi yang ditempuh adalah menutup semua kemungkinan Palembang “bernapas” dengan mengerahkan semua kekuatan.

Semua mengindikasikan bahwa pengakuan tentang kekuatan Kesultanan Palembang yang tidak dapat dihadapi dengan cara face to face. Pelemahan adalah cara yang paling jitu.

Lebih lanjut Wolterbeek menyatakan bahwa “peperangan di Palembang adalah bencana besar dan sangat mahal bagi Belanda, dengan dampak yang tidak dapat diperhitungkan”.

Oleh sebab itu, ia menyatakan bahwa “jika ingin menaklukkan Palembang, maka harus dilaksanakan secara besar-besaran dengan mengesampingkan tugas-tugas lainnya”.

Kondisi inilah yang membawa pemerintah pusat di Batavia dengan sungguh-sungguh mempersiapkan diri guna menebus dua kali kekalahan melawan Palembang.

Persiapan yang mereka lakukan adalah menyiapkan lima puluhan perahu pengayap, ratusan perahu cunia, dan perahu, di samping kapal-kapal besar.

Penambahan perahu sangat signifikan, mengingat dalam dua perang sebelumnya mereka kewalahan menghadapi gerak lincah berbagai perahu dan rakit api milik Palembang, sedangkan mereka sebagian besar mengandalkan kapal-kapal besar.

Perlengkapan lain adalah menambah serdadu yang mencapai beberapa ribu orang, dan sebanyak 22 kapal dengan berbagai jenis dan fungsi, diantaranya kapal perang, kapal pengangkut, juga kapal khusus yang difungsikan sebagai rumah sakit.

Sungguh persiapan yang komplit demi menebus dua kekalahan sebelumnya.

Dengan persiapan yang besar dan kuat, armada perang memasuki Sungsang.

Di daerah ini telah pecah perang antarkedua musuh. Perlawanan dari pihak Palembang berhasil mereka patahkan.

Walaupun pelayaran itu berat dengan berbagai perlawanan, namun dengan kekuatan penuh mereka secara bertahap berhasil mendekat pusat pertahanan Pulau Kemaro.

Salah satu strategi yang mereka tempuh adalah mencari jalur alternatif dengan berhasilnya mereka menemukan jalan-jalan berawa dari Sungai Komering.

Dari jalur inilah mereka menyerang benteng Tambakbaya dari sisi belakang.

Pada saat bersamaan mereka juga menyerang dari arah depan benteng dengan kekuatan penuh.

Strategi lain yang ditempuh adalah seolah mundur, sehingga pihak Palembang melakukan hal yang sama.

Namun, sikap itu justru mereka manfaatkan untuk melakukan penyerangan telak.

Peperangan dahsyat kembali terjadi, dan pihak Belanda telah berhitung segalanya, dan tak sudi kembali menelan kekalahan.

Dengan berbagai resiko kerugian yang sangat besar, mereka terus merangsek perlawanan Palembang sehingga benteng terkuat di ujung pulau Kemaro dapat di kuasai pada 24 Juni 1821.

Tercatat tak kurang dari 75 orang serdadunya tewas, dengan 242 orang terluka.

Pascapenaklukan benteng Pulau Kemaro, maka langkah berikutnya seolah tak terbendung untuk merebut benteng Tambakbayo dan Martapura, dengan sasaran akhir keraton Kuto Besak.

Di saat kritis inilah Sultan Mahmud Badaruddin II menyatakan berunding dan tunduk pada keputusan pihak pemenang.

Konsekuensinya adalah beliau harus berpisah dengan tumpah darahnya, jadi orang buangan ke Ternate hingga wafat.

Inilah cerita heroik, dengan menempatkan peran benteng Pulau Kemaro pada posisi yang menentukan.

Sejarah telah membuktikan, bahwa Pulau Kemaro tak hanya identik dengan wisata budayanya, tetapi juga kedudukan pentingnya dalam upaya mempertahankan kedaulatan, meskipun akhirnya harus menyerah pada kekuatan pihak lawan. keberadaan benteng itu menjadi saksi penting, betapa heroik perannya.

Benteng yang berada diujung Pulau Kemaro, menjadi saksi bisu yang harus terus menerus didengung-dengungkan kepada generasi muda bangsa ini, khususnya generasi muda Sumatera Selatan, bahwa perlawanan hingga titik darah penghabisan telah menghias lembar sejarah heroik dengan Pulau Kemaro sebagai titik sentral pertahanan.

Penulis: Farida R Wargadalem Dosen Sejarah FKIP Universitas Sriwijaya, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Sumatera Selatan.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved