Citra Polisi Semakin Jauh dari Umat Islam Jika Terapkan Pasal ini di Kasus Bendera Merah Putih

Polisi dan aparat penegak hukum lainnya hendaknya berhati-hati menerapkan pasal2 pidana dalam UU No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang

Editor: M. Syah Beni
Indra Akuntono/KOMPAS.com
Yusril Ihza Mahendra 

TRIBUNSUMSEL.COM- Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra berpendapat soal kasus yang menjerat Nurul Fahmi, si pembawa bendera merah putih bertulisan arab.

Melalui rilisnya yang diposting di akun facebook Yusril Ihza Mahendra, Ketua Partai Bulan Bintang (PBB) ini mengingatkan Polri jika imej polisi semakin jauh dari umat Islam dengan menerapkan Pasal 66 jo Pasal 24 subsider Pasal 67 UU No 24 Tahun 2009 kepada Fahmi.

" Karena itu, saya menghimbau polisi untuk bersikap obyektif dan mengambil langkah hukum yang hati-hati untuk mencegah kesan yang kian hari kian menguat bahwa polisi makin menjauh dari umat Islam dan sebaliknya makin melakukan tekanan," tulis Yusril

Dirinya juga menjelaskan secara rinci Undang-undang (UU) Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara.

Berikut penjelasan Yusril Ihza Mahendra seperti yang dikutip dari akun facebook Yusril Ihza Mahendra

Polisi dan aparat penegak hukum lainnya hendaknya berhati-hati menerapkan pasal2 pidana dalam UU No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara. Pelanggaran pasal2 larangan membuat tulisan, gambar dan coretan pada Bendera RI perlu persuasif karena masyarakat awam, bahkan pejabat negara, birokrat dan bahkan penegak hukum sendiri banyak yang belum paham tentang bendera negara, ukuran, bahan pembuatannya, tatacara penggunaannya dan larangan-larangannya.

Bendera Negara RI sang saka merah putih itu, menurut UU, ukurannya pasti yakni warna merah dan putih sama besarnya. Lebar bendera adalah 2/3 ukuran panjangnya. Bahannya terbuat dari kain yang tdk mudah luntur. Ukurannya untuk keperluan2 tertentu juga sudah diatur oleh UU. Dengan demikian, tdk semua warna merah putih adalah otomatis dalah bendera negara RI. Kain yang berwarna merah putih namun tidak memenuhi kreteria syarat2 untuk dapat disebut sebagai bendera RI, bukanlah bendera RI. Ambillah contoh, kaleng susu manis bekas yang bagian atasnya dicat merah dan bagian bawahnya dicat putih, kaleng merah putih itu bukanlah bendera negara RI. Warna merah putih seperti di kaleng susu bekas itu paling tinggi hanyalah "merepresentasikan" bendera RI, namun samasekali bukan bendera RI. Semua ketentuan itu diatur dalam Pasal 4 UU No 24 Tahun 2009.

Selanjutnya Pasal 24 UU No 24 Tahun 2009 itu memuat larangan antara lain larangan merusak, merobek, menginjak-injak, membakar atau melakukan perbuatan lain dengan maksud untuk "menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Bendera Negara". Mereka yang melanggar larangan ini diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak lima ratus juta rupiah.

Larangan juga dilakukan terhadap setiap orang untuk "mencetak, menyulam, dan menulis huruf, angka, gambar atau tanda lain dan memasang lencana atau benda apapun pada Bendera Negara". Terhadap mereka yang melakukan apa yang dilarang ini diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahu atau denda paling banyak seratus juta rupiah.

Dari rumusan delik pidana UU No 24 Tahun 2009 ini, jelas terlihat bahwa terhadap mereka yang merusak, merobek, menginjak-injak, membakar atau melakukan perbuatan lain yang dilarang undang-undang ini haruslah ada unsur kesengajaan dan niat jahat untuk menodai, menghina atau merendahkan kehormatan bendera negara. Jadi mereka yang tidak sengaja dan tidak mempunyai niat untuk menodai, menghina dan merendahkan kehormatan bendera negara, tidaklah dapat dipidana karena perbuatannya itu.

Namun lain halnya terhadap mereka yang mencetak, menyulam dan menulis huruf, angka, gambar atau tanda lain sebagaimana disebutkan dalam Pasal 67 huruf c undang-undang ini, unsur kesengajaan dan niat untuk menodai atau merendahkan martabat bendera negara itu tidak perlu ada. Jadi siapa saja yang melakukannya, sengaja maupun tidak sengaja, ada niat untuk menodai, menghina dan merendahkan atau tidak, perbuatan itu sudah dapat dipidana dengan ancaman penjara paling lama setahun atau denda paling banyak seratus juta rupiah.

Ancaman pidana paling lama setahun terhadap pelanggaran Pasal 67 huruf c di atas, menunjukkan bahwa tindak pidana ini tergolong sebagai tindak pidana ringan. Karena itu, saya berpendapat penegakan hukum atas pasal ini hendaknya dilakukan oleh aparat penegak hukum dengan cara yang bijaksana, jangan dilaksanakan dengan tergesa-gesa. Apalagi penegakannya dilakukan tebang pilih terhadap mereka-mereka yang tidak disukai dan berseberangan dengan pemerintah. Sementara yang lain, yang melakukan perbuatan yang sama, tidak diambil langkah penegakan hukum apapun.

Mengapa saya katakan penerapan Pasal 67 huruf c itu, katakanlah terhadap seseorang yang menulis huruf-huruf atau angka, harus dilakukan secara bijak? Sebabnya adalah sebagian besar warga masyarakat belum mengetahui bahwa perbuatan tersebut dilarang dan dapat dipidana. Ketidaktahuan itu juga ada di kalangan pejabat birokrasi pemerintah dan bahkan pada aparat penegak hukum sendiri. Coba saja search di internet, niscaya adanya tulisan pada bendera negara itu akan kita dapati dalam jumlah sangat banyak.

Saya ingat jauh sebelum adanya UU No 24 Tahun 2009, adanya tulisan2 pada bendera negara kita tatkala umat Islam dari negara kita menunaikan ibadah haji. Biasanya bendera itu dikibarkan oleh ketua rombongan agar jemaah tidak tersesat dan terpisah dari rombongan. Sekarangpun hal itu masih terjadi. Saya pernah memberitahu ketua sebuah rombongan umroh bahwa menulis sesuatu pada bendera itu dilarang undang-undang dan dapat dihukum. Merekapun terkejut dan mengatakan samasekali tidak mengetahui hal itu.

Kasus Nurul Fahmi

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved